Manajemen Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

BOOK ID

Perwakilan universitas internasional al Musthafa di indonesia

R. Kheradmardi, Husain - سرشناسه: رمضانی خردمردی، حسین، 1340

عنوان قراردادی : مدیریت سیاسی از دیدگاه خواجه نصیرالدین طوسی. اندونزیایی

Manajem Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi / Husain : عنوان و نام پدیدآور

R. Kheradmardi ; penterjemah Muhammad Syamsul Arif.

Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, : مشخصات نشر

1393 = 2014.

21 س م. /5×14/ مشخصات ظاهری: 247 ص .؛ 5

13 93/ فروست اصلی : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم؛ 162 پ/ 255

فروست فرعی : نمایندگی المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم در اندونزی؛ 1

978-964-195-015 - شابک : 8

وضعیت فهرست نویسی : فیپا

یادداشت : اندونزیایی.

یادداشت : این کتاب برگرفته از ا خلاق نا صری است.

672 ق. -- دیدگاه درباره - موضوع : نصیرالدین طوسی، محمدبن محمد، 597

مدیریت

672 ق .. اخلاق ناصری-- - موضوع : نصیرالدین طوسی ، محمدبن محمد ، 597

نقد و تفسیر

شناسه افزوده : شمس العارف، محمد، مترجم

Muhammad Syamsul Arif,Muhammad : شناسه افزوده

شناسه افزوده : جامعةالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم العالمیة. مرکزبین المللی ترجمه ونشرالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

Almustafa International University Almustafa International : شناسه افزوده

Translation and Publication center

رده بندی کنگره:BP 247/ 32049519 الف 6ن/ 45 1393

رده بندی دیویی : 29761/

شماره کتابشناسی ملی : 3649480

p:1

Point

904

Husain R. Kheradmardi

pusat penerbitan dan

penerjemahan internasional al Musthafa

penerjemah:

Muhammad Syamsul Arif

Manajem Politik

Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

Manajem Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

penulis: Husain R. Kheradmardi

penerjemah: Muhammad Syamsul Arif

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

p:2

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-015-8

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

مؤلف: حسین خردمردی

مترجم: محمد شمس عارف

چاپ اول: 13 93 ش / 2014م

چاپخانه: نارنجستان

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

تیراژ: 300

قیمت: 115000 ریال

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

p:3

p:4

Daftar Isi

Daftar Isi

PENGANTAR IICT

PENDAHULUAN 1

BAB I: BIOGRAFI KHAJEH NASHIRUDDIN THUSI 3

1. Riwayat Hidup 3

2. Keturunan 16

2.1 Anak dan Cucu 16

2.2 Anak Didik 17

3. Akar Pemikiran 19

3.1 Mazhab Keyakinan; Syi‘ah 19

3.2 Ilmu Pengetahuan; Aliran Filsafat Farabi 20

3.3 Pengalaman Hidup 21

4. Posisi dalam Sejarah 22

4.1 Iran 25

4.2 Dunia Islam 27

4.3 Dunia Barat 29

BAB II: DASAR-DASAR MANAJEMEN POLITIK 31

1. Manusia 32

1.2 Antropologi Filosofis 32

a. Titik Awal dan Titik Akhir Manusia 32

b. Esensi Manusia 34

c. Kekuatan-kekuatan Jiwa Insani 36

p:5

vi Manajemen Politik: Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

d. Kedudukan Manusia di Kalangan

Maujud yang Lain 39

e. Kesempurnaan Manusia 42

Tujuan Kesempurnaan 45

Hubungan Kebaikan dengan

Kebahagiaan 46

Pencapaian Kebahagiaan 47

Tingkatan Kebahagiaan Jiwa 48

Ragam Kebahagiaan Jiwa 48

Ragam Keutamaan 53

Kebalikan Keutamaan: Keburukan

(Radzilah) 54

Jalan Menuju Kesempurnaan 56

Alam Natural 56

Penyucian Akhlak 58

Faktor Kesempurnaan 61

Fasilitas Kesempurnaan 64

Syarat-Syarat Kesempurnaan 66

Masyarakat dan Etos Tolong

Menolong 66

Syariat 67

Pengatur (Mudabbir) 70

Nabi 71

Imam 72

Ulama Mujtahid 72

Taklif 73

1.2. Antropologi Politis 74

a. Kebutuhan Manusia 77

Membutuhkan Spesies Lain 77

p:6

Daftar Isi

Membutuhkan Sesama 77

b. Tabiat Sosial 80

c. Cinta 81

d. Perbedaan Individual 83

2. Masyarakat 85

2.1. Asal Muasal Masyarakat 86

2.2. Klasifikasi Masyarakat 86

2.3. Tujuan Masyarakat 89

a. Masyarakat Ideal 91

b. Masyarakat Nonideal 92

2.4. Aneka Ragam Anggota Masyarakat 95

a. Klasifikasi Profesi 95

Ahli Pena 95

Ahli Pedang 96

Ahli Transaksi 97

Ahli Pertanian 97

b. Aneka Ragam Tabiat 98

2.5. Keharusan Manajemen Politik 100

BAB III: SUBSTANSI MANAJEMEN POLITIK 103

1. Dasar-dasar Manajemen Politik 103

1.1. Ilmu Manajemen Politik (Hikmah Madani) 104

1.2. Praktik Manajemen Politik (Politik Praktis) 107

2. Tujuan Manajemen Politik 110

3. Pilar-pilar Manajemen Politik 111

3.1. Undang-Undang 113

3.2. Penguasa dan Negara 115

3.3. Mata Uang dan Kekuatan Ekonomi 120

4. Klasifikasi Politik 122

p:7

viii Manajemen Politik: Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

4.1. Politik Kekuasaan 122

a. Politik Defisien 123

Politik Defisien untuk Masyarakat

Nonideal 123

Hegemoni 127

b. Politik Ideal (Utama dan Transendental) 129

4.2. Politik Dominasi 130

4.3. Politik Kemuliaan dan Harga Diri 132

4.4. Politik Jamaah 133

4.5. Hubungan Politik Kekuasaan dengan

Model Politik yang Lain 134

a. Politik Kekuasaan dan Politik Jamaah 134

b. Politik Kekuasaan, Politik Kemuliaan

dan Politik Dominasi 135

5. Syarat dan Kriteria Pemimpin Politik 138

BAB IV: MEKANISME MANAJEMEN POLITIK 147

1. Berpikir (Perancangan Kebijakan Politik) 147

1.1. Tujuan 148

1.2. Prinsip Utama 150

1.3. Metode 152

2. Mengatur Strategi (Perencanaan Politik) 154

2.1. Memelihara Ketahanan Negara (Resistensi) 154

a. Merapatkan Barisan Kawan 155

Aspek Dalam Negeri 155

Aspek Luar Negeri 157

b. Memecah Belah Barisan Musuh 158

Aspek Dalam Negeri 158

Aspek Luar Negeri 159

p:8

Daftar Isi ix

2.2. Regulasi Pemerintah 160

a. Regulasi Bidang Ekonomi 160

Pendapatan 162

Menjaga Harta Kekayaan 166

Pengeluaran 168

b. Regulasi Bidang Sosial 169

Kesetaraan Klasifikasi Profesi 170

Menentukan Posisi dan Kedudukan

Setiap Individu 172

Layanan Sosial (Ditribusi Kemaslahatan

Komunal dan Sumber Daya Umum) 176

Keselamatan dan Kesehatan Umum 177

Harta Kekayaan dan Dukungan Ekonomi178

Kemuliaan dan Harga Diri (Status Sosial) 180

2.3. Regulasi Negara 181

a. Regulasi Bidang Ekonomi 186

Pendapatan (Sumber Income Pemerintah) 187

Warisan Orang-Orang Terdahulu 188

Harta Rakyat 188

a. Kaum Petani 189

b. Kaum Saudagar dan Pedagang 190

c. Para Peternak 191

d. Harta Tak berpemilik 191

Kompetensi Negara 192

Nasib dan Rezeki 195

Pemeliharaan 195

Pengeluaran 197

b. Regulasi Bidang Keamanan Politik dan Sosial 203

c. Regulasi Bidang Ilmu Pengetahuan dan

Kebudayaan 203

p:9

x Manajemen Politik: Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

3. Manajemen 205

3.1. Toleransi terhadap Rakyat 206

3.2. Menaati Undang-Undang 206

3.3. Strategi Manajemen 209

a. Pengawasan dan Kontrol Sosial 210

Kebijakan Kompensasi 211

Kebijakan Sanksi 211

b. Pengawasan dan Pemeriksaan Politik

(Administratif) 212

Menunjuk Para Informan Lokal dan

Mengirim Pengawas 213

Menerima Kedatangan Rakyat yang

Memerlukan 214

Percaya pada Pejabat dan Aparatur 214

Penghargaan dan Hukuman 215

c. Informasi; Menerima dan Memberi Informasi 215

Mencari Informasi tentang Situasi

Negara dan Pemerintah 216

Mencari Informasi tentang Urusan

Keamanan Negara 217

Menyimpan Informasi 218

d. Musyawarah 219

BAB V: KESIMPULAN 221

BIBLIOGRAFI 225

INDEKS 229

IKLAN BUKU 235

p:xi

p:10

Transliterasi Arab

gambar

p:11

Transliterasi Persia

gambar

p:12

PENGANTAR IICT

Institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri

dan memsulai aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M di atas sebuah

par-adigma pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi

pemiki-ran sarjana dunia Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga

tipe, yakni tradisionalisme, modernisme, dan modernisme religius.

Kaum tradisionalis, dalam interaksi mereka dengan modernitas,

menghadapi berbagai konsep dan teori baru, menempatkan tradisi

sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam kondisi apa pun.

Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi modernitas

secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran dan

reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang

kompatibel dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam

paradigma ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.

Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada

posisi diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa

hingga dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas

dan pemikiran modern, mereka menempatkan modernitas sebagai

nilai prinsipal dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai

dengan konsep-konsepnya.

Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul

dalam bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan,

paradigma modernisme justru pada gilirannya berujung

pada negasi total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan

paradigma humanisme serta mendukung dominasi sekularisme

dalam seluruh aspek masyarakat. Di antara dua paradigma ini,

Modernisme religius dan terutama paradigma Pemikiran

Pembaruan tampil konsisten dalam menjunjung tinggi tradisi

Pendahuluan xiii

p:13

sebagai prinsip sepanjang pergaulannya dengan konsep-konsep

modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi dan mereproduksi

pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep

modernitas dengan filter tradisi. Dalam mekanisme inilah

terma-terma seperti: kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi agama

menemukan makna khasnya dibanding dengan kebebasan,

demokrasi, dan keadilan sosial sebagaimana yang dipahami

dalam paradigma modern.

Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran

Pembaruan meletakkan pandangan dunia Islam sebagai

sudut pandangnya dalam upaya mendefinisikan realitas, mencapai

kebenaran, dan menjelaskan sistem nilai. Atas dasar ini

pula, tentu saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori dan

reproduksi pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya,

ekonomi, politik, dan sosial.

Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan

lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan

di tingkat internasional. Tidak hanya menanggapi kritis sekularisme

dan humanisme sebagai dua pandangan dunia yang

dominan di Barat, karyakarya ini juga dengan kekuatan kritis

yang sebanding menganalisis dan menyangkal paradigma kaum

tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran baru di atas

jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas Islam dan basis-basis

yang aksiomatis dan logis.

Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad

DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE

AND THOUGHT (IICT)

Pendahuluan xiv

p:14

Pendahuluan

Pendahuluan

Studi tentang “Manajemen Politik dalam Perspektif Khajeh

Nashiruddin Thusi” digagas berlandaskan pada postulat

bahwa Khajeh dalam bidang manajemen politik memiliki

dwiorientasi dan sangat transendental.

Guna menelaah sistem manajemen politik Khajeh

Nashiruddin Thusi, maka pada Bab I, kami akan melakukan

evaluasi atas landasan-landasan utama sistem manajemen

politik dalam perspektifnya. Pada bab ini, kami berusaha

memahami bahwa menurut Khajeh, sistem manajemen

politik memiliki akar yang kuat dalam eksistensi masyarakat,

khususnya masyarakat politis atau negara. Bab II, kami

memaparkan kajian tentang manusia dan masyarakat dalam

perspektif Khajeh. Dalam pandangannya, manusia adalah

makhluk Allah yang dalam tentang mabda’ (titik awal) dan ma‘âd

(titik akhir) senantiasa mencari kebaikan dan kebahagiaan;

tujuan yang hanya bisa diperoleh dalam konteks kehidupan

sosial dan pembentukan masyarakat politis. Jelas, kehidupan

demikian ini memerlukan suatu manajeman politik.

Pada Bab III, kami akan menelaah pilar-pilar utama

sistem manajemen politik Khajeh Nashiruddin Thusi. Ia

menggambarkan sistem ini dalam dua aspek: teoretis dan

p:1

praktis. Yang pertama adalah landasan utama, sedangkan

yang belakangan adalah implikasi dari yang pertama. Sembari

menjelaskan tujuan dan pilar-pilar utama sistem manajemen

politik, ia membagi politik ke dalam klasifikasi yang beraneka

ragam. Secara global, ada politik yang sempurna, ada juga politik

yang tidak sempurna. Pada hemat Khajeh, sistem manajemen

politik hanya terwujud dalam politik yang sempurna saja. Ia juga

menentukan beberapa syarat dan kriteria bagi penyelenggara

manajemen politik; yakni pemimpin politis. Syarat dan kriteria

itu akan kami paparkan pada tempatnya.

Pada Bab IV, dibahas pola pelaksanaan manajemen

politik Khajeh Nashiruddin Thusi. Di dalamnya, tema

“berpikir dan merenungkan” (tadabbur) dalam menentukan kebijakan

politik; (meliputi tujuan, prinsip-prinsip utama, dan

metode), dan berikut tema “mengatur strategi” (tadbîr) dalam

rangka perencanaan politik; (meliputi agenda-agenda yang

dicanangkan guna memelihara keutuhan pemerintahan serta

usaha regulasi antara negara dan pemerintah), menjadi acuan

kajian dalam format sistem manajemen politik. Akhirnya,

tema “mengelola” (idârah) dalam rangka mengemban sebuah

tugas politis dikupas sembari menekankan konsep toleransi

terhadap rakyat, menaati undang-undang, dan strategi manajemen

dalam format sistem manajemen politik.

Buku kecil ini hanyalah sebuah upaya sederhana guna

mengenal lebih lanjut pandangan Khajeh Nashiruddin Thusi

tentang sistem manajemen politik.

2 Manajemen Politik: Perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi

p:2

Bab 1

Riwayat Hidup

Biografi K hajeh Nashiruddin Thusi

Abu Ja‘far Nashiruddin Muhammad bin Muhammad bin

Hasan Thusi lahir pada sepertiga malam hari Sabtu, 11 Jumadil

Ula 597 H, bertepatan dengan tanggal 18 Februari 1201 M,

di sebuah daerah bernama Thus. Berdasarkan pandangan

sebagian sejarawan, keluarga Khajeh berasal dari sebuah

daerah bernama Jahrud.1 Ayahnya, Muhammad bin Hasan,

adalah seorang faqih, ulama, dan ahli hadis (muhaddits) tersohor

di kota Thus. Karena sang ayah bermazhab Syi‘ah Imamiyah,

Khajeh juga mengikuti mazhab Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah dan

menimba ilmu dari para guru dan ulama yang juga bermazhab

Syi‘ah Itsna ‘Asyariyah.(1)

1 Penulis buku Mustadrak Al-Wasâ’il pernah menukil pendapat buku Riyâdh Al-‘Ulamâ’.

Menurut buku ini, Khajah Nashiruddin berasal dari sebuah desa di kawasan Dastgerd yang

bernama Varsyah. Dastgerd adalah sebuah daerah yang berada dalam kawasan Jahrûd.

Pada masa itu, Jahrûd berada dalam kawasan kota Saveh. Sekarang, daerah ini termasuk

dalam kawasan kota Qom. Silakan rujuk M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâah

Nashîruddîn Tûsî, hlm. 1.

p:3


1- 2 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 15

Ketika Khajeh Nashiruddin Thusi masih berusia belia dan

memasuki usia remaja, sang ayah menaruh perhatian istimewa

terhadap diri dan pendidikan Khajeh. Lantaran perhatian

istimewa ini, pertama kali, Khajeh mempelajari Al-Qur’an

dan lalu ilmu-ilmu bahasa seperti Nahwu (Sintaktis), Sharaf

( Morfologi), dan sastra dari ayahnya sendiri. Kemudian, sesuai

dengan pesan sang ayah, Khajeh mempelajari Matematika di

bawah asuhan Kamaluddin Muhammad Hasib. Lalu, Khajeh

menimba ilmu Fiqih, Hadis, dan Sejarah dari ayahnya sendiri.

Kemudian, ia mempelajari ilmu Logika dan Filsafat kepada

pamannya sendiri, Syihabuddin Ali bin Abu Manshur.(1)

Setelah beberapa masa berlalu, Kamaluddin Muhammad

Hasib pergi dari kota Thus dan ayah Khajeh meninggal dunia.

Sesuai dengan pesan terakhir sang ayah, Khajeh Nashiruddin

diminta untuk pergi berkelana untuk menuntut ilmu. Kala

itu, Nisyabur adalah pusat ilmu pengetahuan dan penelitian.

Banyak ulama besar yang berdomisili di daerah ini. Oleh

karena itu, demi menyempurnakan ilmu pengetahuan, Khajeh

pindah ke Nisyabur di permulaan masa remajanya.

Di Nisyabur, Khajeh Nashiruddin berguru kepada

Farîduddîn Damad Nisyaburi dan mengkaji buku Al-Isyârât wa

Al-Tanbîhât karya Ibn Sina di hadapannya.(2) Selama beberapa

masa, ia juga berguru pada beberapa ilmuwan tenar seperti

Quthbuddin Mishri, Kamaluddin Yunusi Maushilî, dan Abu

Sa‘adat Isfahani.(3)

p:4


1- 3 Muhsin Amin: A‘yân Al-Syî‘ah, hlm. 415.
2- 4 A.A. Halabi: Torikh-e Falasefeh-e Ironi az Oghoz-e Eslom to Emrûz, hlm. 564-565.
3- 5 A.A. Dehkhoda: Lughatnomeh.

Khajeh Nashiruddin Thusi sangat menyenangi pelbagai

disiplin ilmu pengetahuan, dan berhasil mempelajarinya.

Meski demikian, ia lebih menyukai bidang Filsafat dan Teologi.

Ia sendiri pernah menegaskan:

Sesuai dengan wasiat ayahku, aku mulai mengembara.

Setiap kali aku menemukan seorang guru mengajarkan

sebuah disiplin ilmu pengetahuan, aku pasti memanfaatkan

kesempatan untuk berguru kepadanya. Namun, karena

sebuah dorongan batin untuk mengenal mana yang hak

dan mana yang batil, aku lebih mendalami beberapa

bidang tertentu seperti Filsafat dan Teologi.(1)

Ketika usianya masih dua puluh tahun, Khajeh

Nashiruddin Thusi telah menguasai Matematika, Astronomi,

Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, dan Teologi.(2) Kesungguhan dan

kegigihan Khajeh dalam belajar telah menjadikannya sebagai

ilmuwan terkemuka dalam seluruh jurusan ilmu pengetahuan

rasional (aqli) dan referensial (naqli). Lebih dari itu, dalam

setiap jurusan ilmu pengetahuan yang berkembang kala itu,

ia adalah seorang mahaguru sehingga ia memperoleh julukan

Ustâdz Al-Basyar (Guru Umat Manusia).(3)

Ketika Khajeh Nashiruddin telah dikenal sebagai seorang

alim sempurna dan fi losof agung, serangan militer Jenghis

Khan (616 H) dan kekalahan Sultan Muhammad Kharazm

Syah menjadikan negeri Iran, khususnya daerah Khurasan,

p:5


1- 6 Muhammad bin M.N. Thusi: Majmû’eh-e Raso’el; Seir va Sulûk, hlm. 39.
2- 7 Abdurrafi ‘ Haqiqat: Torikh-e Nehzatho-ye Fekri-e Ironiyon, hlm. 637.
3- 8 A.A. Dehkhoda: Lughatnomeh.

sebagai sebuah negeri yang kacau-balau dan porak-poranda.

Melihat situasi ini, Khajeh, sebagaimana warga Iran yang

lain, harus hengkang dan meninggalkan tanah kelahirannya.

Pertama kali, ia pergi ke Irak. Setelah beberapa masa berlalu,

dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, ia mampir di

rumah Syihabuddin. Dari kediaman Syihabuddin ini, Khajeh

pulang kembali ke Khurasan. Pada saat itu, Nashiruddin

bin Abdurrahim bin Abu Manshur ditunjuk oleh ‘Ala’uddin

Muhammad bin Hasan, raja para pengikut mazhab

Isma’iliyah, menjadi penguasa daerah Quhestan pada tahun

624 H. Nashiruddin sendiri adalah orang yang terkemuka dan

berilmu pengetahuan luas. Ia pernah mendengar ketenaran

nama Khajeh Nashiruddin. Ketika mendengar bahwa Khajeh

terpaksa melarikan diri dari kampung halaman dan tidak

memiliki tempat tinggal,(1) Nashiruddin bin Abdurrahim

memohon kepada Khajeh supaya bersedia berdomisili di

benteng Sartakht, ibu kota Quhestan.(2) Khajeh menerima

permohonan ini dan pergi ke sana.

Nashiruddin bin Abdurrahim menyambut kedatangan

Khajeh Nashiruddin dengan sambutan yang sangat megah. Ia

senantiasa memenuhi seluruh kebutuhan dan keperluan yang

dibutuhkan oleh Khajeh. Nashiruddin selalu menggunakan

kesempatan dengan baik ketika ia duduk dan hidup bersama

Khajeh.(3) Dalam setiap pekerjaan, ia selalu meminta pendapat

dan pandangan Khajeh.

p:6


1- 9 Abdurrafi ’ Haqiqat: Torikh-e Nehzatho-ye Fekri-e Ironiyon, hlm. 638.
2- 10 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Noseri, hlm. 15.
3- 11 Muhsin Amin: A‘yân Al-Syî‘ah, hlm. 415.

Pada saat Khajeh berdomisili di Quhestan ini, Nashiruddin

bin Abdurrahim pernah memohon kepadanya supaya menerjemahkan

buku Tahârot Al-A‘râq, karya Ibn Maskawaeh, ke

dalam bahasa Persia, dan Khajeh pun menerima usulan ini.

Khajeh menginginkan supaya penerjemahan buku ini menjadi

sempurna dalam bidang filsafat praktis. Oleh karena itu, ia

menambahkan beberapa tema pembahasan berkisar tentang

“ politik kota” (siyosat-e mudun) pada buku tersebut.(1) Khajeh

juga menerjemahkan Resoleh-e Mu’îniyeh, karya Mu‘inuddin

bin Nashiruddin, yang mengupas ilmu Astronomi, selama

ia berada di Quhestan. Alhasil, selama berada di Quhestan

ini, Khajeh menyibukkan diri dengan menelaah, menulis,

menyusun, dan menerjemahkan buku.(2)

Selang beberapa masa, Khajeh Nashiruddin Thusi

menyusun beberapa bait syair yang memuji-muji Mu‘tashim

Billah, Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah kala itu. Khajeh

mengirimkan syair tersebut kepada Mu’ayyiduddîn ‘Alqami

yang menjabat sebagai menteri Mu‘tashim di Baghdad.

Khajeh meminta supaya Mu’ayyiduddîn membacakan syair

tersebut untuk khalifah dengan harapan mungkin khalifah

akan mengundang Khajeh ke Baghdad. Mu’ayiduddîn

adalah seorang pengikut mazhab Syi‘ah dan seakidah dengan

Nashiruddin. Akan tetapi, Mu’ayiduddîn berkesimpulan tidak

maslahat Khajeh Nashiruddin pergi Baghdad.(3) Oleh karena itu,

Mu’ayiduddîn menulis pesan di balik kertas syair itu kepada

Nashiruddin bahwa Khajeh sudah mulai mengirim surat

p:7


1- 12 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 22.
2- 13 Abdurrafi’ Haqiqat: Torikh-e Nehzatho-ye Fekri-e Ironiyon, hlm. 638.
3- 14 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Noseri, hlm. 20.

kepada khalifah. Setelah mendengar berita itu, Nashiruddin

geram dan menangkap Khajeh.

Pada saat penawanan Khajeh Nashiruddin ini, ‘Ala’uddin

Muhammad, raja para pengikut mazhab Isma’iliyah kala itu,

meminta kepada Nashiruddin supaya Khajeh dikirim untuk

menghadap kepadanya. Ketika Nashiruddin berangkat dari

Quhestan menuju ke Qazwin, ia menyerahkan Khajeh kepada

‘Ala’uddin di benteng Maimum Dez. Pada saat itu, ‘Ala’uddin

sedang tertimpa penyakit melankolia dan senantiasa berburuk

sangka kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Selama berada bersama dibenteng ini, ‘Ala’uddin selalu

memperlakukan Khajeh dengan penuh penghormatan.(1)

Khajeh terpaksa harus tinggal di benteng Maimun Dez dan

melalui hari-harinya dengan menelaah buku di perpustakaan

besar yang berada di benteng ini.(2) Kebiasaan ini pun terus

berlanjut setelah ‘Ala’uddin terbunuh dan Ruknuddin Khur

Syah menggantikannya menjadi raja.

Khajeh Nashiruddin Thusi selama berada di tengahtengah

para pengikut mazhab Isma’iliyah sangat dihormati

dan menjadi penentu seluruh keputusan mereka. Kedudukan

Khajeh di sisi mereka sebegitu tinggi nan agung sehingga

mereka menjulukinya “ Khojeh-e Ko’enot” (Pembesar Alam

Semesta).(3) Meskipun demikian, Khajeh selalu menolak

tawaran posisi di kerajaan dan menghindarkan diri dari

segala gemerlap kenikmatan duniawi mereka. Ia senantiasa

menghabiskan waktunya dalam menelaah, menyusun, menulis,

p:8


1- 15 Ibid., hlm. 21.
2- 16 Abdurrafi‘ Haqiqat: Torikh-e Nehzatho-ye Fekri-e Ironiyon, hlm. 638.
3- 17 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 125.

dan menerjemahkan buku. Di antara karya yang ditinggalkan

Khajeh Nashiruddin adalah Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât,

Akhloq-e Nosheri, Akhloq-e Muhtasyami, Resoleh-e Mu’iniyeh,

Asâs Al-Iqtibâs, Resoleh-e Tavalli va Tabarri, Tahrîr Euklides, dan

Tahrîr Okramanalaos.(1)

Pada periode kekuasaan Ruknuddin, terjadi sebuah perubahan

besar lain dalam sejarah kehidupan Khajeh Nashiruddin

Thusi. Hulagu Khan mengirimkan bala tentara ke Iran

dengan tujuan untuk mengalahkan para pengikut mazhab

Isma’iliyah. Setelah menaklukkan benteng-benteng mereka

satu per satu, pada tahun 645 H, bala tentara Hulagu tiba di

benteng Alamut yang didiami oleh Khajeh Nashiruddin dan

di benteng Maimun Dez yang didiami oleh Ruknuddin. Ruknuddin

menyerah dan lantar dikirim ke istana Hulagu bersama

Khajeh serta beberapa orang yang lain. Sebelum itu, raja

Mongolia telah mengenal ketenaran nama Khajeh dalam bidang

ilmu filsafat dan matematika, serta kemahirannya dalam

memasang horoscope dan observatorium.(2) Lantaran peran Khajeh

dalam mendorong Ruknuddin supaya menerima ili (suaka politik

dan administrasi dari bangsa Mongolia dan membayar pajak

kepada mereka), prediksi keruntuhan para pengikut mazhab

Isma’iliyah, dan mendorong Hulagu supaya menaklukkan

benteng Isma’iliyah, Hulagu semakin senang

p:9


1- 18 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 22-23.
2- 19 Ketenaran Khajeh Nashiuddin Thusi dalam bidang ini pada saat itu juga telah sampai ke Mongolia. Mongke Khan meminta kepada saudaranya, Hulagu, supaya mengirim Khajeh ke Mongolia setelah berhasil menaklukkan para pengikut mazhab Isma’iliyah. Tujuan permintaan ini adalah supaya Khajeh mendirikan sebuah observatorium di sana. Akan tetapi, Hulagu tidak menggubris permintaan itu dan menahan Khajeh bersama dirinya. Silakan merujuk buku Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Noseri, hlm. 20.

kepada Khajeh. Hulagu sangat percaya pada ilmu Astronomi

dan meminta pandangan para astronom sebelum melakukan

sebuah tindakan. Melihat Khajeh Nashiruddin adalah orang

yang sudah siap untuk keperluan ini, ia menahan Khajeh

bersama dirinya.(1)

Dengan demikian, pada saat serangan pertama bangsa

Mongolia; yaitu serangan Jengis Khan, Khajeh Nashiruddin

Thusi berlindung ke benteng-benteng para pengikut mazhab

Isma’iliyah. Akan tetapi, pada saat serangan kedua; yaitu

serangan Hulagu Khan, ia berhasil terselamatkan dari

tahanan yang terdapat dalam benteng-benteng itu, dan dapat

menduduki sebuah posisi yang istimewa di istana Hulagu.

Khajeh dinobatkan sebagai astronom istimewa Hulagu.(2)

Khajeh menjadi orang dekat Hulagu. Dia tidak pernah

mengambil suatu keputusan sebelum bermusyawarah dengan

Khajeh.(3)

Salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah

kehidupan Khajeh Nashiruddin pada periode ini adalah

perannya dalam menggulingkan khilafah yang sedang

berkuasa dan pembunuhan Mu‘ta-shim Billah, khalifah

terakhir Bani Abbasiyah. Tentang peristiwa ini, sebagian buku

referensi sejarah menceritakan sebagai berikut:

Setelah berhasil menaklukkan dan meluluh-lantakkan

benteng-benteng para pengikut mazhab Isma’iliyah

di Qazwin, Hulagu pergi ke Hamadan. Ia masih ragu

p:10


1- 20 Ibid.
2- 21 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Noseri, hlm. 22.
3- 22 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Thûsî, hlm. 24.

apakah masih akan mengirimkan bala tentara ke Baghdad

atau tidak. Untuk mengambil keputusan dalam hal

ini, ia melakukan sebuah musyawarah. Hisamuddin

Munajjim mengutarakan pandangannya seraya berkata,

“Mengirimkan bala tentara ke Baghdad dengan tujuan

untuk meruntuhkan keluarga kekhalifahan adalah sebuah

tindakan yang tidak akan menuai berkah. Alasannya,

pertama, setiap raja yang ingin menghancurkan dinasti

Bani Abbasiyah tidak akan pernah menikmati kerajaan

dan umur panjang.”(1)

Namun, Khajeh Nashiruddin Thusi menenangkan,

“Tidak akan terjadi apa-apa.” Peristiwa yang akan terjadi

adalah Hulagu Khan akan menduduki kursi kekhalifahan

sebagai ganti khalifah yang sekarang sedang berkuasa.”

Khajeh menjelaskan lebih lanjut, menurut pendapat mayoritas

Muslimin, betapa banyak sahabat besar telah syahid dan tak

ada satu pun kerusakan yang muncul.(2)

Ketika Hulagu bersikeras membunuh khalifah, sekelompok

orang melakukan penentangan terhadap Ilkhan. Mereka

berargumentasi, jika sebilah pedang ternodai oleh darah

Mu‘tashim, ada kekhawatiran akan terjadi sebuah revolusi

besar di dunia ini.(3)

Hisamuddin Munajjim berkata, “Jika khalifah terbunuh,

dunia ini akan gelap gulita dan tanda-tanda Hari Kiamat akan

terlihat.”(4)

p:11


1- 23 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 36.
2- 24 Ibid.
3- 25 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 24.
4- 26 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 38.

Mendengar ucapan yang sangat menakutkan ini, Hulagu

Khan mulai bimbang. Ia bermusyawarah dengan Khajeh

Nashiruddin Thusi. Khajeh berkata, “Seluruh peristiwa yang

terjadi di alam semesta ini diatur sesuai dengan undang-undang

natural. Banyak orang sebelum ini yang memiliki kemuliaan

wujud dan kedekatan dengan Allah melebihi khalifah Bani

Abbasiyah, dan kepala mereka dipenggal. Akan tetapi, alam

semesta ini masih tetap tegak berdiri. Jika kita harus berhatihati

dalam masalah ini, tolong Anda perintahkan supaya

para pembantu istana membungkus sapi jantan kesayangan

khalifah ini dengan kain.(1) Lalu, mereka hendaknya memijatmijat

kaki dan tangannya dengan sangat hati-hati. Jika pada

saat itu mereka melihat atau mendengar suara petir, halilintar,

angin, angin topan, dan teriakan langit serta bumi bergetar,

maka mereka hentikan memijatnya. Jika tidak, maka mereka

harus menenangkan Anda karena kerisauan yang telah mereka

ciptakan ini.”

Hulagu menerima pendapat Khajeh Nashiruddin.

Kemudian, berdasarkan perintahnya, bala tentara membunuh

Mu‘tashim Billah.(2) Setelah peristiwa ini, berdasarkan titah

Hulagu, Khajeh menulis surat ajakan untuk menyerah kepada

negara-negara kecil tetangga yang eksis kala itu.

Setelah Hulagu Khan menentukan Maragheh sebagai

ibu kota kerajaan, pada tahun 657 H. Ia memerintahkan

supaya sebuah observatorium dibangun di kota ini. Biaya

pembangunan, biaya pemeliharaan, gaji para pegawai,

dan biaya-biaya lain yang diperlukan oleh observatorium

p:12


1- 27 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 24.
2- 28 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 38-39.

ini dialihkan kepada Lembaga Wakaf Kerajaan. Hulagu

menobatkan Khajeh sebagai menteri Urusan Wakaf. Dengan

posisi ini, Khajeh berhak memanfaatkan sepersepuluh dari

penghasilan wakaf kerajaan guna melaksanakan proyekproyek

ilmiah. Hulagu Khan juga memberi izin kepada Khajeh

supaya mempekerjakan para ulama yang ia anggap kompeten.

Khajeh juga memiliki izin untuk memproduksi setiap peralatan

dan fasilitas yang diperlukan.(1) Dengan demikian, di samping

tugas istana dan posisi sebagai penasihat Ilkhan Mongolia,

Khajeh Nashiruddin masih tetap menyibukkan diri dengan

menulis buku, mengajar tenaga-tenaga baru yang berbakat,

mengurusi wakaf, dan mengetuai observatorium.

Di samping pendirian observatorium, Khajeh

Nasiruddin Thusi juga memiliki jasa-jasa penting yang

lain. Ia mengumpulkan seluruh buku berharga, baik yang

klasik maupun yang baru. Mayoritas buku ini dikoleksi dari

berbagai perpustakaan: Baghdad, Syam, dan daerah-daerah

lain yang berada di bawah kekuasaan Hulagu Khan. Jumlah

seluruh buku ini mencapai empat ribu jilid. Khajeh berhasil

membangun sebuah perpustakaan besar dengan buku-buku

tersebut. Lebih penting lagi, ia merubah observatorium itu

menjadi sebuah pusat penelitian dan riset ilmiah besar kala itu.

Ia mengumpulkan banyak ilmuwan dan periset dari seantero

wilayah kekuasaan Islam dan melakukan riset dalam berbagai

bidang ilmu pengetahuan.(2)

Dalam masa itu, berdasarkan perintah Hulagu Khan,

Khajeh memimpin sebuah tim yang sedang menyusun

p:13


1- 29 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Noseri, hlm. 24.
2- 30 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 27.

horoscope. Dengan cara memantau posisi bintang-gumintang

dan menuliskan seluruh hasil riset ini dalam jadwal-jadwal

khusus, ia berhasil menulis sebuah buku besar, terperinci, dan

sangat bernilai. Buku ini diberi nama Zij-e Ilkhoni. Buku ini usai

ditulis pada tahun 670 H. Yaitu, tujuh tahun setelah kematian

Hulagu Khan dan kekuasaan Abaqa Khan.(1)

Setelah kematian Hulagu Khan pada 663 H, Khajeh

Nashiruddin Thusi masih mampu memelihara posisi,

kedudukan, dan kekuatan material dan spiritualnya. Ia tetap

menjadi orang dekat dan penasihat istimewa Abaqa Khan.(2)

Dengan demikian, ia masih bisa melanjutkan seluruh langkah

dan aktivitas yang telah dilakukan sebelum itu.

Aktivitas lain yang dilakukan oleh Khajeh Nashiruddin

Thusi pada masa itu adalah menulis buku-buku teologi dalam

rangka membuktikan kebenaran mazhab Imamiah Itsna

‘Asyariah. Di antara buku-buku ini adalah Tajrîd Al-I‘tiqâd,

Qawâ‘id Al-‘Aqâ’id, Fushûl Al-‘Aqâ’id, dan Resoleh-e Emomat.(3)

Sebagai menteri urusan wakaf untuk seluruh wilayah

kekuasaan Ilkhan, aktivitas dan terobosan Khajeh Nashiruddin

Thusi tidak terbatas di kawasan ibukota, Maragheh. Ia juga

sering melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah. Sebagai

contoh, pada tahun 662 H, ia melakukan kunjungan ke Baghdad.

Tujuan kunjungan ini adalah guna mencari buku-buku yang

mungkin dibawa untuk observatorium Maragheh. Selain

itu, guna mengetahui kondisi masyarakat luas, mengurusi

harta-harta wakaf, menyelidiki kondisi bala tentara dan para

p:14


1- 31 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 27.
2- 32 Syirin Bayani: Mughûlan va Hukûmat-e Ilkhoni dar Iron, hlm. 191.
3- 33 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 27-28.

pembantu istana kerajaan, dan mengumpulkan buku, ia

melakukan kunjungan ke daerah Wasith, Bashrah, dan daerahdaerah

Irak yang lain. Setelah itu, ia kembali ke Maragheh.(1)

Pada tahun 672 H, Khajeh Nashiruddin Thusi berkunjung

ke Irak untuk kedua kali bersama Sultan Abaqa Khan, para

penguasa daerah, dan bala tentara yang ingin melalui masa

musim dingin di Baghdad. Setelah musim dingin berlalu dan

Sultan Abaqa Khan kembali ke Maragheh, ibu kota musim

panasnya, Khajeh masih tinggal di Baghdad.(2) Di Baghdad,

ia mengurusi seluruh harta wakaf negara dan membayar

gaji bulanan para fuqaha, guru agama, dan orang-orang sufi .

Pada saat itu juga, Khajeh Nashiruddin jatuh sakit. Ketika ia

tahu bahwa penyakit yang sedang diderita itu tidak dapat

disembuhkan lagi, ia berwasiat kepada para sahabat dan

orang-orang dekatnya supaya dimakamkan di dekat makam

suci Imam Musa Kazhim as. Salah seorang keluarga Khajeh

berkata, “Sangatlah cocok apabila jenazah Khajeh dipindahkan

ke Najaf Asyraf dan dimakamkan di sana.” Khajeh menjawab,

“Aku sangat malu apabila aku meninggal dunia di daerah

Imam Musa Kazhim as, lalu aku dipindahkan ke tempat lain,

sekalipun tempat itu adalah lebih mulia.”(3)

Akhirnya, Khajeh Nashiruddin Thusi meninggal dunia

pada 18 Dzulhijjah 672 H, bertepatan dengan hari raya

Ghadir Khum. Sesuai wasiatnya, masyarakat mulai menggali

tanah untuk makamnya di daerah makam suci Imam Musa

Kazhim as. Menurut para ahli sejarah, ketika masyarakat

p:15


1- 34 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 28.
2- 35 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 63.
3- 36 Ibid., hlm. 64; Abbas Qommi: Favo’ed-e Rezaviyeh dar Ahvol-e ‘Olama-e Mazhab-e Ja’fariyeh, hlm. 604.

menggali tanah, sebuah lubang kuburan yang telah terlapisi

keramik dan bertuliskan kaligrafi indah tersingkap. Akhirnya,

diketahui bahwa kuburan itu digali untuk Khalifah Nashir li

Dinillah. Sudah takdir Ilahi, pembuatan kuburan ini selesai

pada hari, tanggal, dan tahun kelahiran Khajeh Nashiruddin.

Dan Khalifah Nashir li Dinillah dikuburkan di tempat lain.

Dengan demikian, Khajeh Nashiruddin Thusi dimakamkan

di Kazhimain. Di pusara kuburannya tertulis ayat berikut ini:

«وَتَحْسَبُهُمْ أَیْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْیَمِینِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَکَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَیْهِ بِالْوَصِیدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَیْهِمْ لَوَلَّیْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا (18)»

Sedangkan anjing mereka menjulurkan kedua lengannya

di muka pintu gua (QS. Al-Kahf 18:18).(1)

Keturunan

Anak dan Cucu

Khajeh Nashiruddin Thusi memiliki tiga orang putra.

Masing-masing mereka adalah Shadruddin Ali, Ashiluddin

Hasan, dan Fakhruddîn Ahmad. Setelah Khajeh meninggal

dunia, Shadruddîn Ali menggantikan posisi ayahnya. Dari

sejak Khajeh masih hidup hingga beberapa waktu setelah

ia meninggal dunia, Shadruddîn menduduki posisi kepala

observatorium Maragheh. Sepeninggal Khajeh, urusan wakaf

kerajaan juga diserahkan kepada Shadruddîn Ali ini. Di

samping memiliki posisi ilmiah yang tinggi, Shadruddîn Ali

juga banyak menulis syair.

Ashiluddin Hasan adalah seorang sastrawan, ilmuwan,

dan insinyur. Ia sangat menguasai buku-buku syair. Setelah

p:16


1- 37 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 28; M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 64.

Shadruddîn sang kakak tertua meninggal dunia, sesuai

perintah Oljeitu, Ilkhan VIII, Ashiluddin menduduki posisi

kepala observatorium dan urusan wakaf kerajaan.

Seperti kedua saudaranya, Fakhruddîn Ahmad adalah

seorang ilmuwan yang sangat agung. Untuk beberapa waktu,

ia pernah memegang urusan wakaf kerajaan.

Sebagian keturunan Khajeh Nashiruddin Thusi yang

bermukim di Ordubad dan Azerbaijan menempati kedudukan

dan posisi penting dalam kerajaan dinasti Shafawiah. Sebagai

contoh, Hatim Beik Ordubadi, salah seorang cucu Khajeh.

Pada masa kekuasaan Syah Abbas, ia memperoleh julukan

I‘timadud Daulah (Kepercayaan Negara). Julukan ini pada

masa itu adalah sejajar dengan posisi kanselir pada masa

sekarang.(1)

Anak Didik

Di samping para keturunan, sudah seyogyanya kita juga

mengenang para anak didik Khajeh Nashiruddin Thusi.

Tentunya, anak-anak didik Khajeh lebih memiliki pengaruh

dibandingkan anak keturunannya dalam menyimpan seluruh

buah pemikiran dan tindakan Khajeh dalam kalbu, serta

lalu menyampaikannya kepada tujuan akhir. Khajeh telah

mewakafkan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar.

Secara otomatis, ia pasti memiliki banyak anak didik. Muridmurid

Khajeh yang terkemuka dapat dipaparkan pada

pembahasan berikut ini:

1. Jamaluddin Abu Manshur Husain bin Muthahhar Hilli

Murid Khajeh ini ghalibnya dikenal sebagai Allamah

p:17


1- 38 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 27-28.

Hilli. Seperti sang guru, Allamah Hilli hidup sezaman

dengan penyerangan bangsa Mongolia. Ia memainkan

peran seperti peran yang telah dimainkan oleh sang guru.

Menurut perspektif para sejarawan Syi‘ah, pengaruh

Allamah Hilli dalam dialog-dialog yang pernah dilakukan

dengan para tokoh mazhab-mazhab Islam pada masa

kekuasaan Oljeitu sangat menentukan. Kekokohan setiap

jawaban dan pandangan yang dilontarkan oleh Allamah

Hilli menyebabkan Syi‘ah menjadi sebuah mazhab resmi

di Iran dan keluar dari jurang keterasingan.(1)

2. Kamaluddin Maitsam Bahrani

Seperti diriwayatkan oleh para ulama, Kamaluddin

Maitsam adalah murid Khajeh Nashiruddin Thusi dalam

bidang fi lsafat dan Khajeh Nashiruddin adalah murid

Kamaluddin Maitsam dalam bidang Fiqih. Lebih dari itu,

Kamaluddin Maitsam adalah juga guru Allamah Hilli.

Kamaluddin memiliki lima belas karya tulis. Beberapa

karya tulis ini berhubungan dengan konsep imamah. Ia

lebih dikenal karena dua buku syarah yang ditulis atas

Nahj Al-Balâghah. Buku syarah ini ditulis dalam lebih dari

dua puluh jilid.(2)

3. Sayyid Ghiyatsuddin Abul Muzhaffar.

4. Abul Fadha’il Hasan bin Muhammad Astarabadi.

5. Kamaluddin Abdurridha yang lebih dikenal dengan

sebutan Abul Fauthi.

6. Ibrahim bin Syekh Sa‘duddin Juwaini yang lebih dikenal

dengan Hamawi.

p:18


1- 39 Henry Corbin: Torikh-e Falsafeh-e Eslomi, hlm. 453.
2- 40 Ibid., hlm. 452.

7. Syaik Fariduddin Abu Bakar bin Ali Syirazi.

8. Abdullah Atsiruddin ‘Umani.(1)

Akar Pemikiran

Point

Seluruh manusia dalam pola pikir dan cara pandang

terpengaruh oleh lingkungan natural dan sosial tempat mereka

hidup. Keyakinan mazhab, ilmu pengetahuan, dan pengalaman

yang membentuk akar pemikiran Khajeh Nashiruddin, semua

itu bermuara dari lingkungan tempat ia hidup. Atas dasar

ini, untuk mengevaluasi akar dan fondasi pemikiran Khajeh,

pertama kali kita harus menelaah kondisi keluarganya. Bisa

dipastikan, keyakinan Khajeh sangat terpengaruhi oleh

keyakinan keluarga ini.

Mazhab Keyakinan; Syi‘ah

Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya,

Khajeh Nashiruddin Thusi lahir dalam buaian keluarga

yang bermazhab Syi‘ah. Oleh karena itu, ia menimba

ilmu pengetahuan dari para guru yang bermazhab Syi‘ah.

Lingkungan pertama kehidupan ini menyebabkan Khajeh

memperoleh pengenalan pertama terhadap fondasi- fondasi

utama mazhab Syi‘ah, dan lalu mengenal fondasi- fondasi

tersebut secara lebih mendalam dan bersifat ilmiah. Beberapa

masa setelah itu, Khajeh mulai akrab dengan ushuluddin

mazhab Syi‘ah dan menggunakan beberapa terminologi yang

hanya dimiliki oleh mazhab ini, seperti imam, imamah, dan

lain sebagainya.

p:19


1- 41 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 26-27.

Dalam sebuah tinjauan global, pada seluruh periode

kehidupannya, Khajeh Nashiruddin Thusi ingin menggapai

dua tujuan yang sangat fundamental: pertama, menyebarkan

mazhab Syi‘ah Itsna ‘Asyariah (Syi’ah Dua Belas Imam), dan

kedua, mempelajari dan memasyarakatkan seluruh jenis ilmu

pengetahuan tekstual dan rasional. Dalam dua tujuan ini,

Khajeh sudah memperoleh keberhasilan yang sangat gemilang.

Dalam bidang menyebarkan dan memperkokoh mazhab

Syi‘ah Itsna ‘Asyariah, ia memperkuat ushuluddin dan ibadah

ritual mazhab ini dengan fondasi dan kaidah-kaidah rasional.

Dengan menulis aneka ragam buku, seperti Tajrîd Al-I‘tiqâd,

Resoleh-e Emomat, dan lain-lain, ia telah berhasil menetapkan

teologi mazhab Syi‘ah Itsna ‘Asyariah dengan argumentasi

yang kokoh, sempurna dan sarat dengan dalil.(1) Dengan

demikian, ia telah berhasil membuktikan kebenaran mazhab

ini.

Ilmu Pengetahuan; Aliran Filsafat Farabi

Semenjak usia belia, Khajeh Nashiruddin Thusi sudah

rajin menimba ilmu pengetahuan. Ia selalu berusaha keras

pantang menyerah. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa ia

menguasai seluruh cabang ilmu pengetahuan. “Pada ruang

lingkup kehidupan masa itu, Khajeh adalah seorang jenius

yang menguasai seluruh bidang ilmu pengetahuan,” (begitu

kata seorang ahli).(2) Akan tetapi, seperti yang telah kami

ungkapkan pada pembahasan sebelumnya, ia hanya memiliki

kecondongan esoteris kepada bidang fi lsafat dan teologi. Di

p:20


1- 42 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 21.
2- 43 Henry Corbin: Torikh-e Falsafeh-e Eslomi, hlm. 450.

antara para fi losof yang ada, ia lebih memiliki kecondongan

kepada Farabi. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dan

keyakinan Hakim Tsani (Second Master), Farabi, ini. Atas dasar

ini, pemikiran dan pandangan-pandangan Khajeh banyak

memiliki kemiripan dengan pemikiran dan pandanganpandangan

Farabi. Khajeh pernah mengisyaratkan hal ini di

makalah ke-3 dari Akhloq-e Nosheri. Ia menulis, “Mayoritas

pembahasan ini dinukil dari pandangan-pandangannya.”(1)

Di samping itu, Khajeh Nashiruddin Thusi juga banyak

terpengaruhi oleh pemikiran Syaikh Ra’is Abu Ali Sina (Ibnu

Sina). Dalam transkrip-transkrip pelajarannya, Khajeh tidak

pernah menolak pendapat Abu Ali (Ibnu) Sina.(2) Dalam

karya-karya Khajeh juga terdapat tanda-tanda bahwa ia

juga terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ghazali dan Ibn

Muqaffa‘.

Pengalaman Hidup

Langlang buana yang pernah dilakukan oleh Khajeh

Nashiruddin pada masa muda untuk menimba ilmu

pengetahuan, hidup di benteng-benteng para pengikut mazhab

Isma’iliah, dan lalu domisili di istana Hulagu Khan dan

Abaqa Khan, semuanya menyebabkan Khajeh memperoleh

pengalaman pribadi dan politik yang tak terhingga. Efek-efek

seluruh pengalaman ini dapat disaksikan secara gamblang

dalam ilmu pengetahuan dan praktik politiknya, serta dalam

karya-karya ilmiah dan praktik amaliahnya sehari-hari.

Lantaran segunung pengalaman ini, khususnya domisili di

p:21


1- 44 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 248.
2- 45 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 68.

istana Ismai’iliah, karya-karya ilmiah dan politis Khajeh,

seperti buku Akhloq-e Nosheri, semakin berbobot. Dalam posisi

dan kondisi politik yang sangat sulit, seperti serangan pertama

dan kedua bangsa Mongolia, ia berhasil mengambil keputusan

dan kebijakan yang sangat logis dan cerdas. Setelah berhasil

terbebaskan dari kondisi ini, ia berhasil menduduki sebuah

kedudukan tinggi sehingga dapat memberikan pelayanan

berharga yang tak terhingga kepada masyarakat dan para

pengikut mazhab Syi‘ah.

Posisi dalam Sejarah

Point

Khajeh Nashiruddin Thusi memiliki wajah yang tampan

menawan, jiwa yang bersih, dermawan, penyabar, ramah,

cerdas, cerdik, dan sangat rendah hati.(1) Ia menguasai seluruh

bidang ilmu pengetahuan yang pernah berkembang pada masa

ia hidup. Ia menulis buku yang sangat penting dan berharga

dalam mayoritas bidang ilmu pengetahuan ini. Buku-buku

yang pernah ditulis oleh Khajeh berjumlah sekitar seratus

judul buku.(2)

Dari satu sisi, Khajeh Nashiruddin adalah seorang jenius.

Guna merealisasikan seluruh misi politik dan kebudayaannya,

ia senantiasa mencari hamparan tanah yang terbentang luas.

Ia rela mengetuk pintu seluruh penguasa besar yang pernah

berkuasa kala itu. Pertama kali, ia memasuki istana mazhab

Isma’iliah. Ia memanfaatkan teori pemikiran fi lsafat golongan

ini dan berhasil meredakan dahaga jiwanya yang selalu ingin

terbang tinggi. Setelah berhasil, ia mengetuk pintu istana

p:22


1- 46 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 122.
2- 47 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 29.

kekhalifahan. Akan tetapi, karena kehadiran Ibn ‘Alaqami,

saingan kuatnya, ia tidak berhasil memperoleh posisi yang

tepat serta mewujudkan cita-citanya. Setelah itu, ia mengetuk

pintu kerajaan Mongolia. Ia diterima di kerajaan ini dengan

sangat baik dan berhasil memperoleh kedudukan yang amat

tinggi.(1)

Setelah berhasil menggenggam kendali ekonomi imperium

besar Ilkhani, Khajeh Nashiruddin Thusi melakukan banyak

gebrakan penting dalam dunia politik dan ilmu pengetahuan.

Di sela-sela gebrakan-gebrakan politik-kultural ini, ia berhasil

memberikan daya kekuatan kepada mazhab Syi‘ah Itsna

‘Asyariah dan menyelamatkan serta mengatur urusan harta

wakaf kerajaan. Khajeh menilai bahwa dinasti Juwaini sangat

bermanfaat untuk menyetir negara dan kerajaan. Oleh karena

itu, tanpa sedikit pun rasa iri dan ingin bersaing, ia membuka

tangan dengan lebar guna melaksanakan tugas-tugas negara,

dan dengan cara membentuk hubungan yang baik, ia

mendukung setiap keputusan mereka. Langkah dan sikap ini

adalah faktor terpenting yang mendatangkan kemakmuran

bagi Iran dan menyelamatkannya dari kebinasaan yang lebih

parah. Lebih dari itu, menyerahkan posisi-posisi negara

yang sensitif kepada anak keturunan dan tokoh-tokoh yang

sepemikiran membuktikan peran jenius Khajeh Nashiruddin

dalam memelihara eksistensi Iran dengan cara yang terbaik.(2)

Dalam periode sejarah Iran ini, Khajeh Nashiruddin Thusi,

melebihi para tokoh yang lain, telah berhasil menyelamatkan

Iran dari kehancuran dan keruntuhan. Pada hakikatnya, ia

p:23


1- 48 Syirin Bayani: Mughûlan va Hukûmat-e Ilkhoni dar Iron, hlm. 122.
2- 49 Ibid., hlm. 122, 180, dan 191.

adalah sosok yang menghidupkan dua benteng spiritual yang

sangat fundamental:

Pertama, mazhab Syi‘ah yang merupakan wadah

pengkristalan pemikiran orang-orang Iran. Selama berabadabad,

karena kekhalifahan dan pemerintahan-pemerintahan

yang berorientasi mazhab Ahli Sunah berkuasa di Iran,

mazhab Syi‘ah hidup dalam persembunyian dan tidak

menemukan kesempatan untuk bergeliat. Berkat dukungan

dan usaha Khajeh Nashiruddin, mazhab ini berhasil keluar

dari persembunyian dan menemukan posisi di tengahtengah

masyarakat, bahkan di dunia politik. Ia pun berhasil

menguatkan dan memperkokoh fondasi- fondasi mazhab ini

untuk suatu hari dimana Syi‘ah akan menjadi mazhab resmi

Iran.

Kedua, membangun akademi ilmu pengetahuan dan

kesenian Maragheh. Akademi ini bisa disebut sebagai harta

karun ilmu pengetahuan dan kesenian Iran dari permulaan

sejarah Iran hingga masa itu.(1) Akademi ini, setelah Universitas

Jondi Shapur yang telah eksis di Iran sebelum kemunculan Islam

dan Madrasah Nezamiah yang telah dibangun oleh Khajeh

Nezamul Mulk Thusi sang menteri ilmuwan berkebangsaan

Iran di Baghdad, adalah universitas ketiga Iran yang telah

dibangun oleh Khajeh Nashiruddin Thusi di Maragheh.(2)

Khajeh Rasyiduddin Fadhlullah Hamadani menilai tindakan

Khajeh Nashiruddin ini sebagai sebuah tindakan yang sangat

jitu dan tepat. Dengan mendirikan akademi ini, Khajeh

Nashiruddin tidak hanya berhasil memelihara peradaban

p:24


1- 50 Ibid., hlm. 189.
2- 51 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 5.

Iran yang kala itu sudah hampir hancur dan musnah. Lebih

dari itu, dengan mengumpulkan para ilmuwan dan seniman

pribumi dan asing dari setiap kaum dan kelompok, akademi

ini telah menjadi faktor teori pemikiran baru dunia Barat

dan Timur menyatu dengan peradaban Iran, dan meniupkan

sebuah napas baru sehingga peradaban Iran menjadi sebuah

peradaban yang bertaraf dunia. Contoh usaha besar ini adalah

observatorium Maragheh.(1) Observatorium dan perpustakaan

besarnya pada masa itu adalah sebuah karya yang sangat besar

dan legendaris.

Lebih dari itu semua, dalam sejarah, Khajeh Nashiruddin

Thusi juga memiliki posisi dan kedudukan yang sangat

istimewa. Berikut sekelumit tentang posisi dan kedudukannya

ini:

Iran

Khajeh Nashiruddin Thusi termasuk golongan tokoh dan

fi gur yang pascasejarah kehidupannya memiliki kedudukan

dan kehormatan yang sangat istimewa di kalangan bangsa

Iran. Pada masa itu, Allamah Hilli, murid Khajeh yang

sangat masyhur, pernah berkomentar tentang cakupan ilmu

pengetahuan Khajeh yang sangat luas. Ia berkata, “Syekh ini

adalah orang paling utama pada zamannya dalam bidang ilmu

rasional (aqli) dan referensial (naqli).”

Pada kesempatan lain, Allamah Hilli berkata, “Ia adalah

guru umat manusia dan akal kesebelas.”(2)

p:25


1- 52 Syirin Bayani: Mughûlan va Hukûmat-e Ilkhoni dar Iron, hlm. 189.
2- 53 Muhsin Amin: A‘yân Al-Syî‘ah, hlm. 415.

Tentang keutamaan akhlak Khajeh Nashiruddin, Allamah

Hilli juga pernah berkomentar, “Dari sisi akhlak, ia adalah

orang paling utama yang pernah kami jumpai.”(1)

Qadhi Nurullah Syusytari yang hidup di India juga pernah

berkomentar tentang Khajeh Nashiruddin Thusi. Ia berkata,

“Ia adalah seorang fi losof yang dibanggakan oleh ruh Plato

dan Aristoteles. Ibnu Sina sangat berterima kasih atas seluruh

usaha dan kerja kerasnya yang amat berharga. Akal yang aktif

teriluminasi oleh jalannya dan problematika orang-orang besar

hanya dapat diselesaikan dengan satu lirik pandangnya.”(2)

Pada masa kini, Mujtaba Minawi menilai Khajeh

Nashiruddin Thusi sebagai pamungkas para fi losof bangsa

Timur, salah seorang ahli Matematika, dan astronom dunia.

Sebagaimana Firdausi, Mujtaba Minawi menilai Khajeh sebagai

seorang pencipta dan pencetus hal-hal yang baru.(3)

Di Iran, pra dan pasca Revolusi Islam, aneka ragam

seminar telah didirikan untuk mengenang tokoh besar sejarah

Persia ini. Banyak pula makalah dan artikel yang terkirim

untuk berpartisipasi dalam seminar tersebut. Lebih dari itu,

sebuah universitas dibangun dan diberi nama “Universitas

Industri Khajeh Nashiruddin Thusi”. Semua ini membuktikan

ketinggian posisi ilmiah Khajeh.

Kedudukan tunggal Khajeh Nashiruddin Thusi di masa

lalu politik Iran sangat berharga sekali. Khajeh adalah seorang

jenius langka Iran yang memiliki banyak hak atas bangsa Iran.

Oleh karena itu, ia hanya dapat dibandingkan dengan Firdausi.

p:26


1- 54 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 30.
2- 55 Muhammad bin M.N. Thusi: Awshâf Al-Asyrâf, hlm. 8.
3- 56 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 14 dan 31.

Jika kita menilai Firdausi sebagai penghidup kembali bangsa

Ajam (bangsa Iran) setelah penyerbuan bangsa Arab, maka

kita juga dapat menganggap Khajeh sebagai pembebas kultur

Iran pasca penyerbuan bangsa Mongolia. Khajeh yang telah

berhasil mengumpulkan sari pati kultur Iran dalam dirinya ini

berusaha keras untuk menata kembali kerikil-kerikil mati yang

berserakan dan meneteskan tinta kehidupan di atas padang

sahara kemiskinan ini.(1)

Dunia Islam

Di dunia Islam, Khajeh Nashiruddin Thusi memiliki dua

posisi yang berbeda. Dari satu sisi, karena peran Khajeh

dalam meruntuhkan kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah

dan membunuh khalifahnya, sebagian pengikut Ahli Sunah

melaknat dan mencerca Khajeh. Ibn Taimiah Hanbali dan

Muridnya, Ibn Qayyim, secara terang-terangan menunjukkan

permusuhan mereka dan bahkan permusuhan ini sudah

melampaui batas batas yang wajar.(2) Dan dari sisi yang lain,

para ulama Islam, baik Syi‘ah maupun Ahli Sunah, memuji dan

menyanjung ketinggian ilmu pengetahuan Khajeh Nasiruddin

Thusi. Quthbuddin Esykavari pernah berkomentar:

Khajeh Nashiruddin Thusi adalah seorang ulama besar

dan peniliti agung. Kepala seluruh ulama dan pembesar,

baik yang seide maupun yang berlainan ide, tertunduk

di hadapannya, karena ia menguasai seluruh ilmu

pengetahuan rasional (aqli) dan referensial (naqli). Dan

p:27


1- 57 Syirin Bayani: Mughûlon va Hukûmat-e Ilkhoni dar Iron, hlm. 189.
2- 58 Abdurrafi ‘ Haqiqat: Torikh-e Nehzat-ho-ye Fekri-ye Ironiyon, hlm. 685.

dahi para ulama besar bersimpuh di haribaan Khajeh

guna mempelajari ilmu pengetahuan kepadanya, baik yang

berkenaan dengan Ushuluddin maupun Furu’uddin.(1)

Shafadi dalam syarah Ummat-e Ajam menyatakan bahwa

Khajeh Nashiruddin Thusi adalah seorang ahli yang tidak dapat

disaingi oleh siapa pun dalam bidang maghiste.(2) Ketika

Fadhil Jabali dalam Kasyf Al-Zdunûn memaparkan para penulis

yang tenar, ia meletakkan Khajeh di bagian teratas.(3)

Ibn ‘Ibri pernah berkomentar tentang Khajeh Nasiruddin

Thusi dalam Mukhtashar Al-Duwal. Ia menulis, “Ia adalah

seorang filosof yang agung di seluruh bagian bidang filsafat.

Ia memperkuat pandangan-pandangan para filosof terdahulu

dan menyelesaikan seluruh keraguan dan kritik para ulama

terkemudian yang tertulis dalam buku-buku mereka.”(4)

Ibn Syakir juga pernah berkomentar tentang Khajeh

Nashiruddin Thusi. Ia menulis:

Khajeh Nashiruddin sangat tampan menawan, dermawan,

penyabar, pintar bergaul, cerdas, dan cerdik. Ia termasuk

salah seorang jenius pada masanya. Lantaran kedekatan

hubungan yang dimiliki dengan Hulagu Khan, Khajeh

melindungi seluruh kepentingan Muslimin, khususnya para

pengikut Syi‘ah, keturunan Imam Ali as, dan para filosof.

Ia memperlakukan mereka dengan baik dan

p:28


1- 59 Abbas Qommi: Favo’ed-e Rezaviyeh dar Ahvol-e ‘Olamo-ye Mazhab-e Ja’fariyeh, hlm. 604.
2- 60 Muhsin Amin: A‘yân Al-Syî‘ah, hlm. 415.
3- 61 Ibid., hlm. 414.
4- 62 Ibid.

senantiasa berusaha keras guna menetapkan mereka

dalam setiap profesi yang mereka miliki. Ia selalu berusaha

memanfaatkan harta wakaf pada tempatnya yang layak.

Meskipun demikian, ia sangat rendah hati, selalu ceria,

dan pandai bergaul.(1)

Abdurrazzaq Lahiji menilai syarah yang ditulis oleh Khajeh

Nashiruddin atas buku Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât karya Ibnu

Sina sebagai buku terbaik dalam aliran fi lsafat paripatetiknya.

Sebagai tambahan, para ulama Rijal memiliki kehati-hatian

khusus dalam menanggapi biografi para perawi hadis. Akan

tetapi, mereka menganggap Khajeh sebagai salah seorang

pemimpin mazhab Syi‘ah Imamiah dan menyebutnya dengan

penuh penghormatan melalui ungkapan-ungkapan seperti

syaikh al-tsiqât wa al-ajillâ’, hujjat al-fi rqat al-nâjiyah, mu’assis asâs

al-dîn, dan man intahat ilaih riyâsat al-imâmiyah.(2)

Dunia Barat

Kedudukan dan posisi Khajeh Nashiruddin Thusi di dunia

Barat lebih banyak disebabkan oleh karya-karya ilmiah dan

praktisnya. Sebagai contoh, Tyco Brahe Ia meniru obsevatorium

Maragheh dan mendirikan observatorium Aurzenin Berg di

Denmark.

Lantaran karya-karya tulis berharga dalam bidang ilmu

matematika dan astronomi, Khajeh Nashiruddin Thusi

sangat dihormati oleh para ilmuwan Barat. Goerge Sarton

menilai bahwa Khajeh adalah matematikawan Islam terbesar.

p:29


1- 63 Ibid.
2- 64 M.M. Zanjani: Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 55.

Bruklman, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, pernah

berkata,“Khajeh adalah ilmuwan termasyhur pada abad VII

dan penulis teragung secara mutlak pada abad yang sama.”(1)

Henry Corbin menulis,“Jika aliran fi lsafat Ibn Sina Irani

(Timur) berbeda dengan tradisi Ibn Sina Latini (Barat) yang

sangat cepat sirna masih mampu bertahan hingga masa kini,

faktor pertamanya adalah Nashiruddin Thusi.”(2)

Khajeh Nashiruddin Thusi adalah orang pertama yang

memisahkan segi tiga dari ilmu Falak ( Astronomi) secara

independen dan meyakini enam kondisi bagi bentuk segi

tiga sama sisi. Oleh karena itu, buku-buku Matematika yang

mengupas pembahasan segi tiga tidak pernah kosong dari

namanya. August Comte dalam kalender para pioner aliran

Filsafat Positivisme meletakkan nama Khajeh Nashiruddin

Thusi untuk suatu hari dan nama Ibnu Sina untuk hari yang

lain. Dari sekian para ilmuwan yang hidup di Iran, hanya nama

dua orang ini yang termaktub dalam kalender ini.(3) Dengan

tujuan mengenang posisi ilmiah ilmuwan kita ini, orang-orang

Barat menamakan salah satu gunung yang terdapat di bulan

dengan nama Khajeh Nashiruddin Thusi.(4)

Ringkas kata, sudah seyogyanya kita membaca dan

mempelajari karya-karya ilmiah Khajeh Nashiruddin Thusi,

serta mempraktikkan seluruh ajarannya dalam kehidupan

individual, sosial, dan politik.

Buku ini ditulis dengan tujuan di atas. Semoga buku kecil

ini menjadi langkah baru dalam usaha tersebut.

p:30


1- 65 Muhsin Amin: A‘yân Al-Syi‘ah, hlm. 414.
2- 66 Henry Corbin: Torikh-e Falsafeh-e Eslomi, hlm. 451.
3- 67 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 29.
4- 68 Ibid.; M.M. Zanjani: Sarguzasht va ‘Aqo’ed-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 93.

Bab 2

Dasar-Dasar Manajemen Politik

Point

Manusia, secara tabiat (thab‘i), adalah seorang makhluk

sosial. Guna memenuhi seluruh kebutuhan material

dan spiritual, ia terpaksa harus mengadakan interaksi dengan

manusia sesamanya. Kecenderungan kepada sesama jenis ini

menyebabkan beberapa berkumpul dalam suatu area dan

sebuah masyarakat politik atau negara terwujud. Masyarakat

politik ini, secara substansial, memerlukan sebuah manajemen

politik. Oleh karena itu, negara dan manajemen politik memiliki

akar yang mendalam dalam diri manusia.

Khajeh Nashiruddin Thusi memahami betul masalah ini.

Oleh karena itu, dalam bukunya yang berjudul Akhloq-e Nosheri,

sebelum segala sesuatu, ia memaparkan substansi manusia.

Dengan ini, ia ingin menjelaskan fondasi dan keharusan sebuah

sistem manajemen politik dalam sebuah masyarakat. Atas

p:31

dasar ini, supaya kita mengenal sistem manajemen politik secara

benar, pertama kali kita harus menelaah manusia dan

masyarakat dalam perspektif Khajeh.

Manusia 1

Point

Untuk mengenal dasar-dasar utama dan keharusan keberadaan

sebuah manajemen politik dalam masyarakat, kita harus terlebih

dahulu mengkaji manusia dari dua sisi: sisi filosofis dan

sisi politis. Pada sisi filosofis, kita akan mengkaji manusia sebagai

maujud yang memiliki sebuah asal-muasal yang

bernama “jiwa kemanusiaan” (nafs-e ensani). Sehingga dengan

mengenal titik awal (mabda’), titik akhir (ma‘ad), substansi, dan

kedudukan manusia di tengah-tengah para makhluk yang

lain, kita akan mengenal tujuan, kesempurnaan insani, fasilitas,

dan sarana guna menggapai kesempurnaan ini. Pada sisi

politis, kita juga akan menelaah manusia sebagai maujud yang

hidup dan aktif di seluruh kancah sosial dan politik, sehingga

dalam ruang lingkup “masyarakat politik” ini, kita dapat menemukan

jalan-jalan guna mencapai tujuan asli tersebut.

1.1. Antropologi Filosofis
Titik Awal dan Titik Akhir Manusia

Ditinjau dari segi ontologis, seluruh eksisten ( maujud)

terbagi ke dalam dua klasifikasi: maujud wajib dan maujud

mungkin ( contingen). Maujud wajib adalah sebuah maujud

yang wujud/keberadaannya tegak berdiri dengan sendirinya

(tanpa memerlukan orang lain). Eksisten semacam ini hanyalah

Allah. Maujud mungkin adalah maujud yang wujudnya

tidak dengan sendirinya, tetapi karena wujud dzat yang lain;

yaitu

p:32

Allah Yang Mahakuasa dan Maha Bijaksana.

Atas dasar ini, kita akui secara pasti dari sejak permulaan

bahwa Allah sudah ada dari sejak zaman azali dan tidak maujud

lain selain-Nya. Allahlah yang mewujudkan seluruh eksisten

dari tiada menjadi ada.(1) Oleh karena itu, manusia adalah sebuah

maujud yang diciptakan oleh Dzat Suci Ilahi. Allah mencampuraduk

tanah Adam dan lalu menganugerahkan bentuk insani

kepadanya. Lantas, Dia memberikan kemampuan kepadanya

untuk memikul amanat Rabbani.(2)

Tempat Nabi Adam as bersemayam kala itu adalah surga.

Akan tetapi, setelah terusir dari surga, ia dan secara otomatis

anak keturunannya turun ke bumi.(3) Turun ke bumi bukan

berarti pelaknatan, pengusiran, pembalasan dendam, atau

penurunan sangsi. Turun ke bumi ini bermaksud pengutusan

ke suatu tempat guna melaksanakan taklif. Dunia ini adalah

tempat Nabi Adam as belajar dan ladang amal salih. Sehingga

dengan cara menyucikan jiwa dan menempuh tanggatangga

kesempurnaan, detik per detik, ia menanjak naik dari

satu tingkatan menuju ke tingkatan yang lain.(4) Ketika ajal

yang telah ditentukan oleh Allah tiba, maka sebagaimana ia

memperoleh wujud dari-Nya, ia harus menyerahkan wujud

tersebut kepada-Nya(5) dan berangkat menuju alam akhirat.

Atas dasar ini, titik awal (mabda’) adalah fi trah pertama,

dan titik akhir (ma‘ad) adalah kembali kepada fi trah tersebut.(6)

p:33


1- 69 Muhammad bin M.N. Thusi, Oghoz va Anjom, hlm. 9.
2- 70 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 33.
3- 71 “Turunlah kalian semua darinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 38).
4- 72 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 33.
5- 73 Muhammad bin M.N. Thusi, Oghoz va Anjom, hlm. 9.
6- 74 Ibid.

Turun dari surga menuju ke bumi berarti bergerak dari titik

kesempurnaan menuju ke titik kekurangan dan mengambil

jarak dari fi trah. Akan tetapi, bergerak dari dunia naik ke

surga berarti bergerak menuju ke titik kesempurnaan dan

menggapai fi trah.(1) Kesempatan manusia selama berada dalam

ruang antara titik awal dan titik akhir (usia) adalah sebuah

kesempatan untuk menggapai kesempurnaan dan fi trah. Yakni

kesempurnaan yang kemampuan untuk menggapainya telah

diletakkan oleh Allah dalan diri manusia dan berdasarkan

kaidah luthf. Dia telah menyiapkan fasilitas (agama) guna

pencapaiannya melalui pengutusan nabi as dan pengangkatan

imam maksum as.

Esensi Manusia

Ilmu fi lsafat mempelajari jiwa manusia untuk dua tujuan:

pertama, mengenal jiwa sehingga kita bisa menyucikannya,

dan kedua, mengenal jiwa karena Penciptanya sehingga kita

bisa mengenal-Nya dengan baik dan tidak menisbahkan-Nya

kepada alam natural.(2)Dari pembahasan tentang titik awal

dan titik akhir manusia yang telah kita paparkan di atas, telaah

tentang jiwa manusia pada pembahasan ini ingin menggapai

tujuan pertama. Meskipun demikian, tujuan kedua, secara

otomatis, juga akan tercapai.

Maujud mungkin dibagi dalam dua klasifi kasi: jauhar

(substansi) dan ‘aradh (aksiden). Substansi dibagi menjadi

empat klasifi kasi: shûrah (forma), hayûlâ (materi), jism (benda),

dan mujarrad (immaterial). Jiwa insani dan akal termasuk

p:34


1- 75 Ibid., hlm. 10.
2- 76 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘ti qâd, hlm. 267.

dalam golongan immaterial.(1)

Jiwa insani atau nafs nâthiqah (jiwa pemikir) adalah

substansi yang simpel ( basîth). Jiwa manusia bukan materi,

bukan material, dan tidak dapat dijangkau oleh panca indera.(2)

Dalam proses memahami sesuatu, jiwa insani tidak memerlukan

kepada alat dan fasilitas. Jiwa ini adalah pembeda antara halhal

yang dapat dipahami dan merupakan peringkat terakhir

akal.(3) Di antara kinerja khusus jiwa insani, memahami segala

sesuatu yang dapat digapai oleh akal (ma‘qûlât) melalui

perantara dirinya sendiri dan mengatur badan materi ini

melalui perantara beberapa kekuatan dan fasillitas yang

dimiliki. Mayoritas masyarakat mengatakan bahwa kinerja

kedua ini dilakukan oleh manusia.(4)

Jiwa adalah substansi yang secara dzati independen.

Artinya, ia adalah sebuah maujud yang tidak memiliki subjek,

tempat, dan materi serta seluruh sifat dan kriteria yang dimiliki

oleh materi. Akan tetapi, dalam aktivitas, ia memerlukan

kepada fasilitas material.(5) Dengan demikian, karena jiwa

bukan materi, bukan material, dan tidak bergantung kepada

tempat, badan kita bukanlah tempat bagi jiwa ini. Badan

kita hanya sebuah alat dan fasilitas baginya. Sebagaimana

kerusakan sebuah alat dan fasilitas tidak dapat menimbulkan

kerusakan bagi pemiliki atau pemakainya, kematian dan

kerusahan susunan badan kita juga tidak dapat mewujudkan

kerusakan bagi jiwa insani kita. Dengan kerusakan badan,

p:35


1- 77 Muhammad bin M.N. Thusi: Majmû’eh-e Raso’el; Qesm-e Maojûdot.
2- 78 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 48-49.
3- 79 Muhammad bin M.N. Thusi: Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 260.
4- 80 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 48-49.
5- 81 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘tiqâd, hlm. 164.

hanya fungsi dan kinerja jiwa insani akan rusak, dan dengan

kematian, kemampuan untuk bekerja akan diambil dari jiwa

ini.(1)

Atas dasar ini, karena jiwa manusia atau jiwa pemikir

adalah sesuatu yang sederhana (basîth), maka ia tidak akan

pernah rusak.(2) Setelah kematian dan kerusakan badan, jiwa

ini akan tetap ada. Bukan hanya kematian yang tidak dapat

menghampirinya, ketiadaan (‘adam) juga tidak akan pernah

menyentuhnya.(3)

Kekuatan- kekuatan Jiwa Insani

Jiwa adalah sebuah kosakata yang bersifat musytarok lafzdî

(equivokal) dan memiliki beberapa makna yang berbeda-beda.

Pada kesempatan ini, kami hanya akan memaparkan tiga

makna saja dari beberapa makna jiwa.

Pertama, jiwa nabati. Efek-efek jiwa ini meliputi seluruh

jenis tetumbuhan,(4) binatang, dan manusia.(5) Jiwa ini memiliki

gerak multi orientasi ( chandsûyeh) yang ia lakukan tanpa

ikhtiar, kehendak, dan pemahaman sama sekali.(6)

Kedua, jiwa hewani. Jiwa ini dimiliki oleh seluruh jenis

binatang, termasuk bangsa manusia.

p:36


1- 82 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 54.
2- 83 Muhammad bin M.N. Thusi: SyarhAl-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 286.
3- 84 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 54.
4- 85 Atas dasar ini, manusia sebagai sebuah nau‘ (spesies); yakni hewan yang berpikir, dan binatang sebagai jism nâmî mutaharrik (materi yang berkembang biak dan bergerak) memiliki seluruh kekuatan yang tersebut di atas. Dari sisi reproduksi, manusia adalah sama dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang, dari sisi pemahaman organik (idrâk âli) dan gerak irâdî (yang didasari kehendak), sama dengan binatang, dan dari sisi akal, ia terpisah dari semua itu.
5- 86 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 56.
6- 87 Muhammad bin M.N. Thusi: Roudhah At-Taslîm, hlm. 23

Ketiga, jiwa insani. Jiwa ini hanya dimiliki oleh jenis

manusia. Dengan jiwa ini, manusia terpisah dari binatang.(1)

Setiap jiwa dari ketiga jiwa ini memiliki beberapa

kekuatan yang menjadi sumber aksi dan kinerja tertentu. Jiwa

nabati memiliki tiga kekuatan: (a) quwwah ghâdziyah (fakultas

yang menjamin makanan), (b) quwwah munammiyah (fakultas

penjamin pertumbuhan dan perkembangan badan), dan (c)

kekuatan reproduksi keturunan.

Jiwa hewani memiliki dua kekuatan: (a) kekuatan

pemahaman organik, dan (b) kekuatan gerak swakarsa (irâdî).

Kekuatan pemahaman organik dibagi dalam dua klasifikasi:

(a) hal-hal yang dapat dipahami melalui panca indera lahiriah

(penglihat, pendengar, pencium, perasa, dan peraba), dan (b)

hal-hal yang dapat dipahami melalui panca indera batiniah:

indera kolektif (hiss musytarak), khayal, pikiran, waham

(delusi), dan memori.

Kekuatan gerak swakarsa dibagi dalam dua klasifikasi:

(a) kekuatan syahwat atau inklinasi (kecenderungan) yang

membangkitkan keinginan untuk meraih manfaat, dan (b)

kekuatan amarah atau kekuatan murka dan defensif yang

membangkitkan keinginan untuk menyingkirkan segala

bentuk mara bahaya.

Akan tetapi, jiwa insani memiliki satu kekuatan khusus

yang tidak dimiliki oleh seluruh jenis binatang. Kekuatan

khusus ini adalah kekuatan berpikir atau akal.(2) Akal adalah

kekuatan khusus yang dimiliki oleh manusia guna memahami

hal-hal yang bersifat universal (kulliyyah). Hal ini berbeda

p:37


1- 88 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 56.
2- 89 Ibid., hlm. 56-57.

dengan pemahaman terhadap hal-hal partikular ( juz’iyyah)

yang dapat diperoleh melalui panca indera dan sama-sama

dimiliki oleh manusia dan binatang.(1)

Di antara kekuatan- kekuatan di atas, sebagian kekuatan

terwujud secara natural sehingga tidak dapat ditambah,

dikurangi, diubah, atau diperbaiki. Akan tetapi, tiga kekuatan;

yaitu akal, syahwat, dan amarah (defensif) terwujud berdasarkan

kehendak dan pikiran kita. Oleh karena itu, ketiga kekuatan

ini bisa berubah dan disempurnakan. Kekuatan amarah dan

syahwat termasuk dalam cabang jiwa hewani(2) dan hanya

dimiliki oleh binatang. Atas dasar ini, spesies manusia sebagai

binatang yang berpikir juga memiliki kesamaan dengan

spesies-spesies binatang yang lain. Akan tetapi, kekuatan akal

hanya dimiliki oleh spesies manusia belaka.(3)

Dengan demikian, manusia tersusun dari tiga kekuatan.

Kekuatan yang paling rendah adalah jiwa bahîmî (binatang).

Jiwa buas (sabu‘î) atau amarah merupakan kekuatan yang

berada di peringkat pertengahan. Sedangkan, kekuatan yang

tertinggi adalah jiwa insani yang biasa juga disebut dengan

jiwa malakî. Di antara ketiga jiwa ini, jiwa insani, pada hakikat

dan esensinya, pemilik tata krama dan kemuliaan. Jiwa

buas, sekalipun tidak beradab, masih dapat diajari adab dan

tatakrama. Setelah diajari tata krama, jiwa ini akan menaati

seluruh perintah pengajar adab. Akan tetapi, jiwa bahîmî tidak

beradab dan juga tidak dapat diajari adab.

p:38


1- 90 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 54.
2- 91 Muhammad bin M.N. Thusi: Resaleh-e Tavallo va Tabarro, appendiks buku Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 563.
3- 92 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 58.

Hikmah keberadaan jiwa bahîmî ini adalah supaya badan

manusia bertahan hidup. Jiwa bahîmî adalah tunggangan

jiwa insani dalam rangka menggapai titik kesempurnaannya.

Hikmah keberadaan jiwa buas atau amarah adalah supaya

manusia dapat mengalahkan jiwa bahîmî sehingga kerusakan

yang mungkin ditimbulkan oleh dominasi jiwa bahîmî karena

jiwa ini tidak bisa diajari adab dapat ditangkal.

Al-Qur’an yang mulia menyebut ketiga jiwa dengan nama

jiwa ammarah, jiwa lawwamah, dan jiwa muthma’innah.

Jiwa ammarah memerintahkan manusia supaya mengumbar

dan menuruti ajakan syahwat. Setelah melakukan suatu aksi

yang terhitung sebagai kekurangan dan bukan kesempurnaan,

jiwa lawwamah, dengan dorongan penyesalan dan cercaan,

menampakkan aksi ini di hadapan mata hati sebagai sebuah

tindakan yang sangat buruk. Jiwa muthma’innah tidak pernah

rela kecuali dengan aksi-aksi yang luhur dan terpuji.(1)

Kedudukan Manusia di Kalangan Maujud yang Lain

Jisim-jisim natural dari sisi kejisimannya adalah sama

antara yang satu dengan yang lain. Tidak ada keutamaan

dan kemuliaan yang dimiliki oleh satu benda atas benda

yang lain. Akan tetapi, setelah satu unsur bercampur aduk

dengan unsur yang lain, setiap benda padat yang bahan

utamanya lebih bisa menerima aneka ragam bentuk, benda

padat ini adalah lebih mulia dibandingkan dengan bendabenda

padat yang lain. Peringkat dan gradasi dalam jisim ini

akan sampai pada suatu tingkat di mana sebuah jisim yang

tersusun memiliki kemampuan untuk menerima jiwa nabati.

p:39


1- 93 Ibid., hlm. 76-77.

Yaitu jisim ini tercipta menjadi sebuah tumbuhan. Atas dasar

ini, apabila kekuatan- kekuatan jiwa menjadi semakin banyak

dan bertambah kuat dalam sebuah jiwa, maka kemuliaan dan

keutamaan jiwa ini akan semakin banyak. Jiwa hewani adalah

lebih mulia dibandingkan dengan jiwa nabati, dan jiwa insani

adalah lebih mulia daripada jiwa hewani. Dengan demikian,

manusia adalah maujud termulia di jagad raya ini.(1)

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah mengapa

manusia adalah makhluk yang paling mulia?

Keberadaan tingkatan dan peringkat yang berbeda di

kalangan seluruh maujud ini, sampai-sampai dalam jiwa

nabati dan jiwa hewani itu sendiri, terjadi karena tuntutan

alam (thabî‘ah). Artinya, di alam raya ini, seluruh kebutuhan

yang diperlukan oleh tumbuh-tumbuhan dan binatang sudah

tersedia dengan baik. Tumbuh-tumbuhan dan binatang

dapat memanfaatkan seluruh kebutuhan ini secara langsung

kapan saja mereka menemukannya. Makanan untuk tumbuhtumbuhan

dan binatang yang disediakan oleh alam untuknya,

serta rambut dan bulu tubuh binatang yang dapat menjaganya

dari serangan dingin dan panas, termasuk salah satu contoh

kebutuhan tersebut. Dalam area batin, kesempurnaan yang

diperlukan oleh seluruh spesies tumbuh-tumbuhan dan

binatang yang tersusun, sebelumnya telah disediakan dalam

fi trahnya atau diletakkan dalam tabiatnya. Akan tetapi,

berbeda dengan jiwa insani. Menggapai seluruh kebutuhan,

kesempurnaan, atau kekurangan, semua ini diserahkan kepada

akal, pikiran, dan kehendak manusia. Seluruh kebutuhan untuk

hidup, seperti sandang dan pangan, sepenuhnya diserahkan

p:40


1- 94 Ibid., hlm. 59-62.

kepada kehendak dan pikiran manusia sehingga ia harus

memproduksinya sesuai dengan selera yang ia anggap paling

bagus untuk dirinya. Makanan manusia tidak akan dapat

diperoleh tanpa bercocok tanam, panen, menggiling hasil

panen, mengolahnya menjadi adonan, dan lalu memasaknya.

Pakaiannya juga tidak akan pernah tersedia tanpa dipintal

dan ditenun. Dalam area batin, kesempurnaan dan keutamaan

insani juga diserahkan kepada akal dan kehendaknya. Seluruh

kebahagiaan, kesengsaraan, kesempurnaan, dan kekurangan

dipasrahkan kepada dirinya.(1)

Atas dasar ini, dalam area fi trah, manusia memiliki

peringkat pertengahan ( wusthâ) dan diletakkan di tengahtengah

maujud alam semesta. Ia bisa memilih jalan menuju

“kehendak” hingga sampai ke peringkat yang tertinggi atau

memilih jalan menuju “alam” hingga sampai ke peringkat

yang terendah.(2) Jika ia bergerak di atas jalan yang lurus sesuai

dengan kemaslahatannya dan didasari oleh kehendak, lalu

ia berhasil menggapai ilmu pengetahuan, makrifat, adab,

dan kesempurnaan, maka kerinduan dalam fi trahnya guna

menggapai kesempurnaan akan menuntunnya ke jalan yang

layak dan tujuan yang mulia, serta membawanya dari sebuah

peringkat menuju peringkat yang lebih tinggi. Hal ini akan

berlanjut hingga ia berhasil menggapai sebuah peringkat di

mana cahaya Ilahi bersinar benderang dalam dirinya, memiliki

tempat di haribaan Dzat Yang Mahatinggi, dan menjadi salah

seorang yang dekat kepada Dzat Yang Maha Abadi. Akan

tetapi, sebaliknya. Apabila ia memilih stagnan dalam peringkat

p:41


1- 95 Ibid., hlm. 62-64.
2- 96 Ibid., hlm. 63.

pertama dan fi trinya, alam akan menjungkirkannya menuju

peringkat yang paling rendah, karena kehendak yang busuk

akan bertambah kepadanya. Hari demi hari dan saat demi

saat, kesempurnaannya akan bertambah kurang. Akhirnya

kekurangan dan kemerosotan akan menjadi dominan. Tak

ubahnya seperti batu yang dilemparkan dari atas. Dalam

sedikit waktu, ia akan sampai ke peringkat yang paling rendah

dan paling hina; yaitu kebinasaan.(1)

Ringkas kata, kesempurnaan dan kekurangan setiap

manusia bergantung kepada akan dan kehendaknya.

Kesempurnaan Manusia

Kesempurnaan setiap sesuatu bergantung kepada kekhasan

tipologi (khâshiyyah) khusus yang terwujud darinya secara

sempurna. Artinya, aksi khusus yang dimiliki olehnya harus

sudah terwujud secara sempurna.(2) Sebaliknya, sesuatu tidak

memperoleh kesempurnaan apabila ia mewujudkan tipologi

itu tidak secara sempurna atau tidak mewujudkan sama sekali.

Tipologi ini adalah efek atau kekuatan khusus yang dimiliki

oleh sebuah eksisten ( maujud).(3)

Uraiannya: sebuah maujud mungkin (kontingen) memiliki

beberapa aksi dan kekuatan yang juga dimiliki oleh maujudmaujud

yang lain. Akan tetapi, setiap maujud memiliki sebuah

kriteria khusus yang tidak bisa dimiliki oleh maujud yang lain.

p:42


1- 97 Ibid., hlm. 62.
2- 98 Ibid., hlm. 107.
3- 99 Sebagai contoh, kriteria sebilah pedang adalah ketajaman dan membelah sesuatu. Kriteria seekor kuda adalah ketaatan kepada penunggang dan berlari kencang. Ini semua adalah kriteria pedang dan kuda, meskipun pedang memiliki kesamaan dengan kampak dalam meraut kayu dan kuda dengan keledai dalam memikul beban.

Esensi maujud tersebut bisa terwujud hanya apabila kriteria itu

juga terwujud. Manusia tak ubahnya seperti maujud- maujud

yang lain; juga memiliki banyak aksi dan kekuatan. Dalam

sebagian aksi dan kekuatan ini, ia ekuivalen dengan binatang.

Dalam sebagian yang lain, setara dengan tumbuh-tumbuhan.

Dan dalam sebagian yang lain, sederajat dengan benda padat.

Lebih dari itu, ia memiliki sebuah tipologi yang membuatnya

berbeda dengan maujud yang lain, dan tak satu pun maujud

menyamainya dalam tipologi ini. Tipologi ini adalah akal.(1)

Dengan penjelasan ringkas ini, ada sebagian orang yang

didominasi oleh aksi dan kekuatan- kekuatan yang juga dimiliki

oleh binatang dan maujud- maujud rangkapan lainnya, dan ia

memfokuskan seluruh perhatian kepadanya. Sebagai contoh,

ia menuruti seluruh keinginan untuk memuaskan kelezatan

badan dan syahwat yang merupakan hasil dominasi kekuatan

syahwat; yaitu kelezatan yang memang disenangi oleh seluruh

panca indra dan kekuatan yang ada dalam badan kita, seperti

aneka makanan, minuman, dan wanita. Atau ia mementingkan

kemauan untuk selalu menang dan membalas dendam yang

merupakan hasil dominasi kekuatan amarah. Orang semacam

telah turun dari peringkat yang ia miliki dan terjerumus ke

dalam peringkat binatang atau lebih rendah darinya.(2) Jelas,

ini adalah sebuah kekurangan bagi manusia.

Ada juga sebagian orang yang berhasil mencegah

dirinya dari hal-hal yang menyebabkan kekurangan dan

kerusakannya, senantiasa meletakkan jiwa ini berada dalam

tuntunan pendidikan, kekuatan esensialnya bergerak

p:43


1- 100 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 66-65.
2- 101 Ibid., hlm. 66-67.

menanjak, menyibukkan diri guna mewujudkan tipologi dan

aksi-aksi yang hanya khusus dimiliki oleh manusia; yaitu

mencari ilmu pengetahuan hakiki dan makrifat universal,

dan memfokuskan seluruh usaha untuk menuai kebahagiaan

dan menyimpan kebaikan. Dalam kondisi seperti ini, karena

senantiasa melakukan aksi yang sejenis dan menghindari

seluruh aral yang melintang, kekuatan yang ia miliki tersebut

akan semakin berkembang.(1)

Dari sisi yang lain, kesempurnaan setiap maujud yang

tersusun terpisah dari kesempurnaan setiap bagiannya. Oleh

karena itu, kesempurnaan manusia sebagai sebuah maujud

yang tersusun berbeda dengan kesempurnaan yang dimiliki

oleh setiap bagiannya.(2) Penjabarannya adalah berikut ini:

Jiwa pemikir (nâthiqah) atau malakî yang dimiliki oleh

manusia memiliki dua kekuatan: pertama, kekuatan ilmiah

dan kedua, kekuatan amaliah. Konsekuensinya, kesempurnaan

manusia juga terbagi ke dalam dua klasifi kasi: pertama,

kesempurnaan kekuatan ilmiah dan kedua, kesempurnaan

kekuatan amaliah.

Kesempurnaan kekuatan ilmiah adalah kehendak

dan keinginan manusia harus terfokus pada pemahaman

makrifat dan pencarian ilmu pengetahuan. Lalu, berdasarkan

keinginan ini dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, ia

bisa menguasai seluruh peringkat yang dimiliki oleh seluruh

maujud dan hakikat mereka. Lalu, ia bisa menggapai makrifat

hakiki dan tujuan universal sejati yang seluruh maujud sedang

bergerak menuju kepadanya; ia sampai ke alam tauhid dan

p:44


1- 102 Ibid., hlm. 67.
2- 103 Ibid., hlm. 69.

bahkan ke alam kemanunggalan (ittihâd).(1) Di sini hatinya,

akan menjadi tenang dan tentram.

Kesempurnaan kekuatan amaliah adalah ia berhasil

menata dan menyelaraskan seluruh kekuatan dan aksi yang

hanya khusus untuk dirinya, sehingga kekuatan dan aksi-aksi

ini bisa sejalan antara yang satu dengan yang lain dan tidak

saling ingin menguasai. Dalam kondisi seperti ini, akhlaknya

akan menjadi akhlak yang diridai. Setelah itu, ia beranjak

untuk menyempurnakan orang lain; yaitu beranjak untuk

mengatur urusan rumah tangga dan negara (tadbir-e manzel

va mudun), guna menata dan menyeragamkan seluruh urusan

yang mereka miliki bersama. Akhirnya, mereka akan sampai

kepada kebahagiaan yang diinginkan bersama.(2)

Kesimpulannya, tujuan keberadaan manusia adalah

kesempurnaan yang terbangun dari “ilmu dan amal”.

Tujuan Kesempurnaan
Point

Tidak ada satu aksi pun yang tidak memiliki tujuan dan maksud.

Usaha penyempurnaan jiwa manusia juga guna menggapai

sebuah tujuan yang amat tinggi. Tujuan penyempurnaan jiwa

atau menggapai kesempurnaan adalah kebahagiaan manusia.

Kebahagiaan ini adalah sebuah kebaikan baginya.(3) Artinya,

merupakan sebuah kebaikan bagi manusia apabila ia menjadi

orang yang bahagia.

Kebahagiaan terbagi dalam tiga klasifikasi: kebahagiaan

jiwa (naf-sânî), kebahagiaan badan ( badanî), dan kebahagiaan

p:45


1- 104 Muhammad bin M.N. Thusi: Awshâf Al-Asyrâf, hlm. 93-96.
2- 105 Ibid., hlm. 69-70.
3- 106 Ibid., hlm. 80.

sosial (madani). Yang dimaksud pada pembahasan ini adalah

kebahagiaan jiwa. Sebagai kebalikan kebahagiaan ini terdapat

kesengsaraan.

Hubungan Kebaikan dengan Kebahagiaan

Farabi pernah menegaskan, “Kebahagiaan adalah kebaikan

yang mutlak. Segala sesuatu yang membantu manusia untuk

menggapai kebahagiaan adalah kebaikan.”(1) Kebahagiaan

adalah sebuah anugerah dan karunia Ilahi yang berada pada

peringkat kebaikan yang tertinggi.

Kebaikan juga terbagi dalam dua klasifi kasi: pertama,

kebaikan mutlak. Maksud keberadaan seluruh maujud dan

tujuan untuk seluruh tujuan adalah untuk mencapai kebaikan

ini. Kedua, kebaikan relatif. Jenis kebaikan ini berhubungan

dengan segala sesuatu yang dapat bermanfaat dalam rangka

menggapai kebaikan mutlak ini. Dengan demikian, kebahagiaan

jiwa adalah kebaikan mutlak dan jenis kebahagiaan yang lain,

baik yang bersifat kebahagiaan badan maupun sosial, adalah

kebaikan relatif. Kebahagiaan jenis ini bermanfaat dalam

membantu menggapai kebahagiaan jiwa.

Dari sisi lain, kebaikan untuk semua manusia adalah

sama. Akan tetapi, kebahagiaan setiap orang berbeda dengan

orang yang lain. Kebaikan seluruh manusia adalah sampainya

mereka pada kebahagiaannya. Hanya saja, kebahagiaan setiap

orang berbeda dengan kebahagiaan orang lain.

p:46


1- 107 Abu Nashr Muhammad Farabi: Siyosat-e Madaniyeh, hlm. 45.
Pencapaian Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah menemukan dan menggapai

kesempurnaan. Nilai kesempurnaan dan kekurangan

diserahkan kepada akal setiap individu. Oleh karena itu,

penggapaian kebahagiaan bergantung kepada akal dan pikiran

setiap individu dan hanya dapat diperoleh dengan gerak jiwa.

Hanya dengan gerakan ikhtiari manusia, pikiran untuk mencari

kesempurnaan akan muncul. Pencarian semacam ini menuntut

sebuah pemahaman yang benar tentang kesempurnaan, dan

lalu akan menimbulkan sebuah kerinduan dalam diri seseorang.

Setiap kerinduan akan memunculkan sebuah kehendak. Dan

setiap kehendak adalah asal mula gerakan dan pencarian yang

lain.(1) Hal ini terus berlanjut sehingga kebahagiaan terwujud.

Yaitu kebahagiaan yang tidak akan pernah berubah dan tidak

pula sirna.(2)

Dengan demikian, kebahagiaan seseorang akan terwujud

apabila ia, pertama, memanfaatkan kelezatan yang terdapat

dalam kecederungan hikmah,(3) dan kedua, menebarkan

keutamaan dan menampakkan hikmah. Hal ini karena

p:47


1- 108 Muhammad bin M.N. Thusi: Resaleh-e Jabr va Ekhti yor, hlm. 44.
2- 109 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 84.
3- 110 Tujuan seluruh tindakan manusia karena kesederhanaannya ( basîth) ada tiga jenis. Oleh karena itu, kecederungan manusia juga ada tiga jenis: Pertama, kecenderungan kepada kelezatan. Kecenderungan ini adalah tujuan untuk seluruh tindakan jiwa syahwat. Kedua, kecenderungan kepada kemuliaan. Kecenderungan ini adalah tujuan untuk seluruh tindakan jiwa amarah. Ketiga, kecenderungan kepada hikmah. Kecenderungan ini adalah tujuan untuk seluruh tindakan jiwa insani (‘âqilah). Kecenderungan kepada hikmah adalah kecenderungan yang paling mulia dan paling sempurna. Kecenderungan ini juga meliputi kemuliaan untuk kelezatan dzat . Silakan merujuk buku Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 95-96.

kesempurnaan lezat kebahagiaan bergantung kepada

tindak menebarkan keutamaan dan menampakkan hikmah.

Atas dasar ini, penggapaian kebahagiaan mengharuskan

kedermawanan.(1)

Tingkatan Kebahagiaan Jiwa

Kebahagiaan memiliki tingkatan dan derajat. Kebahagiaan

dapat dihasilkan secara bertahap sesuai dengan usaha dan

kerja keras setiap individu. Setiap sesuatu, dalam posisi dan

waktunya sendiri, adalah sebuah kebahagiaan parsial bagi

seorang individu. Ia, dengan jalan mengumpulkan seluruh

kebahagiaan parsial ini, akan sampai kepada peringkat

kebahagiaan yang tertinggi secara perlahan dan gradual.

Akhirnya, ia akan menjadi seorang bahagia yang sempurna.

Setelah kebahagiaan yang sempurna tercapai, ia tidak akan

sirna sekalipun setelah tubuhnya hancur lebur.(2) Sebaliknya,

apabila seseorang hanya bertujuan memperbaiki sebagian

kekuatan jiwa, bukan seluruh kekuatannya, dan hanya untuk

satu masa, bukan untuk seluruh masa, maka ia tidak akan

pernah memperoleh kebahagiaan sama sekali.(3)

Ragam Kebahagiaan Jiwa

Kebahagiaan jiwa ada empat macam. Para ulama menamakan

ke- empat macam ini dengan “empat keutamaan ( fâdhilah)”.

Secara fi trah, manusia memiliki kelayakan untuk menggapai

seluruh kebahagiaan ini.(4) Artinya, ia hanya dapat

p:48


1- 111 Ibid., hlm. 99.
2- 112 Ibid., hlm. 85-86.
3- 113 Ibid., hlm. 932.
4- 114 H.N. Farhan: Al-Khâjah Nashîruddîn Al-Tûsî, hlm. 308.

menyempurnakan kekurangannya dengan memperoleh empat

keutamaan ini.

Oleh karena itu, faktor kebahagiaan adalah empat

keutamaan tersebut. Seseorang bisa disebut bahagia apabila

jiwanya berhasil mengumpulkan keempat kriteria ini.(1)

Seluruh fi losof, baik yang terdahulu maupun yang terkini,

sepakat bahwa keutamaan-keutamaan manusia hanya terbatas

pada empat macam:(2)

Hikmah; hikmah ini terwujud karena penyucian fakultas

teoretis (quwwah nazdariyyah). Hikmah adalah mengenal segala

sesuatu yang ada.

Keberanian (syaja‘ah); keberanian ini terwujud karena

penyucian fakultas amarah (quwwah ghadhabiyyah). Keberanian

akan terbentuk apabila jiwa amarah (nafs ghadhabiyah)

mematuhi seluruh titah jiwa pemikir ( nafs nâthiqah). Dengan

demikian, aksi yang dilakukan oleh jiwa ini menjadi terpuji

dan kesabaran yang dimiliki akan menjadi terpuja.

Kesucian (‘iffah); kesucian ini terbentuk karena penyucian

fakultas syahwat (quwwah syahawiyah). Kesucian akan

terwujud apabila syahwat mematuhi seluruh titah jiwa

pemikir. Dengan ini, seluruh aksi yang ia lakukan akan sesuai

dan sejalan dengan hukum akal, efek kemerdekaan akan

tampak padanya, dan ia akan terbebaskan dari penghambaan

terhadap hawa nafsu dan kelezatan.

p:49


1- 115 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 122.
2- 116 Untuk membukti kan pembatasan ini, Khâah Nashîruddîn menggunakan dua jalan: pertama, melalui jalan pembatasan dalam tiga kekuatan; yaitu kekuatan nâthiqah (pemikir), kekuatan sabu‘î (amarah), dan kekuatan bahîmî (binatang), dan kedua, juga melalui jalan pembatasan kekuatan dalam dua kekuatan: teoritis dan praktis. Guna menelaah pembahasan ini lebih lanjut, silakan merujuk ibid., hlm. 108-190.

Keadilan (‘adâlah); keadilan ini terwujud berkat penyucian

fakultas praktis (quwwah ‘amaliyah). Keadilan akan terbentuk

apabila seluruh kekuatan di atas sepakat untuk memaatuhi

seluruh titah kekuatan pemisah (akal). Dengan ini, perbedaan

keinginan dan gravitasi masing-masing kekuatan tidak akan

menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang kebingungan,

serta efek seluruh kebaikan (inshâf wa intishâf) akan tampak

padanya.

Seperti telah dipaparkan di atas, hikmah berhubungan

dengan kekuatan teoretis dan tiga keutamaan lainnya bertalian

dengan sisa kekuatan badan yang lain. Oleh karena itu,

manifestasi efek hikmah adalah jiwa pemikir dan manifestasi

efek-efek tiga keutamaan yang lain adalah sisa kekuatan jiwa

yang lain.(1)

Dari keempat keutamaan di atas, tidak ada keutamaan

yang lebih sempurna dibandingkan dengan keadilan.

Alasannya, keadilan bersifat umum, meliputi seluruh

keutamaan yang lain, dan seluruh aksi yang dilakukan

dengan tetap menjaga titik keseimbangan (i‘tidâl).(2) Keadilan

bukanlah sebagian keutamaan, tetapi manifestasi seluruh

jenis keutamaan. Dan kezaliman yang merupakan kebalikan

keadilan bukanlah sebagian keburukan, tetapi manifestasi

seluruh jenis keburukan.(3) Begitu juga, posisi pertengahan

( wasath) bersifat hakiki. Selain posisi, apa pun bentuknya,

adalah pinggiran posisi tersebut. Sumber segala sesuatu adalah

p:50


1- 117 Ibid., hlm. 123.
2- 118 Ibid., hlm. 143.
3- 119 Ibid., hlm. 136.

posisi pertengahan ini.(1) Penentu posisi pertengahan yang

hanya dengan mengenalnya segala sesuatu bisa dikembalikan

kepada titik keseimbangan tidak lain adalah syariat.(2)

Atas dasar ini, pada hakikatnya, penentu kesamaan dan

keadilan adalah syariat. Lantaran tidak akan keluar dari

Allah kecuali hal-hal yang indah, maka syariat tidak akan

memerintahkan kecuali kepada kebaikan. Perintah syariat

hanya tertuju kepada kebaikan dan kepada segala sesuatu

yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan.

Sedangkan larangannya berhubungan dengan segala

sesuatu yang dapat merusak badan. Oleh karena itu, syariat

memotivasi kita untuk menggapai keutamaan dan mencegah

kita terjerumus ke dalam jurang keburukan.(3)

Keadilan adalah sebuah keutamaan yang berhubungan

dengan jiwa. Dengan perantara keadilan, kita dapat meresapi

syariat. Pembatas dan penentu undang-undang dan hukum

adalah syariat. Oleh karena itu, rasa ingin menentang Pemilik

syariat dalam diri orang yang adil tidak pernah terbayangkan.

Sebaliknya, seluruh kekuatan dan semangatnya digunakan

untuk mengikuti dan membantu syariat.(4)

Dengan penjelasan ini, adil adalah orang yang dapat

menyelaraskan dan menyamakan segala sesuatu yang

tidak selaras dan tidak sama. Tugas yang sangat berat ini

hanya mampu diemban oleh orang yang mengetahui posisi

pertengahan dengan baik sehingga ia bisa mengembalikan

p:51


1- 120 Ibid., hlm. 131.
2- 121 Ibid., hlm. 133.
3- 122 Ibid., hlm. 135-136.
4- 123 Ibid., hlm. 143-144.

seluruh titik pinggiran kepada posisi ini.(1) Adil memberikan

ketentuan dengan kesamaan. Artinya, ia menghilangkan segala

jenis keburukan. Khalifah syariat selalu berusaha memelihara

persamaan dan kesamaan.(2)

Aristoteles membagi keadilan ke dalam tiga klasifi kasi:

Pertama, hak Allah Swt yang harus ditegakkan oleh

seluruh masyarakat. Kedua, hak sesama manusia,

menghormati para pembesar, menunaikan amanat, dan

bertindak jujur dalam transaksi yang harus dilaksanakan

dengan baik. Ketiga, menunaikan hak nenek moyang kita,

seperti melunasi utang dan melaksanakan seluruh wasiat

mereka.(3)

Syarat wajib sebuah keadilan menandaskan bahwa untuk

setiap pengambilan harus ada pemberian. Pengambilan

tanpa pemberian adalah sebuah aksi yang keluar dari garis

kesadaran. Untuk itu, di hadapan seluruh anugerah dan

nikmat Allah yang tak terbatas untuk jiwa dan tubuh kita ini

terdapat sebuah hak yang pasti. Dengan demikian, meskipun

Allah Swt tidak memerlukan seluruh usaha kita, akan tetapi

sangatlah buruk apabila di hadapan segala anugerah ini kita

tidak menghaturkan syukur kepada-Nya.(4)

Dengan demikian, keadilan menuntut, untuk hal-hal

yang ada antara kita dan Tuhan kita, kita semampu mungkin

memilih jalan yang paling baik dan menyingsingkan lengan

p:52


1- 124 Ibid., hlm. 133.
2- 125 Ibid., hlm. 136.
3- 126 Ibid., hlm. 138.
4- 127 Ibid., hlm. 140.

baju sesempurna mungkin untuk mensyukuri seluruh

nikmat itu. Oleh karena itu, orang yang berakal harus

mengejawantahkan keadilan dalam diri dan jiwanya. Dalam

artian, ia harus menyeimbangkan seluruh kekuatan jiwa

yang dimiliki dan menyempurnakan seluruh kemampuan

jiwanya. Setelah berhasil menyeimbangkan jiwanya sendiri,

ia harus menyeimbangkan seluruh sahabat, kerabat, dan

kaumnya dengan cara yang sama. Lalu, setelah itu, ia harus

menyeimbangkan seluruh orang yang berada jauh dari dirinya.

Untuk kali keempat, ia harus melakukan penyeimbangan

terhadap seluruh binatang. Jika hal ini berhasil dilakukan

dengan baik, maka kemuliaannya akan mengalahkan kemuliaan

manusia sesamanya dan keadilannya telah sempurna.(1)

Sebagai oposisi orang yang adil, terdapat orang yang

zalim. Orang zalim adalah orang yang tidak mengindahkan

persamaan dan kesamaan. Orang zalim yang paling besar

adalah orang yang tidak menaati syariat.(2)

Ragam Keutamaan

Setiap keutamaan dari empat keutamaan di atas (hikmah,

keberanian, kesucian, dan keadilan) memiliki jenis yang tak

terbatas. Jenis-jenis keutamaan yang masyhur adalah berikut

ini:

a. Aneka manifestasi hikmah: kecerdasan, pemahaman

yang cepat, kejernihan otak, kemudahan belajar, kejituan

berpikir, kehatian-hatian dalam bertindak, dan kesadaran

penuh.

p:53


1- 128 Ibid., hlm. 148.
2- 129 Ibid., hlm. 135-136.

b. Aneka manifestasi keberanian: keagungan jiwa, ketegaran,

ketinggian semangat, kekokohan, ketabahan, ketenangan,

kekesatriaan, kesiapan menanggung segala problem,

kerendahan hati, kegagah-beranian, dan sikap belas

kasih.

c. Aneka manifestasi kesucian: rasa malu, pergaulan yang

baik, petunjuk yang baik, perdamaian, ketenangan,

kesabaran, qana’ah, kewibawaan, kewaraan, keteraturan,

kemerdekaan, dan kedermawanan.

d. Aneka manifestasi keadilan: kejujuran, keramahan,

kesetiaan, kasih sayang, silaturahim, membalas setiap

pekerjaan, bermasyarakat dengan baik, menentukan

keputusan dengan tepat, mencintai sesama, pasrah dan

menyerah, tawakal, dan ibadah.(1)

Kebalikan Keutamaan: Keburukan ( Radzilah)

Telah kita ketahui bersama bahwa keutamaan hanya terbatas

pada empat macam di atas. Oleh karena itu, sepertinya,

keburukan yang berfungsi sebagai genus juga terbatas

pada empat klasifi kasi: kebodohan (kebalikan hikmah),

kepengecutan (kebalikan keberanian), kerakusan (kebalikan

kesucian), dan kezaliman (kebalikan keadilan).

Akan tetapi, jika memandang lebih dalam dan detail lagi,

kita akan memahami sebuah realita. Yaitu, setiap keutamaan

memiliki sebuah batas tertentu. Jika kita melampaui batas

ini, baik secara berlebih-lebihan maupun dalam bentuk

keteledoran (ifrath dan tafrith), maka tindakan ini akan

p:54


1- 130 Ibid., hlm. 112-115.

berakhir pada sebuah keburukan. Atas dasar ini, di hadapan

setiap keutamaan, terdapat keburukan yang tak terhingga.(1)

Dalam hal ini, dengan menimbang bentangan dua sisi

berlebih-lebihan dan keteledoran, setiap keutamaan memiliki

dua genus keburukan; keutamaan ini berada di titik tengah

dan kedua sisi ini berada di kedua ujung titik tersebut. Atas

dasar ini, karena keutamaan memiliki empat genus, maka

keburukan memiliki delapan genus.(2) Ketololan (al-safah) dan

kelemahan akal (al-balah) adalah titik kebalikan hikmah, tindak

gegabah (at-tahawwur) dan kepengecutan (al-jubn) adalah titik

kebalikan keberanian, kerakusan (al-syarah) dan kelemahan

syahwat (khumûd al-syahwah) adalah titik kebalikan kesucian,

dan kezaliman (al-zdulm) dan keterzaliman (al-inzdilâm) adalah

titik kebalikan keadilan.(3)

Ala kulli hal, seluruh keutamaan masyarakat akan

berubah dari potensi menjadi aktual setelah mereka berhasil

menyucikan jiwa dari seluruh keburukan tersebut. Setelah

mereka berhasil mencegah jiwa insani mereka dari seluruh

keburukan yang menyebabkan kekurangan dan kerusakan

itu, maka sudah pasti kekuatan esensialnya akan bergerak dan

mengerjakan seluruh aksi yang memang khusus untuk mereka;

yaitu mencari ilmu pengetahuan yang hakiki dan makrifat

yang universal. Lebih dari itu, mereka juga akan memfokuskan

diri dalam mencari kebahagiaan dan melakukan kebaikan.(4)

p:55


1- 131 Ibid., hlm. 117.
2- 132 Di hadapan setiap keutamaan terdapat dua jenis keburukan. Sebagai contoh, dihadapan kecerdasan, terdapat “kekejian” pada sisi berlebih-lebihan dan “kepandiran” pada sisi keteledoran. Silakan merujuk buku Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 120-121.
3- 133 Ibid., hlm. 119.
4- 134 Ibid., hlm. 67.
Jalan Menuju Kesempurnaan
Point

Jika kesempurnaan sesuatu terwujud setelah keberadaannya,

maka sudah pasti ia memiliki sebuah gerakan yang dimulai

dari kekurangan menuju ke kesempurnaan.

Fondasi utama gerakan menuju kesempurnaan ini

adakalanya alam natural (thabî‘ah) dan adakalanya pula

keahlian (shanâ‘ah). Dalam menuju kesempurnaan, terdapat

juga dua jalan ini: pertama, alam natural dan kedua, penyucian

akhlak.

Alam Natural

Alam natural menjadi titik awal gerakan air sperma. Begitu

pula menjadi titik awal forma-forma yang diberikan kepada air

sperma ini oleh Dzat Yang Maha Penganugerah Forma ( wâhib

al-shuwar) secara berkesinambungan dari satu orang ke orang

yang lain. Hal ini terus berlanjut terus hingga alam natural

ini berubah dari batasan air sperma menjadi seorang manusia

yang lengkap.(1) Setelah lahir ke dunia ini, alam natural juga

masih memberikan beberapa kekuatan kepadanya supaya ia

bisa melanjutkan meniti jalan menuju kesempurnaan. Salah

satu kekuatan- kekuatan tersebut adalah kekuatan syahwat

yang akan muncul di awal-awal kelahirannya; kekuatan

syahwat dalam artian mencari makanan dan usaha untuk

memperolehnya. Lalu, kekuatan amarah, kemampuan untuk

menghindari segala yang membahayakan, dan resistensi dalam

menghadapi seluruh rintangan untuk memperoleh manfaat

akan muncul. Pada akhirnya, dengan kematangan kekuatan

p:56


1- 135 Ibid., hlm. 247.

akal dalam diri manusia, alam natural telah mempersiapkan

sarana dan lahan bagi kontinuitas penitian jalan menuju

kesempurnaan insani.

Apabila setiap kekuatan di atas telah sampai pada

puncak kesempurnaannya dalam diri manusia, maka ia

masih tetap melanjutkan jalan kesempurnaannya. Atas dasar

ini, setelah kekuatan syahwat yang merupakan sumber

utama segala keinginan berhasil mempersiapkan makanan

dan perkembangan bagi manusia, maka kekuatan ini masih

terangsang untuk mempertahankan kelanggengan umat

manusia. Oleh karena itu, syahwat untuk menikah dan

kehendak untuk mereproduksi muncul ke permukaan. Setelah

kekuatan amarah yang merupakan sumber kemampuan

manusia untuk menolak segala yang tidak sesuai dengan

dirinya berhasil memelihara manusia, maka kekuatan ini

akan melanjutkan aksinya guna memelihara keutuhan umat

manusia. Oleh karena itu, keinginan untuk merebut kedudukan

tertentu, menempati posisi yang lebih tinggi dari orang lain,

dan juga untuk memimpin akan muncul. Setelah kekuatan

akal yang merupakan sumber logika dan tindak berpikir telah

memperoleh kemahiran dalam diri manusia untuk memahami

dan mengetahui hal-hal yang bersifat parsial, maka kekuatan

ini akan sibuk mencerna segala jenis genus dan hal-hal yang

bersifat universal. Kekuatan ini disebut akal. Dengan demikian,

nama “manusia faktual” akan ia miliki dan kesempurnaan

yang telah diciptakan oleh alam natural itu akan usai.

Setelah tingkatan ini, tibalah giliran keahlian (shanâ‘ah)

untuk memainkan perannya. Keahlian ini bertugas memberikan

p:57

kekekalan hakiki atau kebahagiaan jiwa yang abadi kepada

insaniah yang telah memperoleh wujud sempurna melalui

perantara alam natural itu.(1)

Penyucian Akhlak

Melalui gerakan alam natural, manusia bergerak untuk

memperoleh kesempurnaan tubuh. Setelah berhasil

memperoleh kesempurnaan ini, dengan memanfaatkan akal

pikiran dan usaha penyucian jiwa, ia harus berusaha untuk

menggapai segala jenis keutamaan dan menghindari segala

bentuk keburukan supaya ia bisa memperoleh kesempurnaan

hakiki dan kebahagiaan puncak.

Akhlak adalah bentuk plural dari kosa kata khulq

(perangai). Akhlak termasuk dalam kategori kaifi yah nafsâniyah

(kualitas kejiwaan). Kaifi yah nafsâniyah sendiri terbagi dalam

dua klasifi kasi: (a) sarî‘ al-zawâl (cepat sirna) yang biasa juga

disebut dengan nama hâl, dan (b) bathî’ al-zawâl (lambat sirna)

yang biasa juga disebut malakah (kriteria yang tertanam kuat

dalam lubuk kalbu). Atas dasar ini, malakah adalah sebuah

jenis kaifi yah nafsâniyah, dan akhlak adalah sebuah malakah

(karakter) nafsâniyah yang menyebabkan seseorang mudah

melakukan sebuah aksi tanpa harus berpikir.

Dalil atas keberadaan kaifi yah nafsâniyah ini; yakni akhlak,

tersimpulkan dalam dua dalil: (a) alam natural dan (b)

kebiasaan.

Dari sisi alam natural, diri setiap orang kemampuan

untuk menyandang sebuah kriteria. Dan dari sisi kebiasaan,

pertama kali, seseorang akan memilih sebuah pekerjaan

p:58


1- 136 Ibid., hlm. 150-151.

melalui kekuatan pikiran dan lalu memulainya dengan sangat

berat. Akan tetapi, melalui latihan dan pengulangan yang

terus menerus, ia akan terbiasa dengan pekerjaan ini. Setelah

terbiasa, ia akan mengerjakan pekerjaan tersebut tanpa perlu

berpikir lagi. Dengan demikian, pekerjaan ini menjadi akhlak

atau salah satu akhlaknya.

Menilik seluruh penjelasan di atas, meskipun akhlak bisa

diperoleh di alam natural, akan tetapi akhlak bukanlah sesuatu

yang bersifat naturalis. Alasannya, akhlak bisa berubah-ubah.

Dan segala sesuatu yang bisa berubah-ubah, pasti bukanlah

sesuatu yang naturalis. Konsekuensinya, akhlak bukanlah

sesuatu yang bersifat naturalis dan tidak pula bertentangan

dengan alam natural. Manusia diciptakan sedemikian rupa

sehingga ia bisa mengambil setiap akhlak yang ia inginkan;

ia akan mengambil akhlak yang sesuai keinginannya dengan

mudah dan menerima akhlak yang tidak sesuai keinginannya

dengan sulit. Hasilnya, setiap akhlak bukanlah sesuatu yang

bersifat naturalis dan dapat berubah. Seni penyucian akhlak

menangani masalah ini.(1) Yakni mencari segala keutamaan,

menghindari seluruh keburukan, dan menjadikan semua itu

sebagai malakah (inheren) dalam diri manusia. Hasil semua

ini adalah “kesempurnaan manusia”.

Di antara dua jalan menuju kesempurnaan tersebut di atas,

alam natural adalah lebih utama dibandingkan keahlian atau

seni, baik dalam wujud maupun dalam peringkat. Alasannya,

keahlian muncul dari kehendak manusia dan berkat bantuan

serta partisipasi faktor-faktor naturalis. Sementara itu,

p:59


1- 137 Ibid., hlm. 101-104.

alam natural hanya muncul dari hikmah Ilahi. “Karena

kesempurnaan sesuatu terletak pada keserupaannya dengan

sumber utamanya, maka kesempurnaan seni dan keahlian ini

terletak pada keserupaannya dengan alam natural”.(1) Dalam

setiap keahlian dan seni, termasuk seni penyucian akhlak,

mengikuti langkah alam natural adalah suatu keharusan. Atas

dasar ini, dalam usaha menyucikan akhlak sebagai jalan menuju

kesempurnaan, kita juga harus memperhatikan kesempurnaan

naturalis kita. Pencari keutamaan yang sedang melangkahkan

kaki untuk memperoleh kesempurnaan harus mengikuti

undang-undang alam natural, seperti telah dijelaskan di atas.

Ia harus mengikuti langkah-langkah berikut ini:

Pertama-tama, kita harus menelaah kekuatan syahwat.

Setelah itu, kita harus menelaah kekuatan amarah. Semua

ini bertujuan supaya kita tahu apakah kekuatan- kekuatan

itu berada pada posisi seimbang dalam fitrah atau telah

menyeleweng. Jika kekuatan- kekuatan itu masih berada

dalam posisi seimbang, maka kita selayaknya berusaha keras

guna menjaga keseimbangannya dan menjadikan kekuatan itu

sebagai sebuah malakah dalam diri kita. Jika kekuatan- kekuatan

itu telah menyeleweng, maka kita harus mengembalikannya

ke posisi seimbang dan lalu menciptakannya menjadi sebuah

malakah. Setelah usai menyucikan kedua kekuatan ini, kita

harus menyempurnakan kekuatan akal kita . Setelah itu, kita

harus memelihara kaidah-kaidah keadilan secara sempurna dan

melakukan seluruh aksi berdasarkan alam natural itu. Setelah

berhasil melakukan tugas terakhir ini, kita telah

p:60


1- 138 Ibid., hlm. 150.

berhasil menjadi manusia yang faktual. Nama hikmah dan

posisi keutamaan berhak kita sandang.(1)

Faktor Kesempurnaan

Guna menempuh jalan kesempurnaan, manusia memerlukan

sebuah faktor. Jika faktor ini merupakan sebuah faktor yang

hakiki, maka jalan kesempurnaan ini akan berhasil ditempuh

dan manusia akan berhasil menggapai kesempurnaan. Jika

faktor ini bukanlah faktor yang hakiki, maka kekurangan dan

penyelewengan tengah menunggu di hadapan manusia. Pembahasan

tentang kekuatan- kekuatan jiwa manusia sedikit banyak

telah dijelaskan dengan gamblang. Dari tiga fakultas yang

dimiliki oleh manusia tersebut; yaitu fakultas malaki, fakultas

sabu‘i, dan fakultas bahimi, hanya fakultas malaki atau jiwa

pemikir yang merupakan sumber pikiran, pembeda segala sesuatu,

dan sumber kehendak untuk menggapai hakikat segala

sesuatu(2) adalah faktor kesempurnaan bagi manusia.

Jiwa malaki memiliki fakultas berpikir atau akal. Akal

adalah kekuatan memahami segala sesuatu tanpa alat dan

pembeda antara hal-hal yang dapat dipahami.(3) Akal adalah

sebuah kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Akal dapat

memahami segala sesuatu yang bersifa universal. Sebaliknya,

hal-hal yang bersifat parsial hanya dapat dipahami oleh panca

indera. Hal ini dimiliki oleh manusia dan binatang.(4)

p:61


1- 139 Ibid., hlm. 153-154.
2- 140 Ibid., hlm. 108.
3- 141 Ibid., hlm. 57.
4- 142 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 54.

Pengetahuan rasional memiliki sebuah keistimewaan.

Yaitu, akal manusia dapat memahami segala sesuatu

tanpa disertai pelbagai aksiden (‘awâridh) dan bentuknya.

Artinya, ia dapat memahami hakikat dan sifat-sifat sesuatu

itu sebagaimana adanya.(1) Kesempurnaan makrifat dan

pengetahuan ini terwujud karena pengetahuan terhadap

keberadaan Allah Swt, seluruh sifat-Nya, keberadaan

malaikat, dan wujud sesuai dengan kemampuan. Atas dasar

ini, pengetahuan rasional adalah lebih sempurna dan lebih

kuat dibandingkan pengetahuan yang dihasilkan dari indera.

Akal memahami hakikat sesuatu, sedangkan indera hanya

memahami lahiriahnya saja.(2)

Ditinjau dari sisi objek yang hendak dipahami, akal dibagi

dalam dua klasifikasi:

a. Akal teoretis (‘aql nazdarî); dalam hal ini, akal memahami

hakikat segala maujud dan menguasai spesies-spesies segala

sesuatu yang dapat dipahami ( ma‘qûl; intelligibilia). Akal

memperlakukan tindak perubahan terhadap intelligibilia

ini sehingga melewati peringkat akal hayûlâ’nî yang

merupakan potensi inmaterial dan peringkat akal teoretis

yang paling rendah hingga sampai pada akal mustafâd

yang memahami forma-forma intelligibilia sebagaimana

adanya dan peringkat akal teoretis yang paling tinggi.(3)

b. Akal praktis (‘aql ‘amalî); dalam hal ini, seluruh fokus akal

tertuju pada objek. Ia membedakan antara maslahat dan

p:62


1- 143 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘tiqâd, hlm. 216.
2- 144 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Gusyoyesynomeh.
3- 145 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Jabr va Qadr, hlm. 21; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 57.

mafsadat yang terdapat pada pekerjaan dan menyimpulkan

berbagai jenis keahlian yang dapat digunakan untuk

mengelola kehidupan manusia sehari-hari. Tujuan semua

ini adalah supaya kehidupan manusia terwujud dalam

bentuk yang paling ideal.(1)

Dengan ini, jika akal yang bertugas membedakan yang

baik dari yang buruk, condong kepada kebaikan, dan benci

kepada keburukan(2)bergerak secara seimbang dalam jiwa

kita; yakni ada kerinduan untuk menggapai seluruh makrifat

yang dilandasi keyakinan kokoh, maka gerakan ini akan

melahirkan keutamaan “ilmu”, dan selanjutnya, akan muncul

juga keutamaan “hikmah”. Menilik klasifikasi akal ke dalam

akal teoretis dan akal praktis di atas, hikmah ini juga dibagi

ke dalam dua klasifikasi: hikmah teoretis dan hikmah praktis.

Dalam kamus orang-orang ahli makrifat, hikmah adalah

mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya (hikmah

teoretis) dan mengerjakan aksi sebagaimana seharusnya sesuai

dengan kemampuan (hikmah praktis), sehingga jiwa insani

sampai kepada kesempurnaan yang sedang ditujunya.(3) Hal

ini tidak akan dapat terwujud kecuali apabila seluruh urusan

manusia diserahkan kepada manajemen yang dikelola oleh

jiwa malaki dan akal. Selanjutnya, jiwa sabu‘î dan jiwa bahîmî

hanya mengikuti keputusan jiwa ini. Dari pengelolaan jiwa

malaki ini, kedua jiwa yang lain akan bersatu dengan dirinya.

p:63


1- 146 Ibid.
2- 147 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 60.
3- 148 Ibid., hlm. 108.

Kebersatuan sebegitu erat sehingga seakan-akan tiga jiwa ini

adalah sesuatu yang satu. Dengan kebersatuan ini, seluruh

kekuatan dan efek yang memang dinanti-nanti; yakni empat

jenis keutamaan, akan muncul dalam waktu yang sangat

sesuai. Dengan mencari keutamaan-keutamaan ini, manusia

sedang meniti jalan menuju kesempurnaan dan akan sampai

ke telaga kebahagiaan. Akan tetapi, jika faktor penggerak

menuju kesempurnaan bukan jiwa malakî dan manajemen

urusan manusia diserahkan kepada selainnya, maka akan terjadi

pertentangan dan kontradiksi. Setiap detik, pertentangan

ini akan semakin bertambah parah. Akhirnya, fasilitas yang ia

miliki (tubuh) akan musnah dan ketiga jiwa itu akan sirna.(1)

Fasilitas Kesempurnaan

Seperti telah kami jelaskan pada pembahasan sebelumnya, jiwa

jauhari adalah simpel (basith) serta kosong dari setiap materi

dan aksiden-aksidennya.(2) Untuk melakukan setiap pekerjaan

dan aktivitas, termasuk menemukan berbagai keutamaan, jiwa

ini memerlukan sebuah sarana dan fasilitas yang bersifat

jasmani. Oleh karena itu, badan kita adalah sarana untuk jiwa

insani guna mencari keutamaan, atau sebuah fasilitas asli untuk

sampai kepada kesempurnaan dan menggapai kebahagiaan.

Interaksi antara jiwa dan badan bukan hanya sekedar

interaksi yang bersifat instrumental. Interaksi antara jiwa dan

badan memiliki dimensi manajemen dan pengaturan terhadap

segala status yang dimiliki oleh badan. Interaksi ini terwujud

sedemikian rupa sehingga jiwa dapat mempengaruhi

p:64


1- 149 Ibid., hlm. 79.
2- 150 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘tiqâd, hlm. 164.

badan dan juga dapat terpengaruh olehnya.(1)

Dalam tempo yang sangat terbatas, badan berada dalam

dominasi jiwa. Setelah kematian dan ajal tiba, badan tidak lagi

memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas apa pun

dan kesempatan untuk mencari keutamaan juga telah sirna.

Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, guna menggapai

kesempurnaan dan kebahagiaan dirinya, manusia seyogyanya

mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk

kesempurnaan dan kebahagiaan itu; termasuk kekekalan badan

serta kebahagiaan badani dan madani. Meminjam stetmen

Aristoteles, meskipun kebahagiaan Ilahi adalah kebahagiaan

yang termulia dan etika Ilahi adalah etika yang terlezat, akan

tetapi masih diperlukan kebahagiaan-kebahagiaan eksternal

guna menampakkan kebahagiaan-Nya. Jika tidak demikian,

kemuliaan ini akan tetap terselubung dan tertutup.(2)

Dengan kata lain, manusia memiliki kebahagiaan spiritual

dan kebahagiaan jasmani. Guna memperoleh segala sesuatu

yang menyebabkan kesempurnaan sisi spiritual ini, ia bermukim

di dunia ini dengan perantara badan hanya untuk beberapa

saat. Tujuannya, ia harus memakmurkan dan mengatur

badan somatik ini sembari mencari keutamaan. Atas dasar

ini, selama hidup di dunia ini, ia bisa disebut sebagai orang

bahagia dengan syarat kedua sisi kebahagiaan itu diperhatikan;

ia harus memperhatikan kebahagiaan jasmani, termasuk juga

di dalamnya kebahagiaan material, dan kebahagiaan spiritual.

Tentunya, dengan lebih mengutamakan kebahagiaan-kebahagiaan

spiritual.

p:65


1- 151 H.N. Farhan: Al-Khâjah Nashîruddîn Al-Tûsî, hlm. 263.
2- 152 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 96.
Syarat-Syarat Kesempurnaan
Point

Sebagai sebuah faktor aktif (fâ‘ilî), jiwa insani (jiwa pemikir)

memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan manusia ke

jenjang kesempurnaan dan kebahagiaan melalui perantara

badan dengan cara membersihkan akhlak dan etika. Meskipun

demikian, kesempurnaan dan kebahagiaan ini tidak akan

pernah tercapai apabila sarana dan prasarana yang diperlukan

tidak terpenuhi. Oleh karena itu, Allah Yang Maha Bijaksana

telah mempersiapkan segala sarana dan prasarana tersebut

karena kemurahan-Nya yang tak terhingga. Sarana dan

prasarana tersebut adalah sebagai berikut:

Masyarakat dan Etos Tolong Menolong

Manusia sebagai eksisten alam semesta yang paling mulia,

supaya jenis dan spesiesnya tetap langgeng, memerlukan

bantuan dan pertolongan sesamanya. Saling tolong menolong

tidak akan terwujud tanpa kehidupan bermasyarakat

dan sosial. Oleh karena itu, spesies manusia memerlukan

sebuah kehidupan bermasyarakat.(1) Dengan menciptakan

manusia sebagai maujud sosial secara natural, Allah Swt

telah mempersiapkan lahan baginya untuk sampai kepada

kesempurnaan. Karena hidup bersosial ini adalah konsekuensi

wajib diri manusia, orang-orang menghindarkan diri dari

berinteraksi dengan masyarakat dan lebih memilih hidup

menyendiri akan terhalangi dari keutamaan. Alasannya adalah

(seperti ditegaskan oleh Khajeh Nashiruddin) berikut ini:

p:66


1- 153 Ibid., hlm. 250-251; Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Fawâ’id fi Syarh Qowâ‘id Al-‘Aqâid, hlm. 74; Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘tiqâd, hlm. 439-440.

Kesucian (‘iffah) bukanlah berarti kita harus meninggalkan

syahwat, perut, dan kemaluan secara keseluruhan. Kesucian

adalah kita memperhatikan seluruh batasan yang dimiliki

segala sesuatu dan menghindari tindak berlebih-lebihan

atau ceroboh dan teledor. Keadilan bukan berarti kita tidak

menzalimi orang-orang yang tidak kita lihat. Keadilan adalah

kita memperlakukan masyarakat dengan cara yang jujur dan

benar. Jika seseorang tidak berinteraksi dengan masyarakat,

maka bagaimana mungkin ia bisa berbuat dermawan? Jika

ia tidak berhadapan dengan mara bahaya, maka di manakah

keberanian akan berfungsi? Jika ia tidak melihat wajah yang

menawan, maka kapankah kesuciannya akan muncul?(1)

Atas dasar ini, masyarakat sebagai salah satu sarana dan

syarat kesempurnaan adalah tempat mendidik, mencari, dan

kemunculan seluruh keutamaan.

Syariat

Setelah sebuah masyarakat terbentuk, salah satu sarana dan

syarat kesempurnaan telah terwujud. Akan tetapi, hanya ini

saja belum cukup, karena manusia yang merupakan anggota

asli masyarakat tersebut diciptakan dengan membawa syahwat

dan amarah.(2)Mereka berkumpul dalam sebuah masyarakat

dengan landasan faktor yang bermacam-macam dan tujuan

yang beraneka ragam.

Manusia berkumpul dalam sebuah masyarakat dengan

membawa syahwat yang bertentangan, perangai yang

beraneka ragam, dan kekuatan- kekuatan yang berbeda. Realita

p:67


1- 154 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 257-258.
2- 155 Jamaluddin Hasan Hilli: Kasyf Al-Fawâ’id fi Syarh Qowâ‘id Al-‘Aqâ’id, hlm. 75.

ini menyebabkan mereka melakukan aksi dan tingkah laku

yang beraneka warna. Perbedaan dan keaneka-ragaman yang

ada ini memungkinkan pertikaian dan kerusakan terjadi, serta

menyebabkan mereka terjerumus ke dalam jurang berbagai

macam fi tnah. Oleh karena itu, sebuah hukum dan sunah yang

adil ditetapkan di tengah-tengah mereka sehingga mereka

dapat menegakkan keadilan. Sekarang, apabila penentuan

hukum dan undang-undang ini diserahkan kepada mereka

sendiri, problem di atas masih akan tetap terjadi. Atas dasar

ini, penentuan hukum ini harus dilakukan oleh seseorang dari

kalangan mereka yang memiliki sebuah keistimewaan khusus

karena kekuatan- kekuatan jiwanya yang telah sempurna serta

berhak ditaati dan dipatuhi.(1)

Dengan demikian, penentu hukum dan undang-undang

yang benar tidak lain kecuali Allah Swt. Dia menamakan

hukum dan undang-undang ini dengan “syariat”. Karena

maslahat menuntut supaya seluruh makhluk memperoleh

petunjuk melalui perantara makhluk lain yang sejenis dengan

mereka.(2) Maka, Allah memilih orang-orang terpilih dari

kalangan mereka sendiri guna menyampaikan syariat tersebut

kepada mereka.

Atas dasar ini, syariat adalah sekumpulan hukum dan

undang-undang yang diturunkan oleh Allah melalui perantara

para nabi as guna mengatur segala jenis transaksi dan ibadah

dalam kehidupan sosial dan individual umat manusia.(3)

Hukum dan undang-undang diletakkan dalam ruang lingkup

p:68


1- 156 Ibid., hlm. 74.
2- 157 Muhammad bin M.N. Thusi: Fushûl Al-‘Aqâ’id, hlm. 34.
3- 158 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 55.

yang akal tidak mampu memahami maslahat dan mafsadat

umat manusia secara independen. Sementara itu, dalam

ruang lingkup yang akal mampu memahami maslahat dan

mafsadat yang dimiliki oleh spesies manusia, akal menguatkan

hukum dan undang-undang syariat. Kedua sisi syariat ini

dapat menjamin kemaslahatan sosial dan individual manusia

guna mengatur seluruh urusan hidup dalam rangka mencapai

kesempurnaan. Oleh karena itu, syariat adalah pendidik

pertama dan pengantar manusia kepada kesempurnaan.(1)

Berbeda dengan fi lsafat yang hanya dapat mengantarkan

orang yang berakal cemerlang kepada kesempurnaan.

Syariat memiliki tiga ruang lingkup:

 Ruang lingkup individual; setiap hukum dan undangundang

yang hanya berhubungan dengan masing-masing

pribadi, seperti ritual ibadah.

 Ruang lingkup sosial; seluruh hukum dan undang-undang

yang berhubungan dengan masalah keluarga dan masalah

sosial, seperti pernikahan dan transaksi.

 Ruang lingkup politik; seluruh hukum dan undangundang

yang berkenaan dengan penduduk sebuah kota

dan pulau atau dalam ranah pemerintahan, seperti hukum

had (pidana) dan politik.(2)

Syariat ditentukan oleh Allah dan berdasarkan kebutuhankebutuhan

riil manusia. Oleh karena itu, syariat dapat

menjawab seluruh kebutuhan umat manusia dalam ruang

lingkup masyarakat yang beraneka ragam dan untuk masa

p:69


1- 159 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 105.
2- 160 Ibid., hlm. 41.

yang berbeda-beda. Perubahan-perubahan yang diperlukan

hanya harus bersifat parsial dan sesuai dengan kemaslahatan

daerah serta masa tertentu.(1)

Pengatur (Mudabbir)
Point

Keinginan-keinginan masyarakat yang beraneka ragam dalam

kehidupan sosial, sekalipun ada syariat yang mengatur, juga

masih mengkhawatirkan bahaya pertikaian, percekcokan, dan

usaha pembasmian antara yang satu dengan yang lain terjadi.

Dalam kondisi seperti ini, kehidupan sosial masyarakat hanya

memiliki dua pilihan: mengarah kepada kerusakan dan serba

kenegatifan atau menuju kepada kekacauan dan kehancuran

total. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengaturan sehingga

setiap orang merasa puas dengan posisi yang memang

haknya dan mencapai hak yang memang berhak dimiliki;

tak seorang pun berani mencaplok hak-hak orang lain dan

hanya menyibukkan diri dengan usaha menolong orang

membutuhkan yang memang menjadi tanggung jawabnya.

Pengaturan ini disebut “politik” (siyâsah).(2)

Tentang siapakah yang pantas menjadi pengatur politik

sebuah masyarakat?, tidak diragukan lagi, seseorang yang

memiliki kelebihan dari orang dengan ilham dan pengukuhan

Ilahi memiliki kelayakan untuk memegang tampuk segala

urusan masyarakat. Dengan cara menaati seluruh titah dan

undang-undangnya, ia akan dapat mengantarkan mereka

kepada kesempurnaan. Orang yang pantas memegang tampuk

segala urusan ini dapat ditemukan di setiap masa dan zaman.

p:70


1- 161 Ibid., hlm. 254.
2- 162 Ibid., hlm. 252.

Alasannya, apabila politik (tadbîr) terputus, maka sistem

sebuah masyarakat juga akan sirna dan kelanggengan spesies

manusia tidak akan terwujud dalam bentuknya yang paling

sempurna.(1)

Para pengatur yang pantas untuk sebuah masyarakat di

berbagai masa adalah para fi gur berikut ini:

Nabi

Nabi adalah seseorang yang jiwa qudsinya menerima seluruh

hakikat pengetahuan dan hal-hal yang hanya bisa dicerna

oleh rasio melalui perantara esensi akal pertama. Misi nabi

adalah menyampaikan seluruh hakikat ini kepada orangorang

yang memiliki kemampuan dan mengikuti jejak

langkahnya.(2)Ia diutus dari sisi Allah kepada para hamba

guna menyempurnakan mereka, memperkenalkan kepada

mereka segala sesuatu yang diperlukan dalam rangka taat

kepada Allah, dan menghindarkan mereka dari segala sesuatu

yang menyebabkan maksiat kepada-Nya.(3)

Nabi bertugas menjelaskan kepada umat manusia jalanjalan

yang bisa digunakan untuk mengenal makrifat, undangundang

dalam rangka interaksi sosial, dan politik guna

mengatur sebuah masyarakat. Di samping itu, ia juga harus

mengaplikasikan semua itu dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari. Atas dasar ini, selama masih ada seorang nabi di

p:71


1- 163 Ibid., hlm. 254.
2- 164 Muhammad bin M.N. Thusi: Risâlah fi Al-‘Ilm wa Al-‘Âlim wa Al-Ma‘lûm. Risalah ini adalah sebuah appendiks untuk buku Sarguzasyt va ‘Aqo’ed-e Falsafi -ye Khâjah Nashîruddîn Thûsî.
3- 165 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Fawâ’id fi Syarh Qowâ‘id Al-‘Aqâ’id, hlm.70.

tengah-tengah masyarakat, hanya dialah orang yang pantas

untuk memegang tampuk segala urusan.

Imam

Keharusan mengatur segala urusan secara benar mewajibkan

pengutusan para nabi. Setelah masa kenabian berakhir, kaidah

ini masih tetap berlaku. Oleh karena itu, sepeninggal Rasulullah

Saw, seseorang yang memiliki kelayakan dan kapabelitas

harus ditunjuk (untuk mengatur segala urusan masyarakat)

sehingga urusan agama dan dunia tidak amburadul, api fi tnah

dan kerusakan tidak menyala, dan kehidupan masyarakat

tidak mengalami keonaran. Orang yang memiliki kelayakan

ini tidak lain adalah imam maksum as.

Imam maksum as adalah seseorang yang secara hakiki (bi

al-ashâlah) memegang tampuk kepemimpinan umum untuk

urusan agama dan dunia,(1) serta pengatur urusan agama dan

penafsir syariat sepeninggal Rasulullah Saw.(2) Keberadaan

imam maksum as menyebabkan agama dan dunia masyarakat

teratur rapi. Ia dapat menjaga syariat.(3) Ia bertugas mengelola

agama dan dunia umat manusia sepeninggal Rasulullah Saw.

Ulama Mujtahid

Para ulama yang memiliki kemampuan ijtihad adalah para

pewaris para nabi dan imam maksum as. Mereka memiliki

pengetahuan yang mumpuni tetang syariat. Oleh karena

p:72


1- 166 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-ye Emomat, hlm. 15.
2- 167 Ibid., hlm. 21.
3- 168 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘ti qâd, hlm. 507-510.

itu, mereka dapat menjelaskan hukum-hukum Islam secara

terperinci. Atas dasar ini, setelah imam maksum as, seluruh

masyarakat wajib menaati dan mengikuti mereka sehingga,

dengan itu, mereka sudah menjaga agama Allah.(1)

Taklif

Hanya dengan membentuk sebuah masyarakat disertai dengan

keberadaan sebuah syariat dan pengatur yang kapabel, tanpa

keharusan masyarakat memperhatikan syariat dan menaati

hukum-hukum pengatur, penempuhan jalan kesempurnaan

tidak akan sempurna. Dengan demikian, taklif adalah syarat

lain untuk kesempurnaan dan kebahagiaan umat manusia.

Jelas, sebagai makhluk sosial secara tabiat, manusia menuntut

hal ini.(2)

Taklif adalah Allah menitahkan manusia untuk

melaksanakan sesuatu yang mengandung kesulitan.(3) Artinya,

syahwat, kelezatan, dan kecondongan manusia kepada semua

ini adalah sesuatu yang manis. Realita ini membuat keharusan

untuk melakukan amal salih dan taat kepada syariat sebagai

sebuah pekerjaan yang sangat sulit. Meskipun demikian,

mengerjakan taklif pasti diakhiri dengan kebahagiaan dan

kesempurnaan. Artinya, taklif dan seluruh akibatnya; yaitu

pahala, siksa, dan balasan duniawi, dapat mewujudkan

sebuah keinginan yang dalam untuk mencari kesempurnaan

dalam diri manusia. Keinginan ini adalah titik awal sebuah

kehendak. Kehendak ini mendorongnya untuk mencari

p:73


1- 169 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 141.
2- 170 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘ti qâd, hlm. 454.
3- 171 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Al-Bâb Al-Hâdî ‘Asyar, hlm. 64.

kesempurnaan.(1)

Kesimpulannya, taklif dapat mendorong manusia untuk

taat kepada undang-undang syariat, mengikuti seluruh

hukum pengatur yang kapabel, dan mengalahkan kekuatan

syahwat dan amarah. Taklif menyebabkan manusia dengan

sendirinya, dilandasi oleh keyakinan kepada Allah, untuk

menaati seluruh hukum syariat. Kriteria ini sangat berguna

untuk kelanggengan sebuah masyarakat dan supaya anggota

sebuah masyarakat saling tolong menolong antara yang satu

dengan yang lain. Apabila sebagian orang menyimpang dari

garis hukum-hukum itu, pengatur kapabel masyarakat dalam

menentukan hukuman-hukuman duniawi bagi mereka.

1.2. Antropologi Politis
Point

Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan sebelum

ini, setiap maujud (eksisten) memiliki sebuah kesempurnaan.

Kesempurnaan sebagian maujud dalam fi trah teralisir

berbarengan dengan wujud mereka. Akan tetapi, kesempurnaan

sebagian maujud yang lain terealisir setelah wujud mereka.

Apabila sebuah maujud memiliki kesempurnaan yang terwujud

setelah wujudnya, maka sudah pasti ia akan bergerak dari

sebuah titik kekurangan menuju titik kesempurnaan. Gerakan

dari titik kekurangan menuju titik kesempurnaan ini, pertama,

memerlukan kelanggengan, dan kedua, tidak mungkin terjadi

tanpa bantuan sebab-sebab yang bersifat mungkin. Sebabsebab

kesempurnaan dibagi dalam dua klasifi kasi: mukammilah

(penyempurna) dan mu‘iddah (penyiap):

p:74


1- 172 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Jabr va Qadr, hlm. 24.

1. Sebab-sebab penyempurna; sebab-sebab yang

keberadaannya sendiri adalah penganugerah

kesempurnaan dan menyempurnakan kesempurnaankesempurnaan

yang masih memiliki kekurangan.(1)

Sebagai contoh, forma-forma yang dianugerahkan oleh

Allah Maha Penganugerah forma kepada air sperma

sehingga air sperma ini berubah menjadi manusia yang

sempurna.(2)

2. Sebab-sebab penyedia; sebab-sebab yang menyiapkan

lahan guna mencapai kesempurnaan. Jenis sebab

ini dengan sendirinya tidak dapat mendatangkan

kesempurnaan. Seperti bahan makanan. Apabila bahan

makanan didiamkan untuk beberapa waktu, maka ia akan

rusak. Akan tetapi, jika seorang manusia atau binatang

memakan sebuah makanan yang sehat, makan makanan

ini akan menjadikan ia berkembang.(3)

Pertolongan (ma‘ûnah) juga memiliki tiga klasifi kasi:

1. Pertolongan materi; dalam jenis ini, penolong akan

berubah menjadi bagian dari sesuatu yang memerlukan

pertolongan. Seperti garam untuk tumbuh-tumbuhan,

tumbuh-tumbuhan untuk binatang herbivora, dan

sebagian jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang untuk

manusia.

2. Pertolongan alat; dalam jenis ini, penolong menjadi

perantara dan fasilitas bagi sesuatu yang memerlukan

p:75


1- 173 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 98.
2- 174 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 247.
3- 175 Ibid.

pertolongan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan dan

aksi. Seperti air yang membantu pencernaan untuk

menyampaikan makanan yang sudah dicerna ke seluruh

anggota tubuh.

3. Pertolongan pelayanan; dalam jenis pertolongan ini,

penolong melakukan sebuah pekerjaan dengan kehendak

dan pikirannya sendiri, dan pekerjaan ini bagi sesuatu yang

memerlukan pertolongan adalah sebuah kesempurnaan.

Jenis pertolongan ini masih terbagi dalam dua klasifi kasi:

a. Pertolongan pelayanan bi al-dzât (secara esensial);

dalam jenis ini, tujuan akhir penolong dari pekerjaan

itu adalah pertolongan itu sendiri, bukan yang lain.

Seperti pertolongan seorang budak yang dilakukan

untuk tuannya.

b. Pertolongan pelayanan bi al-‘aradh (secara aksidensial);

dalam jenis ini, penolong dari pertolongan yang

diberikan memiliki tujuan yang lain. Pertolongannya

hanya ditujukan untuk mencapai tujuan ini, seperti

pertolongan seorang penggembala terhadap kambing

piaraannya. Ia berusaha memelihara kambing itu

supaya tumbuh berkembang dengan tujuan untuk

memanfaatkan air susu, bulu, dan dagingnya.

Pertumbuhan ini bagi kambing itu sendiri adalah

sebuah kesempurnaan.(1)

Dengan begitu, seluruh unsur alam semesta, tumbuhtumbuhan,

dan binatang memberikan pertolongan kepada

spesies manusia melalui ketiga jenis pertolongan di atas. Akan

tetapi, manusia hanya memberikan pertolongan kepada mereka

p:76


1- 176 Ibid., hlm. 247-248.

melalui pertolongan pelayanan bi al-‘aradh. Alasannya, mereka

adalah makhluk-makhluk yang lebih hina. Dan makhluk yang

lebih hina hanya diciptakan untuk berkhidmat kepada sesama

makhluk yang lebih hina dan juga kepada makhluk yang lebih

mulia. Akan tetapi, manusia sebagai maujud yang paling mulia

hanya pantas berkhidmat kepada sesamanya.

Atas dasar ini, gerakan manusia dari kekurangan menuju

kesempurnaan terlaksana dengan memperhatikan kriteriakriteria

yang merupakan faktor-faktor sistem sosial masyarakat

berikut ini:

a. Kebutuhan Manusia
Point

Untuk kelanggengan fi sik dan juga kelanggengan spesies

manusia, ia memerlukan bantuan dan pertolongan sesamanya:

Membutuhkan Spesies Lain

Kebutuhan manusia terhadap sesamanya adalah sesuatu yang

gamblang. Alasannya, tubuh manusia memerlukan sandang,

pangan, perumahan, dan persenjataan.(1) Seluruh kebutuhan

ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan jasa unsur alam,

tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Atas dasar ini, manusia

memiliki izin untuk mempergunakan seluruh isi alam semesta

ini.

Membutuhkan Sesama

Mengapa manusia merasa membutuhkan sesamanya?

Alasannya, supaya hidup langgeng yang memang diperlukan

guna mencari keutamaan dan kebahagiaan, manusia

p:77


1- 177 Muhammad bin M.N. Thusi: Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 367.

memerlukan makanan. Berbeda dengan binatang, makanan

manusia tidak tersedia di alam raya ini. Oleh karena itu, tanpa

aktivitas teknik yang meliputi bercocok tanam, memanen,

membersihkan, melunakkan, membuat adonan, dan memasak,

makanan manusia tidak akan tersedia. Semua ini hanya dapat

dipersiapkan berkat bantuan para penolong dan menggunakan

peralatan dan fasilitas. Tentunya, hal ini akan memakan waktu

yang cukup lama.(1)

Jelas, menyiapkan makanan yang pada hari yang sangatlah

mustahil. Apabila masyarakat hanya mencukupkan diri

dengan menyiapkan kebutuhan sehari-hari saja, hal ini akan

menyebabkan keburukan gizi makanan dan ketidakteraturan

dalam kehidupan. Oleh karena itu, mereka perlu menyimpan

bahan makanan dan kebutuhan hidup, serta menjaganya

supaya tidak dicuri oleh orang lain yang juga memang

memiliki kebutuhan yang sama. Lebih dari itu, mereka tidak

mungkin bisa menjaga sendiri bahan makanan siang dan

malam, baik dalam kondisi tidur maupun terjaga, supaya

tidak dirampas oleh orang lain. Oleh karena itu, mereka tidak

memiliki jalan lain kecuali harus membangun rumah. Ketika

manusia tidak memiliki cara lain kecuali harus berusaha untuk

mempersiapkan kebutuhan hidup, mau tidak mau ia akan lupa

terhadap barang dan bahan makanan yang telah disimpan di

dalam rumah. Dengan demikian, sangatlah logis apabila ia

menunjuk seorang pengganti yang senantiasa berada di rumah

dalam mayoritas waktu dan sibuk memelihara simpanan bahan

makanan itu. Semua ini menunjukkan kebutuhan manusia

kepada sesama demi menjaga kelanggengan dirinya.

p:78


1- 178 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 267.

Untuk kelanggengan spesies manusia, ia memerlukan

seorang istri yang merupakan penentu aktivitas reproduksi.

Hikmat Ilahi menuntut supaya setiap pria menikahi seorang

istri sehingga ia dapat memelihara rumah dan seluruh

isinya dengan bantuan istri ini. Berikut, dengan bantuan istri

pula, reproduksi dapat terealisasi. Kebutuhan anak kepada

pendidikan dan pengasuhan orang tua supaya dapat tumbuh

berkembang menuntut supaya ia diasuh oleh orang tuanya.(1)

Setiap keluarga, pertama kali, memerlukan bantuan

anggota keluarga dan juga bantuan keluarga-keluarga yang

lain. Jika setiap orang dengan sendirian berusaha untuk

menyiapkan sandang, pangan, tempat tinggal, dan persenjataan;

yakni pertama kali, ia membuat alat yang diperlukan untuk

perdagangan dan pandai besi, lalu dengan bantuan alat-alat

ini ia membuat alat untuk bertani, memanen, menggiling,

membuat adonan, menenun, dan lain sebagainya, maka

selama rentang waktu ini ia tidak akan bisa bertahan hidup

tanpa pangan. Seandainya ia mewakafkan seluruh umurnya

untuk melakukan seluruh pekerjaan ini, niscaya ia tidak

akan mampu melakukannya. Akan tetapi, jika mereka saling

membantu yang lain dan setiap orang melakukan pekerjaan

melebihi kebutuhan yang diperlukan, lalu ia melakukan

transaksi barter dengan orang lain, maka kehidupan yang sehat

akan terwujud dan generasi spesies manusia akan berlanjut

yang langgeng secara teratur.(2) Atas dasar ini, kemaslahatan

kinerja masyarakat terwujud dalam hidup bersama secara

p:79


1- 179 Ibid., hlm. 205-206.
2- 180 Ibid., hlm. 250.

saling tolong menolong.(1)

Kesimpulannya, supaya dapat hidup langgeng, baik untuk

tubuh maupun spesiesnya, manusia memerlukan kepada

sesamanya. Menggapai kesempurnaan tanpa kelanggengan

hidup adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, untuk

sampai kepada kesempurnaan, ia memerlukan kepada

sesamanya.(2)

b. Tabiat Sosial

Manusia tidak akan terwujud tanpa unsur saling membantu dan

tolong menolong. Saling membantu dan tolong menolong tidak

akan terealisasi tanpa hidup bermasyarakat. Dengan demikian,

spesies manusia secara tabiat memerlukan masyarakat.(3)

Artinya, karena dorongan internal untuk memenuhi seluruh

kebutuhan primer dan hayati, seluruh manusia hidup saling

berkumpul berdampingan. Dorongan-dorongan semacam

ini pasti senantiasa dimiliki oleh seluruh manusia di setiap

tempat dan dalam kondisi apa pun.(4) Dengan demikian,

manusia secara tabiat adalah sebuah makhluk sosial.

Seseorang secara personal tidak mungkin dapat

menyediakan dan mempersiapkan seluruh kebutuhan

hidupnya. Untuk memperoleh makanan yang diingini, pakaian

yang dapat memeliharanya dari sengatan dingin dan panas,

tempat tinggal yang dapat dimanfaatkan dalam aneka ragam

musim, dan persenjataan yang dapat menjaganya dari serangan

binatang buas dan musuh, manusia membutuhkan bantuan

p:80


1- 181 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 423.
2- 182 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 255.
3- 183 Ibid., hlm. 251.
4- 184 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 146.

sesamanya. Seluruh kebutuhan ini hanya dapat dihasilkan

melalui cara khusus dan setiap orang secara sendirian tidak

akan mampu mempersiapkan seluruhnya. Setiap orang

mungkin dapat mempersiapkan satu kebutuhan. Untuk

mempersiapkan semua itu diperlukan semangat membantu

dan kerja sama. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan

lancar. Dan inilah arti “peradaban”.(1)

c. Cinta

Salah satu keistimewaan lain manusia yang sangat diperlukan

dalam rangka bergerak menuju titik kesempurnaan adalah

cinta. Cinta ini bersumber dari akal. Oleh karena itu,

keistimewaan ini hanya dimiliki oleh manusia secara khusus.

Oposisi cinta adalah kebencian atau permusuhan.

Eksistensi cinta; mustahil manusia secara sendirian

akan dapat menempuh jalan menuju kesempurnaan, dan

kesempurnaan setiap individu hanya dapat dicapai karena

keberadaan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan sebuah

ikatan yang menyatukan seluruh manusia dalam kehidupan

masyarakat sebagai satu anggota sehingga mereka bisa saling

bantu membantu. Manusia secara tabiat diciptakan untuk

melangkahkan kaki menuju kepada kesempurnaan. Atas dasar

ini, mereka pasti merindukan ikatan itu. Rasa rindu kepada

ikatan ini disebut cinta dan kasih.(2) Dengan demikian, rasa

cinta secara tabiat pasti berada dalam diri manusia.

Hakikat cinta: hakikat cinta adalah kehendak untuk

menyatu dengan sesuatu. Menyatu dengan sesuatu itu

p:81


1- 185 Muhammad bin M.N. Thusi: Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 267.
2- 186 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 258.

dalam pandangan orang yang mengharap kemenyatuan ini

adalah sebuah kesempurnaan. Atas dasar ini, cinta adalah

memohon kemuliaan, keutamaan, dan kesempurnaan. Jika

permohonan ini semakin besar, maka kerinduan pemohon

kepada kesempurnaan juga akan semakin besar, dan ia pun

akan semakin mudah menggapainya.(1)

Pembagian cinta: cinta dalam diri manusia terbagi dalam dua

bagian: cinta natural dan cinta yang didasari oleh kehendak.

Cinta natural adalah seperti kecintaan orang tua kepada anak

mereka. Seandainya mereka tidak memiliki rasa cinta ini dan

juga tidak mendidik anak-anak mereka, niscaya anak-anak

ini tidak akan hidup langgeng sehingga dapat mengenal

kesempurnaan mereka dan juga tanpa kelanggengan anakanak

ini, spesies manusia tidak akan tersisa sama sekali. Cinta

yang didasari kehendak, berbeda dengan cinta natural, tidak

bersifat fi trah. Jenis cinta ini akan terwujud bergantung kepada

kehendak dan tujuan yang dimiliki oleh setiap orang; apakah

tujuan itu adalah kelezatan, manfaat, atau kebaikan belaka.

Jenis cinta semacam ini menyebabkan interaksi-interaksi sosial

tertentu.

Manfaat cinta; rasa cinta menyebabkan sebuah hubungan

sehat tercipta dan setiap anggota masyarakat saling

menghormati antara sesama mereka.(2) Dengan demikian,

manfaat cinta adalah guna memelihara sistem yang berada

di tengah-tengah spesies manusia. Dengan cara menyatukan

antara satu individu dengan individu yang lain, cinta dapat

mendekatkan manusia dari titik “ketercerai-beraian dan

p:82


1- 187 Ibid., hlm. 259-260.
2- 188 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 155.

keberbilangan” kepada titik “kesatuan dan kebersatuan”. Cinta

dapat menciptakan ketegaran dan kekokohan masyarakat.

Secara global, rasa cinta juga dapat mempermudah jalan

kesempurnaan bagi manusia. Akan tetapi, amat disayangkan,

cinta ini telah pudar dari mayoritas manusia atau cepat sirna

karena hanya didasari oleh manfaat dan kelezatan belaka,

bukan atas dasar kebaikan atau kombinasi dari ketiga unsur di

atas. Atas dasar ini, kemenyatuan natural yang muncul karena

cinta tidak mungkin akan terwujud di sebuah masyarakat. Mau

tidak mau, untuk mewujudkan sebuah kemenyatuan artifi sial

diperlukan penegakan keadilan.(1)

d. Perbedaan Individual

Keberadaan perbedaan-perbedaan individual adalah

keistimewaan urgen lain yang diperlukan guna mencapai

kesempurnaan. Alasannya, proses aktivitas manusia tegak

berdiri di atas fondasi rasa saling tolong menolong. Semangat

tolong menolong ini akan terwujud apabila seluruh aktivitas

dan urusan urgen yang diperlukan oleh masyarakat terpenuhi

secara sama dan merata. Atas dasar ini, hikmah Ilahi menuntut,

di samping perbedaan-perbedaan lahiriah dan postur tubuh,

manusia juga harus berbeda dari sisi pemikiran, kehendak,

dan semangat.

Kekuatan membedakan dan berpikir dalam diri manusia

tidak diciptakan dalam kadar yang sama. Seluruh kekuatan

ini diciptakan dalam peringkat dan tingkatan yang berbedabeda

dimulai dari peringkat yang tak berakhir hingga

peringkat binatang. Perbedaan-perbedaan peringkat ini

p:83


1- 189 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 258-259.

menjadi salah satu faktor keterwujudan sebuah sistem sosial

kemasyarakatan.(1)

Penjelasan lebih lanjut, nilai sosial setiap pekerjaan berbeda

antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, jika seluruh

manusia memiliki kekuatan berpikir atau membedakan yang

sama, maka mereka pasti akan memilih satu jenis pekerjaan

yang sama. Akibatnya, pekerjaan-pekerjaan yang lain akan

diabaikan dan semangat saling tolong menolong tidak akan

pernah terwujud. Hal inilah yang pernah ditegaskan oleh para

fi losof, “Seandainya seluruh manusia adalah sama, niscaya

mereka semua pasti binasa.”

Akan tetapi, realitanya, sekelompok manusia memiliki

kelebihan atas sekelompok yang lain dari sisi kejituan

manajemen. Kelompok kedua memiliki kelebihan dari sisi

kekuatan tubuh, kelompok ketiga dari sisi keagungan yang

sempurna, dan kelompok keempat dari sisi kapabilitas.

Sementara itu, ada sekelompok manusia yang sama sekali tidak

memiliki kekuatan berpikir dan membedakan. Segala sesuatu

tersedia seperti ini. Apabila setiap orang melakukan pekerjaan

yang memang menjadi pekerjaannya tanpa kita melihat nilai

sosialnya dan merasa bahagia dengan pekerjaan ini, sistem

kehidupan Bani Adam akan terwujud.

Dari sisi lain, Allah telah menentukan kondisi ekonomi

setiap orang berbeda-beda; mampu atau tidak mampu.

Seandainya semua orang adalah kaya, niscaya tak seorang pun

bersedia untuk berkhidmat kepada orang lain karena mereka

telah merasa kaya. Begitu juga sebaliknya. Apabila semua

p:84


1- 190 Ibid., hlm. 281.

orang adalah miskin, maka tak seorang pun siap membantu

orang lain karena kemiskinannya.

2. Masyarakat

Point

Keistimewaan dan kriteria yang telah diberikan oleh Allah

kepada manusia mendorongnya untuk membentuk sebuah

masyarakat. Manusia secara tabiat adalah makhluk sosial dan

tidak mungkin ia menjalani sebuah kehidupan tanpa unsur

saling tolong menolong dan bantu membantu. Untuk itu,

guna memenuhi seluruh kebutuhan mendasar dan sangat

urgen, ia pasti memerlukan sesamanya. Kebutuhan kepada

sesama ini bersifat langgeng selamanya. Oleh karena itu, rasa

membutuhkan ini menjadi faktor pembentukan masyarakat.(1)

Masyarakat yang terkecil (keluarga), minimal, terbentuk dari

dua orang, berikut seluruh keperluan dan perabotan yang

mereka perlukan.

Melihat penjelasan di atas, setiap sesuatu yang tersusun

memiliki hukum, kriteria, dan bentuk khusus yang hanya

dimiliki olehnya. Setiap bagian pembentuk sesuatu itu tidak

memiliki hukum yang sama dengan kriteria ini. Atas dasar

kaidah ini, masyarakat manusia, karena bentuk kesatuan dan

ketersusunan khusus yang ada, memiliki kriteria, keistimewaan,

dan bentuk yang berbeda dengan kriteria, keistimewaan, dan

bentuk yang dimiliki setiap individu. Oleh karena itu, setiap

masyarakat adalah sebuah realita nyata di samping seluruh

individu pembentuknya. Masyarakat memiliki asal muasal,

tujuan, klasifi kasi, dan kesempurnaan yang khusus.

p:85


1- 191 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 145.
2.1. Asal Muasal Masyarakat

Asal muasal pembentukan masyarakat memiliki akar yang

mendalam dalam kebutuhan manusia kepada pertolongan

dan bantuan sesamanya. Guna memenuhi kebutuhan pangan,

sandang, tempat tinggal, dan persenjataan, mau tidak mau ia

harus membagi-bagi tugas dan melakukan transaksi dengan

sesama. Karena tolong menolong dan bantu membantu yang

langgeng mustahil terealisasi tanpa masyarakat, manusia

membentuk sebuah masyarakat.(1)

2.2. Klasifikasi Masyarakat

Masyarakat memiliki klasifi kasi berikut ini:

a. Keluarga; saling tolong menolong umat manusia pertama

(minimal antara seorang pria dan seorang wanita) guna

kelanggengan fi sik dan spesies mereka menciptakan

tatanan keluarga. Dengan demikian, masyarakat pertama

yang ada di kalangan manusia adalah masyarakat keluarga.

Keluarga terwujud karena pembagian kerja antara mereka

berdua dan kesatuan di antara mereka. Berikut antara

dua tiang utama keluarga yang lain; yaitu keturunan dan

pembantu.(2)

Keluarga adalah sebuah kesatuan khusus antara suami

dan istri, orang tua dan anak, serta antara pembantu,

majikan, dan harta. Atas dasar ini, pilar utama keluarga,

minimal, adalah tiga pilar; yaitu istri, suami, dan harta, dan

maksimal adalah lima; yaitu ayah, ibu, anak, pembantu,

p:86


1- 192 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 251.
2- 193 Ibid., hlm. 206.

dan harta.(1)

b. Kampung; meskipun keluarga dapat membantu memenuhi

sebagian kebutuhan utama manusia, akan tetapi ia masih

tidak mampu memenuhi sebagian kebutuhan lain dan

keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,

seperti pangan, sandang, tempat tinggal, persenjataan, dan

lain sebagainya. Oleh karena itu, dengan berkumpulnya

dua keluarga atau lebih dalam ruang lingkup tempat

tertentu dan terjadi interaksi antara mereka, sebuah

masyarakat lain terbentuk dengan nama “masyarakat

kampung”. Tentang definisi kampung disebutkan,

kampung adalah sebuah bentuk kesatuan tersusun dari

beberapa keluarga yang berusaha memenuhi kebutuhankebutuhan

mereka melalui semangat gotong royong dan

tolong menolong.(2)

c. Kota; kampung adalah sebuah bentuk masyarakat tidak

sempurna yang terbesar. Masyarakat ini tidak mampu

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dalam

cakupan yang luas seperti transaksi dan juga tidak mampu

menjamin keamanan penduduknya. Oleh karena itu,

pembentukan sebuah masyarakat yang lebih besar dan

sempurna adalah sebuah kebutuhan yang sangat urgen.

Kota (madi-nah) adalah bentuk masyarakat sempurna

pertama yang terwujud karena beberapa kampung

bergabung menjadi satu.(3) Kota adalah tempat individu-

p:87


1- 194 Ibid., hlm. 206-207.
2- 195 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 149.
3- 196 Khajeh Nashiruddin Thusi juga menilai desa (qaryah) adalah sebuah bentuk masyarakat yang tidak sempurna. Akan tetapi, karena desa adalah penolong dan khadim kota, bukan bagian dari kota; berbeda dengan kampung, Khajeh menilai bahwa desa masih bergantung kepada kota. Untuk menelaah hal ini, silakan merujuk Akhloq-e Nosheri, hlm. 257.

individu berkumpul dengan perbedaan-perbedaan

jasmani, pemikiran, dan finansial, serta memiliki tujuan

dan cita-cita yang beraneka ragam. Dengan aneka profesi

dan pekerjaan yang mereka miliki, mereka hidup dengan

saling tolong menolong; sebuah semangat yang menjadi

motor penggerak kehidupan.

Lantaran keluasan daerah, populasi penduduk, dan

aneka ragam profesi dan pekerjaan yang ada, kota dapat

disebut sebagai sebuah “ masyarakat politis”. Di samping

itu, dengan memanfaatkan keberadaan lembaga dan

instansi-instansi, kota adalah sebuah lahan yang sangat

tepat untuk aplikasi sistem manajemen politik. Lebih dari

itu, dengan pemenuhan seluruh kebutuhan material dan

spiritual yang diperlukan oleh spesies manusia, baik pangan,

kemananan, pendidikan, maupun kebutuhan-kebutuhan

yang lain, kota dapat mengantarkan mereka meniti jalan

menuju kesempurnaan. Seperti pernah ditegaskan oleh

Farabi, membangun kota adalah langkah pertama untuk

menggapai kesempurnaan manusia.(1) Pada kesempatan

yang lain, ia juga pernah menekankan, “Kebaikan yang

paling utama dan kesempurnaan puncak, pertama kali,

dapat dicapai melalui perantara masyarakat kota.”(2)

d. Umat; umat tersusun dari individu-individu yang, minimal,

berdomisili di tiga kota.(3) Umat adalah sebuah lahan yang

p:88


1- 197 Abu Nashr Muhammad Farabi: Siyosat-e Madaniyeh, hlm. 230.
2- 198 Abu Nashr Muhammad Farabi: Andisyehho-ye Ahl-e Madineh-e Fodheleh, hlm. 207.
3- 199 Abu Nashr Muhammad Farabi: Siyosat-e Madaniyeh, hlm. 231.

sangat sesuai guna mengaplikasikan politik. Dibandingkan

dengan kota, umat memiliki bentuk kesatuan yang

lebih rumit. Lebih dari itu, politik yang dijalankan dan

dipraktikkan juga bersifat lebih fundamental.

e. Dunia; dunia adalah bentuk masyarakat manusia yang

terbesar dan meliputi seluruh individu yang hidup di tiap

belahan bumi yang hidup.(1)

2.3. Tujuan Masyarakat
Point

Pada hemat Khajeh Nashiruddin Thusi, setiap gerakan terwujud

guna sampai kepada satu tujuan(2) dan setiap aksi dilakukan

untuk menggapai sebuah tujuan. Atas dasar ini, masyarakat

manusia juga sedang bergerak menuju ke sebuah tujuan.

Tujuan pertama adalah memenuhi seluruh kebutuhan utama

demi kelanggengan fi sik dan spesies manusia.(3) Selanjutnya,

setelah masyarakat bertambah luas dan sebuah masyarakat

politik (kota dan umat), mencapai “kebahagiaan jasmani dan

sosial”(4) atau, meminjam terminologi Aristoteles, “kehidupan

yang tentram” menjadi salah satu tujuan masyarakat politis

setelah semua kebutuhan utama terpenuhi.

Lebih dari itu, masyarakat politik, sebagaimana bentuk

masyarakat yang lain, adalah adalah tempat untuk mendidik,

mencari, dan mengaplikasikan seluruh jenis keutamaan.

Dalam masyarakat ini, dengan mengaktualisasikan seluruh

p:89


1- 200 Silakan merujuk buku Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 256, Abu Nashr Muhammad Farabi: Seyasat-e Madaniyeh, hlm. 230-231, dan juga Abu Nashr Muhammad Farabi: Andisyehho-ye Madineh-e Fodheleh, hlm. 206-207.
2- 201 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 82.
3- 202 Ibid., hlm. 250.
4- 203 Ibid., hlm. 154.

kemampuan yang masih bersifat potensial, manusia akan

meniti jalan menuju kebahagiaan. Oleh karena itu, tujuan akhir

sebuah masyarakat politik adalah “menggapai kesempurnaan”

dan “mencapai kebahagiaan jiwa”.(1)

Akan tetapi, dalam menempuh jalan kesempurnaan dan

kebahagiaan ini, manusia kadang-kadang menempuh jalanjalan

yang benar dan kadang-kadang pula meniti jalan-jalan

yang tidak benar; sebagian aksi mereka yang dilandasi oleh

kehendak adalah benar dan sebagian yang lain adalah salah.

Melihat realita ini, guna mencapai kebahagiaan, masyarakatmasyarakat

politik juga menentukan tujuan-tujuan yang

beraneka ragam dan meniti jalan-jalan yang berbeda-beda.

Menilik tujuan-tujuan ini, masyarakat politik (kota atau umat)

dibagi dalam dua klasifi kasi: (a) masyarakat yang didukung

oleh faktor kebaikan, dan (b) masyarakat yang ditopang oleh

faktor keburukan. Masyarakat pertama disebut madînah fâdhilah

(masyarakat ideal) dan masyarakat kedua dinamakan madînah

ghair fâdhilah (masyarakat nonideal).(2)

Pada kesempatan ini, kita akan menelaah seluruh bentuk

masyarakat politik di atas, berikut tujuan masing-masing. Di

samping itu, kita juga akan mengenal masing-masing bentuk

masyarakat secara detail sehingga kita bisa membedakan mana

bentuk masyarakat ideal dan mana masyarakat nonideal.

Dengan pengenalan ini, kita berharap bisa merubah sebuah

masyarakat nonideal menjadi sebuah masyarakat ideal.

Alasannya adalah jelas. Sebagaimana setiap individu harus

p:90


1- 204 Ibid., hlm. 255; Abu Nashr Muhammad Farabi: Andisyehho-ye Madineh-e Fodheleh, hlm. 205.
2- 205 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 280.

melangkah menuju ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan,

seluruh masyarakat juga harus berubah menjadi masyarakat

ideal dengan sekuat tenaga kita.

a. Masyarakat Ideal

Masyarakat adalah kumpulan sebuah kaum yang terdiri

dari individu-individu yang memiliki semangat untuk

mengaplikasikan segala kebaikan dan memberantas setiap

bentuk keburukan.

Rakyat yang hidup di sebuah masyarakat ideal memiliki

pandangan dan aksi yang sejalan. Maksudnya, keyakinan

mereka tentang titik awal dan titik akhir seluruh makhluk,

serta aksi-aksi yang harus dilakukan selama masa berada

di antara kedua titik ini adalah sesuai antara yang satu

dengan yang lain dan sejalan dengan kebenaran. Maksud

lain kesejalanan ini adalah seluruh rakyat memilih satu jalan

untuk mencapai kesempurnaan dan seluruh aksi yang mereka

lakukan terbentuk dalam format hikmah, berdiri kokoh karena

didukung oleh kekuatan logika, dan diatur dengan undangundang

keadilan dan aturan-aturan politik. Atas dasar ini,

meskipun setiap individu memiliki perbedaan secara jasmani

dan kondisi mereka juga beraneka ragam, akan tetapi tujuan

seluruh aksi mereka adalah satu, serta jalan dan metode mereka

sejalan antara yang satu dengan yang lain.(1) Masyarakat

ideal tidak lebih dari satu, karena kebenaran tersucikan dari

keberbilangan.

p:91


1- 206 Ibid., hlm. 280-281.
b. Masyarakat Nonideal

Masyarakat nonideal memiliki tiga jenis:

1) Masyarakat bodoh; masyarakat bodoh adalah sebuah

masyarakat politis yang penduduknya tidak memanfaatkan

kekuatan akal. Faktor utama peradaban mereka adalah

mengikuti kekuatan- kekuatan yang irasional. Pada

dasarnya, dalam kehidupan politik, mereka hanya mencari

sebuah tujuan yang tidak hakiki.

2) Masyarakat fasik; masyarakat fasik adalah sebuah

masyarakat politis yang penduduknya mampu untuk

memanfaatkan akal. Akan tetapi, mereka malah

memanfaatkan kekuatan- kekuatan lain selain kekuatan

akal dan membangun peradaban mereka berdasarkan

kekuatan- kekuatan tersebut. Keyakinan-keyakinan yang

dimiliki oleh penduduk masyarakat ini adalah sesuai

dengan kebenaran dan sama seperti keyakinan-keyakinan

masyarakat ideal. Akan tetapi, mereka tidak berperilaku

sesuai dengan keyakinan-keyakinan itu. Dengan kehendak

sendiri, mereka malah mengikuti perilaku-perilaku bangsa

jahiliah.

3) Masyarakat sesat; masyarakat sesat adalah sebuah

masyarakat politik yang penduduknya, karena kekurangan

dalam kekuatan akal, mengkhayalkan sebuah undang-undang

bagi diri mereka dan menganggap undang-undang

ini sebagai sebuah keutamaan. Berlandaskan pada

keutamaan khayali ini, mereka membangun peradaban.

Mereka membayangkan sebuah kebahagiaan yang serupa

dengan kebahagiaan hakiki. Dengan membayangkan titik

p:92

awal (mabda’) dan titik akhir (ma‘âd) yang bertentangan

dengan kebenaran, mereka merajut serentetan perilaku

dan keyakinan yang tidak dapat mengantarkan mereka

kepada kebaikan mutlak dan kebahagiaan abadi.(1)

Masyarakat ini memiliki banyak jenis.

Masyarakat bodoh dan masyarakat fasik juga memiliki

jenis yang tak terhingga. Akan tetapi, secara global, kedua

masyarakat ini dapat dibagi dalam enam klasifikasi berikut

ini:

 Masyarakat minimum; masyarakat minimum adalah

sekumpulan kaum yang bertujuan saling tolong menolong

dalam mencari hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupan,

seperti sandang dan pangan. Mereka mencari seluruh

kebutuhan ini melalui aneka ragam jalan dan cara, baik

cara yang terpuji maupun cara yang tak terpuji.

 Masyarakat minoritas; masyarakat minoritas adalah

sekumpulan kaum yang saling tolong menolong untuk

menggapai harta dunia dan mengumpulkan kebutuhankebutuhan

utama kehidupan; meliputi harta-harta

simpanan, sandang dan pangan, emas, perak, dan lain

sebagainya. Dengan mengumpulkan harta yang lebih dari

kebutuhan ini, mereka bertujuan supaya menjadi sebuah

kaum yang kaya dan kuat. Mereka tidak memperbolehkan

infak dan sedekah kecuali untuk kondisi-kondisi urgen

supaya tubuh peminta tetap bisa bertahan hidup saja.

Mereka mencari harta kekayaan melalui aneka ragam

jalan dan cara, atau melalui jalan dan cara yang disepakati

oleh anggota masyarakat.

p:93


1- 207 Ibid., hlm. 280-299.

 Masyarakat hina; masyarakat hina adalah sekumpulan

kaum yang saling tolong menolong untuk menikmati

kelezatan dan kenikmatan inderawi, seperti makan,

minum, kelezatan seksual, dan segala jenis senda gurau.

Tujuan mereka dari semua kelezatan ini adalah kelezatan

itu sendiri, bukan untuk menguatkan tubuh. Kaum yang

berpikiran lemah dari masyarakat lain menyangka bahwa

masyarakat ini adalah sebuah masyarakat yang bahagia

dan merasa iri terhadap mereka. Dalam pikiran mereka,

masyarakat ini telah berhasil memenuhi segala kebutuhan

utama dan harta melimpah yang mereka inginkan.

 Masyarakat mulia; masyarakat mulia adalah sekumpulan

kaum yang saling tolong menolong untuk mencapai

kemuliaan-kemuliaan dalam ranah lisan dan amal;

kemuliaan-kemuliaan yang disebabkan oleh harta,

kekuasaan, nasab keturunan, dan lain sebagainya.

 Masyarakat dominasi; masyarakat dominasi adalah

sekumpulan kaum yang saling tolong menolong dengan

tujuan berkuasa atas orang lain. Mereka memiliki aneka

ragam tujuan, seperti pertumpahan darah, merampas

harta, berkuasa, dan lain sebagainya.

 Masyarakat orang-orang bebas (masyarakat jamaah);

masyarakat orang-orang bebas adalah sekumpulan kaum

yang setiap orang dalam masyarakat ini bebas melakukan

segala sesuatu yang ia inginkan. Tujuan masyarakat ini

adalah memiliki seluruh jenis kebebasan.(1)

p:94


1- 208 Ibid., hlm. 289-299; Abu Nashr Farabi: Seyosat-e Madaniyeh, hlm. 256-283; M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 190-211.
2.4. Aneka Ragam Anggota Masyarakat
Point

Orang-orang yang membentuk masyarakat, khususnya

masyarakat politis; yakni kota dan umat, dengan tujuan untuk

saling tolong menolong dan bantu membantu, melakukan

aktivitas dalam berbagai bidang profesi dan industri dengan

cara membagi-bagi tugas yang diperlukan. Mereka juga memiliki

tabiat dan temperamen yang berbeda-beda. Atas dasar ini,

dengan melihat keahlian dan profesi yang ada, mereka dapat

dibagi dalam beberapa golongan berikut ini:

a. Klasifikasi Profesi
Point

Keberadaan aneka ragam profesi dalam sebuah masyarakat

adalah keharusan sebuah semangat tolong menolong dan bantu

membantu. Alasannya, apabila seluruh anggota masyarakat

hanya menekuni satu jenis profesi atau beberapa macam profesi

yang sangat terbatas, maka produksi dan transaksi pasti

akan terbatas pula dan seluruh kebutuhan material dan spiritual

mereka tidak bisa terpenuhi. Sebagaimana alam natural

memiliki empat unsur penting; yakni air, api, udara, dan tanah,

sebuah masyarakat sempurna dan seimbang yang mampu

menjamin seluruh kebutuhan hidup anggotanya memiliki

klasifikasi profesi sebagai berikut:

Ahli Pena

Pena dimiliki oleh empat golongan:

Pertama, ulama.

Kedua, orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan

yang rumit, seperti filsafat, astronomi, dan medis.

Ketiga, orang-orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan

p:95

besar, seperti para menteri, hakim, dan penulis yang menulis

serta me-nyampaikan titah raja kepada kawan dan lawan.

Keempat, orang-orang yang bekerja sebagai pencatat

pendapatan dan pengeluaran.(1) Atas dasar ini, ahli pena meliputi para ilmuwan, faqih,

hakim, penulis, pencatat pemasukan dan pengeluaran,

insinyur, astronom, ahli medis, penyair, dan lain sebagainya.

Jelas, kekokohan agama dan dunia bergantung kepada

keberadaan mereka.(2) Alasannya, pena dalam masyarakat

memiliki empat macam fungsi penting:

a. Memelihara jalan Ilahi di tengah-tengah masyarakat luas

sehingga tidak sirna.

b. Menampakkan segala sesuatu yang terpendam.

c. Pemikiran dan ide dipelajari sehingga tidak terlupakan.

d. Memelihara kejujuran dan kebenaran di tengah-tengah

masyarakat luas.(3)

Dengan demikian, apabila kita mau beranalogi, ahli pena

adalah seperti air di antara unsur-unsur alam natural ini.

Ahli Pedang

Ahli pedang adalah para pejuang, ksatria, prawira, pasukan

sukarelawan, pasukan perang, penjaga perbatasan, para

pengawal raja, dan para penjamin keamanan negara. Tugas

mereka adalah mewujudkan keteraturan dan keamanan di

dalam dan luar masyarakat. Keteraturan yang ada di alam

p:96


1- 209 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 29.
2- 210 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 305.
3- 211 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 29.

raya ini terwujud karena jerih payah mereka. Di antara unsurunsur

yang ada di alam natural ini, mereka adalah bak api

membara.(1)

Ahli Transaksi

Golongan ini bertanggung jawab menjamin segala kebutuhan

ekonomi; meliputi pemenuhan kebutuhan barang di luar

dan dalam negeri, industri, dan pasar. Mereka meliputi para

pedagang, ahli kerajinan tangan, para pemilik industri, dan

begitu juga para penarik pajak.

Tugas ahli transaksi di tengah-tengah masyarakat adalah

membantu anggota masyarakat untuk mempermudah jalan

roda kehidupan. Dengan demikian, roda kehidupan spesies

manusia tanpa bantuan mereka tidak akan pernah berjalan. Di

antara unsur-unsur alam natural, mereka adalah bak hawa.

Ahli Pertanian

Bidang ini dipegang oleh orang-orang yang bertugas

memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Mereka adalah

para petani, para pemilik kebun, dan orang-orang yang

memiliki pekerjaan yang sama dengan profesi mereka. Dengan

demikian, kelanggengan hidup anggota sebuah masyarakat

tanpa bantuan mereka adalah sesuatu yang mustahil. Di

antara unsur-unsur alam semesta, mereka adalah bak tanah

yang subur.(2)

p:97


1- 212 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 305.
2- 213 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 255.
b. Aneka Ragam Tabiat

Tabiat (thab‘) adalah sebuah kriteria kokok tabiat yang dimiliki

oleh jiwa karena pengulangan sebuah kriteria. Jelas, tabiat

ini berbeda dengan fi trah.(1) Atas dasar ini, seperti pernah

ditegaskan oleh Jalinus, sebagian manusia secara tabiat

diciptakan sebagai ahli kebaikan. Sebagian yang lain secara

tabiat diciptakan sebagai ahli keburukan. Dan golongan ketiga

berada di pertengahan antara dua dua titik kebaikan dan

keburukan ini; mereka memiliki kelayakan untuk menjadi

orang baik atau orang buruk.(2)Menilik penjelasan ini, anggota

sebuah masyarakat secara tabiat terbagi ke dalam lima

klasifi kasi:(3)

 Mereka yang secara tabiat adalah orang baik dan kebaikan

mereka juga sampai kepada orang lain; golongan ini

memiliki kekuatan akal yang sangat istimewa untuk

membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan

pengenalan yang kokoh tentang titik awal (mabda’)

dan titik akhir (ma‘ad) kehidupan manusia, tata cara

penciptaan, dan manusia kembali kepada Allah, mereka

mengetahui jalan lurus menuju keutamaan dan menggapai

kesempurnaan dan keutamaan, serta lalu menitinya.

Dengan cara menyempurnakan seluruh kekuatan teoretis

dan praktisnya, mereka telah menata rapi seluruh kekuatan

dan perilaku mereka, serta telah sampai kepada posisi guna

menyempurnakan orang lain. Artinya, setelah mereka

berhasil menjadi orang sempurna, mereka berusaha untuk

p:98


1- 214 H.N. Farhan: Al-Khâjah Nashîruddîn Al-Tûsî, hlm. 303.
2- 215 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 303.
3- 216 Ibid., hlm. 306.

menyempurnakan makhluk sesama mereka, dan bahkan

binatang.(1) Dengan ini, mereka menganugerahkan

kebaikan kepada orang lain. Golongan ini adalah makhluk

yang paling salih.

 Mereka yang secara tabiat adalah orang baik, akan tetapi

kebaikan mereka tidak sampai kepada orang lain; golongan

ini memiliki kekuatan akal untuk membedakan yang

baik dari yang buruk. Lantaran pengetahuan terhadap

hakikat-hakikat yang berhubungan dengan manusia,

segala sesuatu yang dalam batin mereka atau keluar dari

mereka, baik berupa pemikiran dan pandangan maupun

aksi dan perilaku, seluruhnya adalah kebaikan.(2) Akan

tetapi, mereka tidak sampai kepada tingkatan untuk

menyempurnakan makhluk sesama mereka.

 Mereka yang secara tabiat tidak baik dan tidak juga jahat;

golongan ini meliputi orang-orang yang, karena kekuatan

akal yang lemah, tidak mengenal titik awal, titik akhir, dan

jalan-jalan yang dapat digunakan untuk sampai kepada

kebenaran. Oleh karena itu, kadang-kadang mereka

juga mengucapkan sebuah ucapan yang tak terpuji dan

melakukan kelakuan yang buruk. Akan tetapi, tabiat

mereka tidak memiliki kecenderungan kepada kebaikan

dan tidak juga kepada kejahatan.

 Mereka yang secara tabiat adalah orang jahat, akan

tetapi kejahatan mereka tidak sampai kepada orang lain;

golongan ini adalah orang-orang yang telah dikalahkan

p:99


1- 217 Ibid., hlm. 70 dan 148.
2- 218 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 259.

oleh kekuatan- kekuatan selain kekuatan akal dan tidak

dapat membersihkan akhlak. Lantaran ini, mereka menjadi rusak.

Meskipun ada titik kerusakan ini, kejahatan mereka tidak

sampai kepada orang lain.

Mereka yang secara tabiat adalah orang jahat dan kejahatan

mereka juga sampai kepada orang lain; golongan ini

adalah orang-orang yang dikalahkan oleh kekuatankekuatan

selain kekuatan akal. Tidak hanya mereka sendiri yang rusak,

mereka juga berbuat kerusakan di tengah-tengah masyarakat.

Mereka juga menarik orang lain kepada kerusakan. Dengan

berbuat kejahatan ini, mereka menciptakan gangguan dan

keonaran bagi orang lain. Golongan ini adalah makhluk yang

paling hina dan maujud yang paling jahat.

2.5. Keharusan Manajemen Politik

Aneka ragam manusia yang berkumpul menjadi satu dalam

satu kawasan dengan membentuk sebuah masyarakat memiliki

motivasi dan tujuan yang berbeda-beda dalam setiap aksi

dan perilaku yang mereka lakukan, seperti ingin memperoleh

kelezatan, menggapai kemuliaan, dan lain sebagainya. Apabila

anggota sebuah masyarakat dibiarkan menuruti seluruh

kehendak tabiatnya, maka semangat saling tolong menolong

yang memang merupakan tujuan pembentukan masyarakat

tidak akan terwujud. Alasannya, orang-orang yang haus kekuasaan

akan menjadikan seluruh anggota masyarakat yang lain

sebagai hamba dan abdi diri mereka. Orang-orang yang rakus

akan mengeksploitasi seluruh harta kekayaan untuk

p:100

diri mereka. Hal ini akan menimbulkan pertikaian di kalangan

para anggota masyarakat dan menyebabkan kehancuran.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah badan manajemen.

Badan manajemen ini akan menempatkan setiap orang pada

posisi yang layak, menjadikannya puas dengan posisi itu,

dan menghalangi orang-orang yang ingin merampas hakhak

orang lain. Manajemen ini disebut “politik” (siyâsah),

atau dalam terminologi yang lebih bagus, “ manajemen

politik”. Politik akan mengantarkan sebuah masyarakat

kepada tujuan yang telah dicanangkan.(1) Sekalipun kita

kesampingkan kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki, demi

kontinuitas semangat saling tolong menolong dan kehidupan

bermasyarakat, serta kelanggengan fi sik dan spesies manusia

yang merupakan urgensitas sebuah kebahagiaan yang hakiki,

politik merupakan sesuatu yang sangat urgen.

Supaya kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia

bisa terealisasi, politik ini harus diserahkan kepada seseorang

yang memiliki akal dan fi trah sehat karena pengokohan

Ilahi dan hidayah Rabbani. Dengan pengenalannya yang

sempurna terhadap hakikat seluruh makhluk, titik awal dan

titik akhir manusia, keutamaan dan kehinaan, kebahagiaan

dan kesengsaraan, serta tata cara memelihara keselamatan

jiwa dan menghilangkan penyakit-penyakit hati, ia telah

berhasil menyetabilkan dan mengantarkan jiwanya kepada

kesempurnaan teoretis dan praktis. Oleh karena itu,

dengan manajemen yang benar dan penegakan keadilan,

ia pasti dapat memanajemen roda politik seluruh anggota

p:101


1- 219 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 252.

masyarakat, menempatkan mereka di atas jalan lurus yang

menuju kesempurnaan, dan juga mengatarkan mereka

kepada kebahagiaan yang memang menjadi tujuan mereka

bersama.(1)

p:102


1- 220 Ibid., hlm. 70 dan 252.

Bab 3

Substansi Manajemen Politik

Point

Pada bab kedua, kita telah kenal dengan perspektif dan

keterangan Khajeh Nashiruddin Thusi tentang manusia,

masyarakat, dan faktor mengapa manajemen politik diperlukan

dalam sebuah masyarakat. Pada bab ini, kita akan membahas

substansi manajemen politik. Kita akan telaah bersama

dasar-dasar, tujuan, hal-hal yang diperlukan, dan klasifi kasi

manajemen politik. Sebagai penutup, kita akan mengulas

syarat dan kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang

pengatur politik.

1. Dasar-dasar Manajemen Politik

Point

Setelah masyarakat politis terbentuk dan seluruh pekerjaan

dibagi-bagikan di antara anggota masyarakat yang memiliki

tabiat dan motivasi-motivasi yang berbeda-beda, terjadi sebuah

interaksi yang sangat rumit di tengah-tengah para anggota dan

p:103

golongan-golongan yang eksis dalam masyarakat tersebut.

Interaksi dan hubungan rumit ini menuntut sebuah cara

pengaturan (tadbîr) yang lebih dari sekedar cara pengaturan

untuk urusan pribadi dan keluarga. Cara pengaturan ini

disebut “politik” atau lebih tepatnya “ manajemen politik”.

Manajemen politik dapat berjalan dengan rapi dan teratur

berkat ilmu pengetahuan dan hikmah.(1) Manajemen politik itu

sendiri bisa dianggap sebagai kesempurnaan hikmah. Mereka

yang telah memiliki keutamaan hikmah tidak memiliki jalan

lain kecuali harus beramal guna meyempurnakan hikmah yang

telah mereka miliki itu. Alasannya, ilmu pengetahuan adalah

sebuah titik awal dan amal adalah penyempurna.

Amal tanpa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang

mustahil dan ilmu tanpa amal juga akan sirna.(2) Atas dasar

ini, manajemen politik memiliki dua sisi: sisi teoretis dan

sisi praktis. Sisi teoretis manajemen politik adalah hikmah

madani atau ilmu tentang manajemen politik dalam artian

umum. Sisi ini adalah dasar utama manajemen politik. Dan

sisi praktis manajemen politik adalah politik praktis atau

praktik manajemen politik. Sisi ini adalah penyempurna ilmu

manajemen politik.

1.1. Ilmu Manajemen Politik (Hikmah Madani)

Hikmah madani atau ilmu mengatur masyarakat merupakan

sebagian dari hikmah praktis,(3) dan salah satu dari ketiga

bagiannya. Hikmah adalah mengetahui segala sesuatu

p:104


1- 221 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 430; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 309.
2- 222 Ibid., hlm. 70.
3- 223 Muhammad Surush: Din va Dovlat, hlm. 52.

seperti apa adanya dan melakukan segala tugas sebagaimana

mestinya semampu mungkin sehingga jiwa bisa sampai

kepada kesempurnaan yang dicarinya.(1) “Ilmu” dan “amal”

mengandung arti “mengetahui” dan “melaksanakan”.

Hikmah mengetahui segala sesuatu seperti apa adanya.

Hikmah dibagi ke dalam dua klasifikasi: hikmah teoretis dan

hikmah praktis. Hikmah praktis adalah pengetahuan terhadap

maslahat-maslahat gerakan dan aksi invensional (irâdî)(2)

spesies manusia; sebuah pengetahuan yang dapat mengatur

kehidupan dunia dan akhirat mereka, serta mengantarkan

mereka kepada kesempurnaan yang memang menjadi tujuan

hidup mereka.(3)

Dengan ungkapan lain, hikmah praktis berusaha

untuk mengetahui maslahat-maslahat aksi invensional dan

intensional spesies manusia sedemikian rupa sehingga

pengetahuan ini dapat mengatur segala urusan kehidupan

duniawi dan ukhrawi mereka. Pengetahuan ini sendiri dapat

mengantarkan kepada kesempurnaan yang spesies manusia

secara fitriah dilahirkan untuk menggapainya.(4)

Dengan demikian, sembari melihat seluruh pembahasan

yang telah dipaparkan pada bab kedua, hikmah praktis dibagi

dalam tiga klasifikasi:

a. Penyucian akhlak; sebuah cabang ilmu pengetahuan yang

berusaha membersihkan jiwa manusia.

p:105


1- 224 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 37.
2- 225 Sebagai lawan kata tiindakan dan gerakan natural, seperti detak jantung, gemetar, mencerna makanan, dan lain sebagainya.
3- 226 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 40.
4- 227 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 7.

b. Pengaturan rumah tangga; sebuah cabang ilmu

pengetahuan yang mengatur urusan dan fondasi- fondasi

rumah tangga.

c. Manajemen politik kota (hikmah madani); ilmu manajemen

politik.

Hikmah madani atau ilmu manajemen politik dapat

didefi nisikan berikut ini: “pengetahuan terhadap undangundang

universal yang berhubungan dengan kemaslahatan

masyarakat umum dari sisi bahwa undang-undang ini bergerak

menuju kesempurnaan hakiki dengan landasan semangat

saling tolong menolong.”(1)

Dengan kata lain, ilmu manajemen politik adalah ilmu yang

membahas modus interaksi manusia dengan sesamanya dalam

sebuah masyarakat yang terbentuk untuk menghidupkan

semangat saling tolong menolong. Ilmu ini juga menjelaskan

jenis-jenis interaksi yang dapat menyebabkan kerusakan dan

juga yang dapat menelurkan keteraturan.(2)

Obyek ilmu manajemen politik adalah “bentuk-bentuk

perkumpulan spesies manusia”. Yakni, bentuk perkumpulan

yang terwujud untuk manusia dan menjadi sumber aplikasi

seluruh aksi dan aktivitas mereka.(3) Bentuk-bentuk ini meliputi

keluarga, perkampungan, kota, negara, dan dunia.

Guna memperoleh kemampuan untuk meniti jalan menuju

kesempurnaan, setiap pribadi, sesuai dengan kemampuan

dan posisinya, harus mempelajari jenis ilmu ini. Jika tidak,

p:106


1- 228 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 254.
2- 229 Ibid., hlm. 255.
3- 230 Ibid., hal 254-255.

seluruh transaksi dan interaksinya tidak dapat terbersihkan

dari kerusakan dan kezaliman. Mempelajari ilmu manajemen

politik bagi seorang pemimpin politik yang menempati pucuk

piramida sebuah masyarakat memiliki urgensi yang lebih

besar.

Akhirnya, buah manis ilmu manajemen politik adalah

penebaran kebaikan dan pembasmian keburukan dari tengahtengah

kehidupan masyarakat sesuai kekuatan dan kemampuan

manusia. Dengan kata lain, apabila orang yang mengetahui ilmu

manajemen politik memiliki kemahiran dalam pekerjaannya

dan memperoleh pengalaman yang berharga, niscaya ia akan

mampu memanajemen masyarakat dengan benar, membasmi

seluruh keburukan, dan mengantarkan masyarakat itu kepada

keseimbangan yang hakiki.(1)

1.2. Praktik Manajemen Politik (Politik Praktis)

Fungsi manajemen politik, berbeda dengan ilmu manajemen

politik, bukanlah sebuah arti yang abstraktif (intizâ‘î).

Manajemen politik bisa difungsikan pada sebuah masyarakat

politis yang terbentuk dari aneka ragam manusia dengan aneka

ragam pekerjaan dan tabiat dan terletak di sebuah belahan

bumi yang makmur dan terbentang luas.

Politik praktis atau praktik manajemen politik adalah

sebuah jenis manajemen yang berusaha melakukan regulasi

dan strategi terhadap kehidupan sosial manusia dalam

sebuah masyarakat politis. Pada peringkat yang terendah,

kehidupan sosial sebuah masyarakat politis diregulasi dan

dimanajemen guna menghilangkan seluruh jenis pertikaian

p:107


1- 231 Ibid., hlm. 255.

dan percekcokan antara anggota masyarakat sehingga mereka

tidak sibuk saling merusak dan membinasakan yang lain.(1)

Sebaliknya, hendaknya mereka meneruskan komitmen untuk

saling tolong menolong dan bantu membantu dalam ranah

masyarakat politis. Peringkat ini disebut “politik natural” atau

“politik hewani.”

Pada peringkat pertengahan, seluruh usaha pada peringkat

di atas dilakukan dalam bentuk yang lebih rumit dengan tujuan

supaya masyarakat dan para penghuninya dapat menggapai

kehidupan yang lebih baik dan kebahagiaan madani. Peringkat

politik praktis ini hanya bersandarkan pada logika murni dan

tidak mementingkan syariat dan hukum-hukum Ilahi. Oleh

karena itu, peringkat ini disebut “politik rasional.”

Pada peringkat “politik rasional,” seorang pemimpin

politis tidak mengetahui titik awal, titik akhir, kebahagiaan

hakiki manusia, dan jalan-jalan untuk menggapainya. Akan

tetapi, berbeda dengan pemimpin politis natural, ia mengenal

kebahagiaan badani dan madani manusia. Ia menuntun

masyarakat dan para penghuninya ke keba-hagiaan ini.

Akhirnya, pada peringkat yang tertinggi, manajemen

dan pengaturan itu berlandaskan pada undang-undang

syariat guna mencapai kemaslahatan duniawi dan ukhrawi

masyarakat politis dan para penghuninya. Peringkat ini

disebut “politik Ilahi”.(2) Dalam politik ini, politik memperoleh

inayah-inayah Ilahi guna memperoleh undang-undang yang

rasional. Berkat bantuan undang-undang ini, politik ini akan

mengesahkan hukum dan ketentuan yang dapat mendekatkan

p:108


1- 232 Ibid., hlm. 252.
2- 233 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 120-121.

para hamba kepada Allah dan mencegah segala aksi yang

dapat menjauhkan mereka dari Allah dan akal sehat tidak

dapat memahaminya.(1)

Dalam hal ini, hal yang memperoleh penekanan adalah

aplikasi politik. Untuk menentukan peringkat mana yang

harus dijalankan, seorang pemimpin politis masyarakat

memiliki peran asli dan fundamental. Jika manajemen politik

sebuah masyarakat berada di tangan seorang pemimpin

politis yang bertujuan hanya ingin membasmi pertikaian di

antara para anggota masyarakat dan memenuhi kebutuhankebutuhan

utama mereka, maka “politik natural” akan ia

jalankan. Kondisi kedua adalah manajemen politik sebuah

masyarakat politik berada di tangan seorang pemimpin

politis yang memiliki akal praktis tertinggi. Akalnya tidak

dikuasai oleh kekuatan syahwat dan amarah, serta bertujuan

untuk memenuhi kebahagiaan badani dan madani rakyatnya,

seperti kesehatan, kesejahteraan, keamanan, kemajuan dalam

bidang ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Jelas, ia

akan menjalankan “politik rasional.” Ada kalanya, seorang

pemimpin politis adalah seorang fi losof bijak yang mengetahui

titik awal dan titik akhir manusia, hukum-hukum syariat,

dan kebahagiaan hakiki mereka, berikut jalan-jalan yang

menuju ke arah kebahagiaan ini. Tujuannya dari manajemen

politik ini adalah mengantarkan seluruh anggota masyarakat

kepada kesempurnaan yang mereka diciptakan guna sampai

kepadanya.(2) Dalam kondisi ini, ia akan menjalankan “politik

Ilahi.”

p:109


1- 234 Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli: Kasyf Al-Murâd fi Syarh Tajrîd Al-I‘ti qâd, hlm. 481.
2- 235 Muhammad bin M.N. Thusi: Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 367.

2. Tujuan Manajemen Politik

Manusia membentuk sebuah masyarakat politis demi

kelanggengan raga dan spesies mereka. Dalam masyarakat

politis ini, dengan semangat saling tolong menolong dan berbagi

tugas dan pekerjaan, mereka ingin mencapai tujuan kehidupan

dan menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Masyarakat

politis tanpa sebuah manajemen politik akan kehilangan

keadilan dan merangkak menuju pertikaian, kekacauan,

kerusakan, dan kebinasaan. Oleh karena itu, sebagaimana

manusia memerlukan kelanggengan supaya sampai kepada

kesempurnaan,(1) tujuan pertama manajemen politik adalah

“memelihara sistem sosial masyarakat” dan “kelanggengan

masyarakat politis”.(2) Tujuan ini dapat terwujud dengan cara

memelihara keteraturan dan keamanan dalam negeri maupun

luar negeri. Tujuan ini adalah tujuan dasar yang secara praktis

selalu diusahakan dalam setiap peringkat manajemen politik

di atas.

Tujuan kedua adalah mengantarkan masyarakat kepada

tujuan yang dicanangkan dan mewujudkan kebahagiaan badani

dan madani bagi para anggota masyarakat. Pada peringkat

manajemen politik ini, memelihara masyarakat politis adalah

“tujuan dasar” dan tujuan kedua ini adalah “tujuan akhir.”

Akan tetapi, pada peringkat ketiga; yakni manajemen politik

Ilahi, yang memandang kehidupan dan manajemen politik

dengan orientasi dua sisi dan transendental, memelihara dan

melanggengkan masyarakat politis adalah “tujuan dasar”.

Menyampaikan masyarakat kepada kesempurnaan yang

p:110


1- 236 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 255.
2- 237 Ibid., hlm. 252.

dicanangkan dan mewujudkan kebahagiaan badani dan madani

bagi seluruh anggota masyarakat adalah “tujuan instrumental

dan pertengahan”. Sedangkan, menyempurnakan makhluk,

sampai kepada kesempurnaan, dan mewujudkan kebahagiaan

akhir jiwa bagi seluruh anggota masyarakat, bahkan bagi

seluruh manusia di alam semesta ini pada sisi hubungan luar

negeri adalah “tujuan akhir” manajemen politik Ilahi.(1)

3. Pilar-pilar Manajemen Politik

Point

Seperti telah kami paparkan sebelum ini, kehidupan manusia

secara tabiat adalah sebuah kehidupan sosial. Kehidupan

sosial tidak akan pernah terwujud tanpa unsur saling tolong

menolong dan bantu membantu. Tolong menolong pun

dapat terjadi ketika sebagian anggota masyarakat berkhidmat

kepada sebagian yang lain; sebagian merelakan sebagian

harta milik mereka dan memberikannya kepada orang lain

sehingga persamaan dan kesejajaran tidak sirna. Sebagai

contoh, tukang kayu memberikan produknya kepada tukang

celup dan tukang celup juga memberikan produknya kepada

tukang kayu. Dengan ini, persamaan terperlihara dengan

baik. Jika produk tukang kayu lebih banyak atau lebih baik

daripada produk tukang celup, atau sebaliknya, maka mau

tidak mau diperlukan sebuah perantara dan penentu harga

yang bernama “uang.” Uang adalah perantara yang diterima

oleh semua orang. Sayangnya, perantara ini tidak memiliki

lisan sehingga dapat bertutur kata. Oleh karena itu, masih

diperlukan sebuah penengah yang dapat berbicara. Apabila

p:111


1- 238 Ibid., hlm. 255 309; Muhammad bin M.N. Thusi: Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 367.

kedua belah pihak transaksi belum bisa menerima ketentuan

yang telah ditentukan oleh nilai uang, maka mereka bisa

meminta bantuan kepada penengah itu sehingga segala urusan

masyarakat dapat terselesaikan dengan benar. Karena hanya

manusialah yang dapat berbicara, maka diperlukan seorang

penguasa dari kalangan manusia.(1)

Dari sisi yang lain, guna menjalankan keadilan

dan menyamaratakan hal-hal yang tidak sama, seorang

penguasa yang adil dan dapat berbicara memerlukan sebuah

pengetahuan tentang konsep “garis tengah”. Dengan konsep

ini, ia dapat mengembalikan seluruh penyelewengan; dimulai

dari keringanan atau keberatan timbangan, keuntungan atau

kerugian, dan lain sebagainya, kepada garis tengah. Penentu

garis tengah untuk segala sesuatu adalah undang-undang Ilahi

atau syariat.(2) Atas dasar ini, memelihara dan menegakkan

keadilan di tengah-tengah masyarakat tanpa syariat, penguasa

yang berasal dari kalangan manusia, dan uang hanyalah

sebuah isapan jempol belaka.(3)

Secara global dapat dipahami bahwa politik berada

di peringkat keadilan yang paling dasar. Sekalipun tanpa

bantuan syariat, hanya dengan bantuan undang-undang dan

hukum, manajemen politik dapat dijalankan; yakni manajemen

politik dalam artian hanya memanajemen urusan sosial dan

memelihara ketertiban masyarakat tanpa keadilan. Dengan

demikian, politik memerlukan “konstitusi” (termasuk UUD),

“penguasa” (termasuk pemerintah), dan “uang” ( kekuatan

p:112


1- 239 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 134.
2- 240 Ibid., hlm. 133.
3- 241 Ibid., hlm. 134.

ekonomi).(1)

3.1. Undang-Undang

Setelah masyarakat politis terbentuk, interaksi antar sesama

anggota masyarakat dalam rangka transaksi dan sisi-sisi lain

kehidupan sosial semakin meluas. Karena manusia dikalahkan

oleh kekuatan syahwat dan amarah, mau tidak mau mereka

memerlukan sebuah undang-undang yang berdiri tegak di

atas fondasi keadilan sehingga sebagian orang tidak merasa

takut terhadap sebagian yang lain.(2) Mereka dapat hidup

berdampingan dengan penuh ketentraman dan keamanan.

Jika terjadi sebuah pertikaian atau perkelahian, mereka dapat

merujuk kepada undang-undang tersebut.

Oleh karena itu, undang-undang adalah bagian dari

politik yang memiliki hubungan erat dengan aksi-aksi yang

dilakukan oleh anggota masyarakat politis, seperti akad,

transaksi, interaksi, dan lain sebagainya. Kedudukan setiap

profesi, pekerjaan, dan batasan persamaan telah ditentukan

oleh undang-undang. Tugas khusus undang-undang adalah

penegakan keadilan universal. Artinya, undang-undang

menentukan keputusan berdasakan keadilan universal dan

tidak akan pernah memberikan seseorang sesuatu yang

melebihi haknya. Alasannya, tindakan memberikan melebihi

hak seseorang ini berkonotasi mengurangi hak orang lain dan

kezaliman terhadapnya.(3)

p:113


1- 242 Ibid., hlm. 252.
2- 243 Muhammad bin M.N. Thusi: Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 368.
3- 244 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 147.

Pertanyaan yang muncul adalah siapakah yang berhak

menentukan sebuah undang-undang? Jawabannya adalah tak

seorang pun layak menentukan undang-undang apabila ia

tidak memiliki keutamaan sedikit pun, baik dari sisi rasional

maupun ilmu pengetahuan. Alasannya, apabila ia menduduki

posisi yang lebih tinggi dibandingkan anggota masyarakat

yang lain; sedangkan ia tidak memiliki keistimewaan yang

lebih mengungguli orang lain, maka hal ini juga akan menyulut

pertikaian dan perpecahan. Oleh karena itu, dalam menyusun

dan menentukan undang-undang, diperlukan seseorang yang

memiliki kelebihan ilham Ilahi atas orang lain sehingga mereka

menaatinya. Dalam terminologi kami, penentu undangundang

ini disebut “pemilik undang-undang” (shâhib nâmûs)

dan ketentuan yang telah ia tetapkan dinamakan “ undangundang

Ilahi” (namus Ilahi). Menurut terminologi para ulama

masa kini, penentu udang-undang disebut “penentu syariat”

(syâri‘) dan ketentuan yang telah ia tetapkan dinamakan

“syariat. Ketika menjelaskan kriteria penentu atau para

penentu undang-undang, Plato menulis, “Mereka memiliki

kemampuan-kemampuan yang agung dan lebih unggul.”

Aristoteles juga pernah berkomentar, “Mereka memperoleh

inayah dan anugerah Ilahi yang lebih banyak dibandingkan

orang lain.”(1)

Sebagai penutup, menyebutkan poin ini sangat urgen

sekali. Undang-undang, khususnya undang-undang dasar,

ditetapkan berlandaskan pada kebutuhan-kebutuhan hakiki

yang dimiliki oleh anggota sebuah masyarakat politis.

p:114


1- 245 Ibid., hlm. 253.

Kebutuhan-kebutuhan manusia adalah sesuatu yang bersifat

permanen. Oleh karena itu, undang-undang, khususnya

undang-undang dasar, juga harus bersifat konstan dan

permanen. Dengan demikian, kita tidak memerlukan penentu

syariat dan pembuat undang-undang atau undang-undang,

khususnya undang-undang dasar, baru pada setiap masa. Satu

syariat atau undang-undang dasar sudah mencukupi untuk

beberapa abad-abad lamanya.(1)

3.2. Penguasa dan Negara

Pilar kedua dan sebab efi sien (‘illah fâ‘iliyah) manajemen politik

adalah seorang penguasa.(2)

Meskipun kita tidak memerlukan seorang penentu

udang-undang dan undang-undang baru pada setiap masa,

akan tetapi sebuah masyarakat politis memerlukan seorang

penguasa dan pengatur pada setiap masa. Alasannya, apabila

aktivitas pengaturan terputus, niscaya keteraturan dan

keserasian urusan masyarakat akan sirna dan kelanggengan

spesies manusia dalam bentuk yang lebih sempurna tidak

akan pernah terwujud.(3) Oleh karena itu, diperlukan seorang

pengatur yang akan mengantarkan spesies manusia dari

kekurangan menuju kesempurnaan.(4)

p:115


1- 246 Ibid., hlm. 254.
2- 247 Masyarakat politis adalah ‘illah mâddiyyah “kausa material”. Tujuan dan kesempurnaan yang dicanangkan adalah ‘illah ghâiyyah “kausa final”. Struktur dan seluruh lembaga (lembaga ekonomi, lembaga politik, dan lembaga-lembaga yang lain) adalah ‘illah âliyyah “kausa intrumental”. Silakan merujuk M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 122-124.
3- 248 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 254.
4- 249 Muhammad bin M.N. Thusi: Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 369.

Atas dasar ini, sisi politik yang berhubungan erat dengan

hukum rasional, seperti manajemen urusan negara, senantiasa

memerlukan kehadiran seseorang pada setiap masa. Jika

orang ini tanpa unsur keunggulan dari sisi rasional dan ilmu

pengetahuan melakukan manajemen negara dan menduduki

posisi yang lebih tinggi dibandingkan orang lain, maka tindakan

ini akan menimbulkan pertikaian dan percekcokan. Karena

itu, guna menentukan sebuah undang-undang, diperlukan

seseorang yang melebihi orang lain karena sebuah restu Ilahi.

Dengan restu Ilahi ini, ia akan mudah mengantarkan anggota

sebuah masyarakat politis menuju kesempurnaan. Dalam

terminologi para ulama terdahulu, ia disebut “raja mutlak”

(malik ‘ala al-ithlâq) dan undang-undangnya dinamakan “titah

raja” (shanâ‘ah malik). Akan tetapi, dalam terminologi para

ulama masa kini, ia disebut “imam” dan tugasnya dinamakan

“imamah”. Plato menyebutnya dengan nama “pengatur

mayapada” (mudabbir ‘âlam). Sementara itu, Aristoteles

memberinya nama “ manusia madani”; yakni, manusia yang

menjadi pilar utama sebuah peradaban.(1)

Atas dasar ini, penguasa atau manajer politik adalah

seseorang yang berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang

undang-undang memelihara dan menegakkan undangundang

di sebuah masyarakat, serta mengajak seluruh anggota

masyarakat untuk melaksanakan seluruh hukum yang telah

ditetapkan berdasarkan undang-undang ini. Penguasa ini,

berdasarkan kemaslahatan masa dan kaum yang hidup di

sebuah masyarakat, berhak merubah partikular-partikular

p:116


1- 250 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 253.

undang-undang(1) Artinya, ia bisa menyimpulkan hukumhukum

parsial dan cabang dari sumber-sumber utama yang

terperinci sesuai dengan tuntutan setiap kondisi. Akan

tetapi, seperti pernah ditegaskan oleh Aristoteles dalam buku

Nicomachean Ethics, secara prinsip ia tetap harus mengikuti

ketentuan dan garis-garis besar syariat.(2)

Dari sisi yang lain, seperti pernah ditegaskan oleh Hakim

Pertama, Aristoteles, sangat sulit bagi seseorang untuk

melaksanakan tindakan-tindakan yang mulia tanpa ia memiliki

lahan yang membantu, seperti kesempatan yang terbuka lebar

dan para pendukung yang banyak nan setia.(3) Oleh karena

itu, guna menampakkan tindakan dan khidmat mulia ini,

diperlukan seni politik dan menyetir pemerintahan. Menyetir

pemerintahan pun hanya dapat terjadi apa bila telah terwujud

sebuah institusi bernama negara yang memiliki kekuatan

ekonomi, militer, politik, dan para pegawai yang setia. Dengan

demikian, seorang penguasa atau manajer politik memerlukan

institusi negara supaya bisa melaksanakan manajemen politik

sebuah masyarakat.

“Negara” terwujud dari kesepakatan opini mayoritas

anggota masyarakat yang memiliki semangat saling tolong

menolong dan bantu membantu bak anggota tubuh satu

orang. Mengapa demikian? Setiap individu memiliki kekuatan

yang sangat terbatas. Jelas, apabila individu-individu dalam

jumlah yang sangat banyak berkumpul menjadi satu, niscaya

kekuatan mereka bertambah beberapa kali lipat kekuatan yang

p:117


1- 251 Ibid., hlm. 254.
2- 252 Ibid., hlm. 134.
3- 253 Ibid., hlm. 85.

dimiliki oleh setiap individu. Oleh karena itu, jika anggota

masyarakat menyatu seperti satu tubuh, niscaya kekuatan

mereka akan bertambah beberapa kali lipat kekuatan satu

orang.(1) Kekuatan politik yang terorganisasi dan luas ini

dapat mewujudkan keteraturan dan keamanan di seluruh titik

negara atau masyarakat politik, memperkokoh sistem sosial

masyarakat, dan memimpin masyarakat politis melaju ke

depan. Mereka yang berkumpul menjadi satu guna membentuk

sebuah negara dengan semangat mempersatukan seluruh

usaha dan jerih payah, karena kesatuan tujuan dan tindakan

yang mereka miliki, mau tidak mau harus mematuhi perintah

dan keputusan satu orang. Mengapa demikian?

Jika dua orang memiliki kesamaan dalam sebuah keahlian

atau ilmu, maka mau tidak mau salah seorang dari mereka harus

menjadi pemimpin. Yakni, orang yang memiliki keahlian yang

lebih sempurna berhak menjadi pemimpin dan orang yang

lain menaati perintahnya. Dengan ini bisa dipahami bahwa

kesempurnaan dan urusan akhir seluruh anggota masyarakat

berada di tangan seseorang yang layak ditaati secara mutlak,

dan ia adalah panutan semua orang. Hal ini kadang-kadang

terjadi karena memang ia memiliki kelebihan atas orang lain

karena pengokohan Ilahi, dan kadang-kadang juga karena

kesepakatan anggota masyarakat demi sebuah kemaslahatan

umum.(2)

Orang ini; yaitu penguasa, dalam hirarki kepemimpinan

politik, sosial, dan militer, berada di atas puncak piramida

kekuasaan. Artinya, di samping hirarki kepemimpinan

p:118


1- 254 Ibid., hlm. 303.
2- 255 Ibid., hlm. 256.

politik dan militer yang berada di genggaman tangannya,

hirarki kepemimpinan sosial; seperti kepemimpinan keluarga,

perkampungan, dan kepemimpinan-kepemimpinan sosial

lain yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan negara, juga

berada dalam genggaman kekuasaan pemimpin negara atau

penguasa. Atas dasar ini, manajemen politik dijalankan oleh

seorang pemilik kekuasaan yang bernama pemimpin negara

atau oleh sebuah instansi yang bernama pemerintah dalam

sebuah masyarakat politis atau negara.

Dalam masyarakat yang berbeda-beda, pemimpin negara

dipilih melalui jalan yang beraneka ragam dan berdasarkan

tolok ukur yang berbeda. Sebagai contoh, dalam masyarakat

nonideal, khususnya “masyarakat orang-orang bebas”,

mungkin saja seseorang memegang tampuk kekuasaan

dengan cara menghadiahkan harta benda yang melimpah.

Akan tetapi, pada umumnya, apabila seseorang lebih mampu

untuk mengantarkan rakyat sebuah negara kepada tujuan

dan kesempurnaan mereka, atau paling tidak ia menunjukkan

dirinya lebih mampu daripara orang lain dalam menduduki

kepemimpinan ini, maka ia pasti menduduki posisi

kepemimpinan ini. Hanya saja, karena kedudukan dan posisi

adalah sebuah tanggung jawab yang akan dipertanyakan oleh

Allah,(1) kepemimpinan adalah sebuah tanggung jawab yang

harus diserahkan kepada orang salih dan layak yang memiliki

kesiapan penuh untuk melaksanakan tanggung jawab ini

dengan benar. Berbeda dengan keyakinan masyarakat

awam yang meyakini bahwa kepemimpinan sebuah negara

p:119


1- 256 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 382.

harus dikendalikan oleh orang yang memiliki jenis kelamin

dan keturunan yang terpandang, atau memiliki harta yang

melimpah ruah. Menurut perspektif orang-orang berakal,

hikmah dan keutamaan adalah syarat utama bagi orang yang

ingin menduduki posisi kepemimpinan ini. Alasannya, dua

kriteria ini akan melahirkan sebuah kepemimpinan yang hakiki

dan meletakkan setiap orang pada posisinya yang memang

semestinya ia berada di posisi ini.(1) Hanya pemimpin seperti

inilah yang akan dapat mengantarkan rakyatnya kepada

kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki.

3.3. Mata Uang dan Kekuatan Ekonomi

Mata uang adalah pemberi nilai yang sama untuk segala sesuatu

yang berbeda nilai. Manusia terpaksa harus menyimpan

makanan dan rezeki yang diperoleh. Sayangnya, sebagian

makanan tidak bisa bertahan lama untuk waktu yang panjang.

Oleh karena itu, ia harus mengumpulkan dan menyimpan

barang-barang keperluan lain dari setiap jenis barang yang

bisa ditemukan. Dengan cara ini, apabila sebagian barang

telah musnah, maka jenis barang lain yang tidak cepat rusak

akan tersisa.

Transaksi dengan berbagai jenis dan ragamnya adalah

sebuah kebutuhan urgen dalam sebuah masyarakat. Melihat

urgensi ini, keberadaan mata uang dalam kehidupan bersosial

adalah sebuah kebutuhan yang sangat urgen. Mata uang adalah

penengah dan evaluator dalam proses transaksi, khususnya

dalam transaksi-transaksi yang tidak memiliki keseragaman

p:120


1- 257 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 136.

nilai. Mata uang adalah penengah dan perantara yang tak

dapat berbicara antara anggota masyarakat.(1) Karena mata

uang berjumlah sedikit dan kadar mata uang yang sedikit dapat

menyamai barang yang lain dalam kadar yang banyak, maka

pemindahan makanan dan barang-barang yang diperlukan

dalam kehidupan sehari-hari dari satu rumah ke rumah lain

yang lebih jauh tambah berkurang. Mata uang menempati

posisi makanan dan barang-barang kebutuhan kehidupan,

serta dapat dipindahkan dengan mudah. Dengan demikian,

proses pemindahan makanan dan barang-barang ini menjadi

semakin mudah. Mata uang terbuat dari bahan yang kokoh

dan bentuk yang sempurna. Oleh karena itu, alat tukar ini bisa

bertahan langgeng. Sebagai akibatnya, faidah dan kentungan

yang dihasilkan pun bersifat konstan dan langgeng. Artinya,

faidah dan keuntungan ini senantiasa dapat diperoleh dan

dibeli oleh mata uang. Mata uang juga dapat diterima oleh

bangsa-bangsa lain. Dengan demikian, manfaat mata uang

bersifat komunal.(2)

Atas dasar ini, mata uang sebagai pemelihara keadilan

adalah sebuah evaluator global dan bentuk undang-undang

yang termini. Di samping faidah dan keuntungan khusus yang

dimiliki di kalangan anggota masyarakat luas, mata uang juga

merupakan bukti kemampuan fi nansial dan ketegaran seorang

penguasa dan sebuah negara. Oleh karena itu, penguasa dan

negara harus memiliki kekuatan ini.

p:121


1- 258 Ibid., hlm. 134.
2- 259 Ibid., hlm. 219.

4. Klasifikasi Politik

Point

Filosof Pertama, Aristoteles, membagi politik murni; yakni

politik tanpa atribut dan aksiden (lawâzim wa ‘awâridh)

eksternal maupun internal,(1) ke dalam empat klasifi kasi: (1)

politik kekuasaan, (2) politik dominasi, (3) politik kemuliaan

(harga diri), dan (4) politik jamaah.(2)

Kami juga akan memaparkan klasifi kasi politik pada

pembahasan ini sesuai dengan klasifi kasi di atas.

4.1. Politik Kekuasaan
Point

Politik kekuasaan (siyâsat al-mulk) adalah “kepemimpinan

untuk seluruh kepemimpinan” dan “politik untuk seluruh

politik.” Bentuk politik ini memberlakukan seluruh jenis

politik atas semua anggota khususnya. Dalam bentuk politik

ini, seluruh undang-undang yang bertalian dengan hubungan

bilateral antar seluruh anggota sebuah masyarakat politis

“ditetapkan” dan seluruh perintah rasional yang bertalian

erat dengan manajemen dan pengaturan sebuah negara

“dikeluarkan.” Oleh karena itu, kepemimpinan dan politik

semacam ini harus berada di tangan seorang penguasa yang

“memiliki ilham Ilahi dalam menetapkan undang-undang”

dan “diperkuat oleh pengokohan Ilahi dalam mengeluarkan

perintah.” Jelas, poin ini akan menjadikannya memiliki posisi

yang lebih dibandingkan yang lain.(3) Jika tidak demikian,

dan politik ini diserahkan kepada orang lain yang tidak

p:122


1- 260 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 128.
2- 261 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 252. Sebagai catatan, melihat pembahasan mendatang, klasifikasi kedua, ketiga, dan keempat adalah derivasi dari politik kerajaan—penerj.
3- 262 Ibid., hlm. 253.

memiliki keistimewaan tersebut, maka politik kekuasaan akan

menyeleweng dari tujuan dan maksud aslinya.

Berdasarkan kiprah material dan spiritual penguasa yang

sedang menduduki takhta pemerintahan, politik kekuasaan

dibagi ke dalam dua klasifi kasi: (a) politik defi sien (nâqishah),

dan (b) politik ideal ( fâdhilah).

a. Politik Defisien

Politik defisien adalah sebuah jenis politik kekuasaan yang

tidak disertai dengan pengetahuan yang cukup dan logis

tentang esensi obyek politik; yakni manusia. Secara otomatis,

dalam politik ini, kesempurnaan manusia juga dilupakan.

Artinya, politik ini memiliki tujuan lain selain hidayah dan

kesempurnaan manusia.

Berbeda dengan politik ideal (klasifi kasi kedua politik

kekuasaan) yang tidak memiliki bentuk lain selain satu bentuk,

politik defi ensi memiliki bentuk yang beraneka ragam. Dengan

kata lain, politik ini dapat memiliki bentuk sesuai dengan

faktor yang memunculkannya.(1)

Pada peringkat pertama, melihat keserasian atau

kontradiksi antara kehendak penguasa politis dan kehendak

rakyat, politik defi sien terbagi ke dalam dua bentuk:

Politik Defisien untuk Masyarakat Nonideal

Meskipun bentuk politik defi sien ini tidak memiliki tujuan

hidayah dan kesempurnaan manusia, akan tetapi penguasa

politis dan rakyat memiliki kehendak yang sama. Dalam politik

ini, orang yang bisa menjadi penguasa politis masyarakat

p:123


1- 263 Ibid., hlm. 252.

ini adalah orang yang paling unggul dan paling mampu

untuk mengantarkan seluruh rakyat kepada tujuan komunal

mereka.

Atas dasar ini, meskipun politik yang dipraktikkan oleh

penguasa politis adalah sebuah politik defi sien, akan tetapi

politik ini tidak bisa dianggap sebagai hegemoni atas rakyat.

Alasannya adalah jelas. Seluruh rakyat menghormati nilai-nilai

dan kemampuan yang dimiliki olehnya. Mereka menilai bahwa

pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan yang legal.

Dengan penjelasan ringkas di atas, dan juga melihat jumlah

masyarakat nonideal pada pembahasan sebelum ini, kita

dapat mengklasifi kasikan politik defi sien untuk masyarakat

nonideal ini, secara lebih parsial dan detail, ke dalam enam

bagian:(1)

a. Politik minimum; politik minimum adalah sebuah bentuk

politik yang bertujuan menjamin seluruh kebutuhan

utama (minimal dan mendasar) bagi kehidupan seorang

penguasa dan rakyatnya. Dengan menjalankan politik ini,

dalam rangka memelihara kesehatan dan keutuhan tubuh,

seorang penguasa akan menggunakan fasilitas negara,

berikut disertai manajemen, untuk memenuhi seluruh

kebutuhan urgen dan mendasar yang diperlukan oleh diri

dan rakyatnya. Bentuk politik ini dijalankan oleh seorang

penguasa yang orang paling utama di sebuah masyarakat

minimum adalah penduduk dan pemimpin masyarakat

ini sendiri.

p:124


1- 264 Politik-politik ini bisa juga bersifat gabungan. Akan tetapi, apabila dibagikan ke dalam satu jenis secara terpisah, hal ini akan lebih baik.

b. Politik minoritas; politik minoritas adalah sebuah bentuk

politik yang bertujuan mencapai harta kekayaan dan

sekaligus menyimpannya. Bentuk politik seperti ini hanya

memperoleh akseptabilitas dalam masyarakat minoritas

dan akan dapat bertahan lama. Akan tetapi, dalam bentukbentuk

masyarakat yang lain, karena tidak ada keserasian

antara keinginan penguasa dan rakyat, politik minoritas

tidak akan bertahan lama.(1)

c. Politik hina; politik hina adalah sebuah bentuk politik yang

bertujuan memiliki seluruh kelezatan inderawi, seperti

makan, minum, kenikmatan seksual, aneka ragam senda

gurau, dan permainan. Tujuan dari semua ini hanyalah

kelezatan belaka, bukan untuk menjaga kekuatan dan

kelanggengan tubuh. Atas dasar ini, seluruh tujuan politik

defi sien ini akan tercapai setelah seluruh kebutuhan utama

dan harta kekayaan terpenuhi.(2) Politik hina hanya dapat

dijalankan dalam masyarakat hina. Sementara itu, dalam

bentuk-bentuk masyarakat yang lain, politik ini sulit

diaplikasikan dan akan mengundang penentangan.

d. Politik mulia; politik mulia adalah sebuah bentuk politik

yang bertujuan mencapai kemuliaan-kemuliaan dalam

ranah lisan dan amal; ia berusaha keras untuk memperoleh

kemasyhuran, pujian, dan pujaan. Politik ini hanya akan

memperoleh akseptabilitas dalam masyarakat mulia.

Setiap kepala dari para penghuni masyarakat ini, sesuai

dengan kemampuan masing-masing, memiliki andil

p:125


1- 265 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 289.
2- 266 Ibid.

dalam mewujudkan seluruh tujuan itu.(1)

e. Politik dominasi [asing]; bentuk politik ini hanya dimiliki

oleh masyarakat dominasi. Dalam masyarakat ini, seluruh

penduduk saling berlomba-lomba untuk menumpahkan

darah, merebut harta rampasan perang, berkuasa atas

orang lain, dan memperbudak sesama manusia. Seluruh

penduduk masyarakat ini memiliki satu poin kesamaan;

yaitu cinta dominasi. Atas dasar ini, mereka saling bantu

membantu dan bahu membahu dalam rangka melakukan

hegemoni atas masyarakat dan negara lain. Penguasa

yang menjalankan politik dominasi, begitu juga seluruh

rakyatnya, tidak akan pernah berusaha untuk mengalahkan

sesama mereka. Hal ini karena mereka merasa perlu

kepada sesama mereka demi kelanggengan hidup

mereka sendiri dan untuk mengalahkan masyarakat dan

negara yang lain. Akan tetapi, jika ada sebagian anggota

masyarakat yang tidak memiliki rasa cinta dominasi dan

berusaha untuk melakukan perlawanan (oposisi politik),

maka penguasa pasti akan membungkam dan membasmi

mereka.

Atas dasar ini, dalam politik dominasi, tujuan seorang

penguasa politis, begitu juga rakyatnya, adalah hegemoni,

menguasai negara lain, membunuh, merampas hak orang

lain, dan mengeksploitasi rakyat lain.(2)

f. Politik orang-orang bebas; politik ini bertujuan mewujudkan

kebebasan bagi rakyat. Oleh karena itu, penguasa

membiarkan mereka bertindak bebas. Guna memelihara

p:126


1- 267 Ibid.; Muhammad bin M.N. Thusi: Asâs Al-Iqti bâs, hlm. 549.
2- 268 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 293-294.

kebebasan ini, penguasa melindungi mereka dari gangguan

musuh asing. Politik ini bertujuan menegakkan kebebasan

dan kehormatan. Seluruh rakyat memiliki kedudukan

yang sama untuk memperoleh hak dan posisi sosial.(1)

Di samping itu, mereka juga memiliki kebebasan mutlak.

Hegemoni

Dalam bentuk politik defi sien ini yang juga biasa disebut

dominasi ( taghallub), seorang penguasa menduduki kursi

kekuasaan dengan cara membinasakan dan menyingkirkan

orang-orang yang memiliki kelayakan untuk memegang

tampuk negara. Karena ia berhasil menduduki kursi kekuasaan

ini tanpa ia memiliki sedikit pun keutamaan dan hikmah; atau

dengan ungkapan yang lebih sederhana, tanpa ia memiliki

kelayakan sedikit pun, dan keinginannya dengan keinginan

rakyat tidak sejalan, maka ia terpaksa harus menggunakan caracara

kelaliman. Dengan cara ini, ia akan memenuhi masyarakat

dengan segala jenis kerusakan yang menyeluruh, seperti

rasa takut, kegoncangan, pertikaian, kezaliman, kerakusan,

kekerasan, ketidak-setiaan, pengkhiatan, pencemoohan,

penggunjingan, dan lain seba gainya. Dia sendiri adalah

hamba syahwat.(2)Jika tidak demikian, niscaya ia tidak akan

merampas kursi kekuasaan yang bukan haknya.

Hegemoni adalah politik seorang penguasa yang memiliki

jalan hidup memusuhi seluruh makhluk. Oleh karena itu,

dengan cara menjalankan politik hegemoni ini, ia berusaha

menjadi penguasa atas seluruh rakyat yang hidup dalam satu

p:127


1- 269 Ibid., hlm. 297; M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 135.
2- 270 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 301.

negeri, dan berikutnya, menebarkan cengkraman hegemoninya

atas seluruh penduduk dunia yang lain. Dalam bentuk politik

ini, penguasa yang memiliki tujuan untuk menjadi penguasa

tidak pernah rela orang lain memainkan peran mereka. Bahkan,

ia berusaha memperbudak orang-orang yang berada di bawah

kekuasaannya.(1)

Hegemoni bisa saja terwujud dalam masyarakat ideal(2)

dan masyarakat nonideal, apabila seorang penguasa yang

tidak sesuai dengan masyarakat ini berhasil berkuasa, dan

tujuan dari semua itu adalah memperbudak rakyat. Akibat

logisnya, kesengsaraan dan cercaan terwujud. Atas dasar

ini, meskipun serupa dengan politik dan manajemen politik,

akan tetapi pada hakikatnya hegemoni ini adalah lawan

politik. Alasannya, pertama, secara substansial, merebut kursi

kekuasan tanpa kelayakan dan menyingkirkan orang yang

salih tersingkir atau menjadi penyebab ia tersingkir adalah

sebuah tindakan yang buruk. Kedua, orang-orang yang rusak

akan ditampakkan sebagai orang-orang yang baik.(3)Ketiga,

masyarakat akan dipenuhi oleh kerusakan dan akan mencegah

manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Hegemoni dan

anarki adalah dua penyakit masyarakat yang hanya dapat

disembuhkan oleh pemerintahan yang dipimpin oleh orang

salih.(4)

p:128


1- 271 Muhammad bin M.N. Thusi: Asâs Al-Iqti bâs, hlm. 548.
2- 272 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 299-300; M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 184-188.
3- 273 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 303.
4- 274 Ibid., hlm. 302-303.
b. Politik Ideal (Utama dan Transendental)

Bentuk politik kekuasaan ini juga biasa disebut politik orangorang

agung dan politik Ilahi. Dalam bentuk politik ini,

pemimpin atau penguasa politis, dengan cara penyucian jiwa,

telah berhasil menguasai syahwat dan amarah, serta meletakkan

kekuatan syahwat dan amarahnya dalam kontrol akal. Dengan

cara menggapai keutamaan dan menghindari segala kehinaan,

ia berhasil menyeimbangkan jiwanya dan berhasil mencapai

kesempurnaan teoretis dan praktis yang mungkin diraih oleh

jiwa setiap orang. Setelah berhasil menyeimbangkan jiwa,

dalam perjalanan menuju kesempurnaan, ia bergerak sembari

menyeimbangkan para makhluk sesamanya dan bahkan

alam natural di sekitarnya. Hal ini terus berlanjut sehingga

keadilannya menjadi sempurna dan berhasil mencapai

peringkat kesempurnaan dan kebahagiaan yang tertinggi.(1)

Atas dasar ini, penguasa semacam ini menganggap rakyat

sebagai sahabatnya sendiri. Ia akan berusaha menuntun mereka

untuk berjalan meniti jalan menuju kesempurnaan teoretis dan

praktis(2) sehingga, berdasarkan kemampuan dan keinginan

masing-masing, mereka akan sampai kepada kesempurnaan

dan kebahagiaan puncak jiwa.

Penguasa politis yang menjalankan politik ideal, guna

mencapai tujuan negara, akan menebarkan kebaikan yang

menyeluruh di tengah-tengah masyarakat, seperti keamanan,

ketenangan, kasih sayang, keadilan, kesucian, kebahagiaan,

kesetiaan, dan lain sebagainya. Jelas, semua ini dinilai sebagai

p:129


1- 275 Ibid., hlm. 148.
2- 276 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 184-129; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 301.

kebaikan di seluruh masyarakat dunia.(1) Apabila seluruh

kebaikan ini tersebar merata, maka kebahagiaan hakiki telah

berada beberapa langkah di hadapan rakyat.

Dengan ini, politik ideal adalah pengaturan kehidupan

sosial umat manusia dengan berlandaskan pada hikmah yang,

secara otomatis, akan mendatangkan kesempurnaan bagi

spesies dan individu manusia.(2) Tujuan politik ini adalah

mengantarkan seluruh umat manusia kepada kesempurnaan.

Hasilnya, baik bagi penguasa politis maupun rakyatnya,

adalah kebahagiaan.(3)

4.2. Politik Dominasi

Bentuk politik dominasi (siyâsat al-ghalabah) itu sendiri adalah

bagian dari bentuk politik kekuasaan. Bentuk politik ini

mengelola urusan orang-orang yang hina. Karena berhubungan

erat dengan urusan orang-orang yang hina dan rendah, politik

ini ini juga disebut dengan “politik kehinaan” (siyâsat alkhasâsah).

(4)

Politik dominasi banyak bersinggungan dengan klasifi kasi

keempat dan kelimat tabiat manusia. Mereka memiliki tabiat

buruk dan tidak pernah mau menaati undang-undang, tata

krama, dan tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat

umum. Jika mereka dibiarkan bebas dan tidak dihukum, maka

mereka akan menjadi sumber kekacau-balauan.

Politik dominasi meliputi identifi kasi dan pengontrolan

terhadap seluruh tindak-tanduk rakyat. Politik ini juga

p:130


1- 277 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 301.
2- 278 Ibid., hlm. 252.
3- 279 Ibid., hlm. 300-301.
4- 280 Ibid., hlm. 252.

berusaha memperbaiki dan menghilangkan segala bentuk

keburukan dan kerusakan. Semua ini memiliki gradasi khusus

berikut ini:(1)

a. Toleransi; ketika kejahatan rakyat yang jahat belum

aktual dan juga belum menyeluruh, serta masih ada

harapan mereka bisa diperbaiki, maka penguasa, dengan

melakukan toleransi, bisa mengajak mereka untuk menaati

undang-undang dan memperbaiki perilaku.

b. Penghinaan; penghinaan adalah salah satu peringkat yang

di-lakukan oleh politik dominasi. Sembari memperhatikan

akibat yang akan muncul, penghinaan bisa dilakukan

untuk setiap peringkat.

c. Peringatan; peringatan akan akibat sebuah perbuatan

adalah sebuah cara yang lebih keras dibandingkan

penghinaan. Peringatan adalah salah satu peringkat lain

yang bisa dilakukan dalam politik dominasi.

d. Hukuman; hukuman meliputi hukuman badan, denda, dan

limitasi-limitasi politik, sosial, dan ekonomi.

e. Penjara; penjara adalah melarang tawanan untuk berinteraksi

dengan anggota masyarakat dan meletakkannya dalam sel

jeruji.

f. Perantaian; perantaian adalah melarang seseorang untuk

mempergunakan daya tubuh. Hal ini biasanya disertai

dengan mengikat tangan dan kaki dengan rantai.

g. Pembuangan; pembuangan adalah melarang seseorang

untuk memasuki kota atau negara tertentu (seperti

pembuangan ke negara asing), atau melarang seseorang

untuk keluar dari kawasan tertentu.

p:131


1- 281 Ibid., hlm. 306-307

h. Pemotongan anggota badan; pemotongan sebuah anggota

tubuh atau salah satu indera yang digunakan untuk

mengerjakan sebuah kejahatan bisa dilakukan dalam

beberapa peringkat politik dominasi.

i. Pembunuhan; pembunuhan dilakukan terhadap anggota

masyarakat jahat yang tidak ada harapan untuk bisa

diperbaiki lagi. Di samping itu, kejahatan mereka

sudah aktual dan menyeluruh. Apabila mereka masih

hidup, mereka akan lebih parah mengancam keutuhan

masyarakat. Pembunuhan adalah peringkat terakhir dan

paling sensitif yang dilakukan oleh politik dominasi.

4.3. Politik Kemuliaan dan Harga Diri

Politik kemuliaan (siyâsat al-karâmah wa al-i‘tibâr) adalah juga

bagian dari politik kekuasaan. Politik ini mengelola urusan

sekelompok golongan yang sangat dikenal dengan golongan

yang senantiasa mengakumulasi kemuliaan.(1)

Orang-orang mulia termasuk dalam golongan pertama

dan kedua dari klasifi kasi tabiat manusia. Karena mereka

secara tabiat adalah orang-orang baik, mereka memerlukan

sebuah politik khusus yang berlawanan arah dengan politik

dominasi. Artinya, setelah rakyat yang layak untuk bentuk

politik ini dikenal, mereka bukan hanya tidak membutuhkan

pengontrolan. Akan tetapi, sebaliknya, seluruh kebutuhan

hidup mereka harus dipenuhi dan mereka diperlakukan dengan

penuh penghormatan. Kedudukan dan posisi yang layak harus

diberikan kepada mereka yang secara tabiat adalah orang-

p:132


1- 282 Ibid., hlm. 251.

orang yang baik; yakni golongan pertama, sehingga mereka

ikut berperan aktif dalam menjalankan politik kekuasaan.(1)

4.4. Politik Jamaah

Politik jamaah atau kolektif (siyâsat al-jamâ‘ah) adalah

pengaturan urusan aneka ragam aliran yang berkembang

dalam masyarakat sesuai dengan undang-undang yang

telah ditetapkan oleh syariat.(2)Tujuan politik ini adalah

mewujudkan lahan untuk perealisasian aneka ragam motivasi

dan ambisi yang dimiliki oleh anggota masyarakat.(3) Politik

ini berhubungan dengan sisi duniawi kehidupan umat

manusia demi kelanggengan dan kontinuitas semangat

saling tolong menolong dan kehidupan sosial dalam ranah

sebuah masyarakat sosial, seperti perjanjian, transaksi, dan

manajemen urusan negara. Politik kekuasaan adalah badan

yang menjalankan semua ini.

Politik jamaah meliputi seluruh lapisan anggota

masyarakat. Klasifi kasi ketiga tabiat manusia, berbeda dengan

klasifi kasi-klasifi kasi yang lain, bertalian dengan bentuk

politik ini. Politik dominasi dan kemuliaan tidak cocok dengan

kondisi mereka.

p:133


1- 283 Ibid., hlm. 306.
2- 284 Ibid., hlm. 253.
3- 285 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 134.
4.5. Hubungan Politik Kekuasaan dengan Model Politik yang Lain
a. Politik Kekuasaan dan Politik Jamaah

Politik memiliki dua sisi: satu sisi politik berhubungan dengan

penetapan undang-undang, seperti perjanjian dan transaksi.

Sisi ini menentukan batasan-batasan interaksi antaranggota

masyarakat. Dan sisi politik yang lain berhubungan dengan

titah-titah rasional, seperti manajemen negara dan mengatur

urusan sosial masyarakat.

Tak seorang pun berhak mengemban salah satu sisi politik

ini, apabila ia tidak memiliki kelebihan akal dan keutamaan

makrifat yang lebih dibandingkan dengan orang lain. Jika ia

berkuasa atas orang lain tanpa ia memiliki unsur keutamaan

sedikit pun, maka ia telah menyulut api pertikaian dan

percekcokan. Oleh karena itu, dalam mengatur urusan negara

dan masyarakat diperlukan seseorang yang memiliki kelebihan

atas orang lain karena pengokohan Ilahi sehingga mereka

menaati segala titah dan perintahnya ... Dalam menetapkan

undang-undang dan keputusan pun diperlukan seseorang

yang memiliki kelebihan atas orang lain karena pengokohan

Ilahi pula sehingga ia bisa mengantarkan anggota masyarakat

kepada kesempurnaan.(1)

Oleh karena itu, untuk kedua sisi politik ini diperlukan

seseorang yang mampu menetapkan undang-undang dan

mengatur urusan sosial masyarakat. Orang ini adalah “rantai

penghubung” kedua sisi politik itu, dan rasa memerlukan yang

disertai dengan penetapan undang-undang dan manajemen

urusan sosial masyarakat itu adalah “kausa hubungan” antara

p:134


1- 286 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 253.

kedua politik di atas.

Dari sisi yang lain, substansi manusia dalam setiap ruang

dan waktu adalah satu. Realita ini mengindikasikan bahwa

seluruh kebutuhan utamanya secara universal tidak akan

pernah mengalami perubahan. Oleh karena itu, undang-undang

yang telah ditetapkan atau syariat bisa mencukupi seluruh

kebutuhan masyarakat yang eksis dalam periode-periode yang

beraneka ragam. Untuk setiap waktu dan masa, mereka tidak

memerlukan undang-undang atau pembuat undang-undang

yang baru. Mereka hanya memerlukan seorang pengatur

yang dengan melakukan perubahan parsial terhadap undangundang

sesuai dengan situasi dan kondisi masa—mengatur

urusan sosial dan menerapkan undang-undang yang telah

ditetapkan oleh syariat.(1) Pengatur ini disebut “raja” (malik)

atau “pemimpin politis” (mudîr siyâsî). Tindak menetapkan

undang-undang dan mengatur urusan sosial yang ia lakukan

dinamakan “politik kekuasaan” (siyâsat al-mulk).

Atas dasar penjelasan ini, politik jamaah, demi

kelanggengan dan aplikasinya, memerlukan politik kekuasaan.

Raja atau pemimpin politis, melalui perantara kekuatan

pemerintahan, mengaplikasikan politik jamaah dalam sebuah

masyarakat politis atau negara.

b. Politik Kekuasaan, Politik Kemuliaan dan Politik dominasi

Anggota sebuah masyarakat, seperti telah kami paparkan pada

pembahasan yang lalu, dibagi dalam lima klasifi kasi:

p:135


1- 287 Ibid., hlm. 254.

Mereka yang secara tabiat adalah orang baik dan kebaikan

mereka juga sampai kepada orang lain.

Mereka yang secara tabiat adalah orang baik, akan tetapi

kebaikan mereka tidak sampai kepada orang lain.

Mereka yang secara tabiat tidak baik dan tidak juga jahat.

Golongan ini adalah golongan mayoritas yang hidup di

sebuah masyarakat.

Mereka yang secara tabiat adalah orang jahat, akan tetapi

kejahatan mereka tidak sampai kepada orang lain.

Mereka yang secara tabiat adalah orang jahat dan kejahatan

mereka juga sampai kepada orang lain.

Politik jamaah berhubungan dengan seluruh rakyat

yang hidup di sebuah negara dan meletakkan batasanbatasan

bagi hubungan bilateral antar mereka. Dalam hal ini,

terdapat sebuah golongan yang bukan hanya meniti seluruh

garis yang telah ditetapkan oleh undang-undang syariat dan

mengikuti jalan politik jamaah. Bahkan, mereka lebih melesat

maju dibandingkan orang lain dan berusaha menggapai

kesempurnaan dan keutamaan yang lebih banyak. Golongan

yang terdiri dari klasifi kasi pertama dan kedua ini, karena

kriteria tersebut, lebih pantas menerima sebuah bentuk politik

selain politik jamaah. Oleh karena itu, dengan menjalankan

politik kemuliaan berkenaan dengan golongan ini; yakni

mengagungkan dan membiarkan mereka melakukan tindakan

yang mereka inginkan, mereka sendiri akan bergerak di atas

jalan kesempurnaan dan merubahnya dari potensial menjadi

aktual.

p:136

Berkenaan dengan golongan klasifi kasi pertama yang

kebaikan mereka juga sampai kepada orang lain, mereka

secara substansial memiliki kelayakan untuk memegang

tampuk manajemen politik sebuah masyarakat. Alasannya,

mereka sendiri telah sampai kepada keutamaan-keutamaan

jiwa dan berusaha untuk merealisasikannya di tengah-tengah

anggota masyarakat. Atas dasar ini, mereka tidak hanya harus

dimuliakan dan dibebaskan dalam tindakan-tindakan mereka.

Bahkan, mereka harus dinobatkan sebagai penguasa atau

difungsikan sebagai penasihat penguasa dan pemimpin politik

di sebuah masyarakat.

Segolongan masyarakat enggan mengikuti undangundang

dan memiliki tabiat yang jahat dan buruk. Golongan

masyarakat yang terdiri dari klasifi kasi keempat dan kelimat

tabiat manusia ini memerlukan politik dominasi, di samping

politik jamaah.

Dengan demikian, politik kekuasaan, di samping melakukan

kebijakan-kebijakan khusus yang harus dilakukan; yaitu

kebijakan luar negeri, kebijakan defensif, kebijakan ekonomi,

dan lain sebagainya, juga berfungsi sebagai pengaplikasi politik

jamaah, politik kemuliaan, dan politik dominasi. Atas dasar

ini, politik kekuasaan adalah “politik untuk seluruh politik”

dan urusan sangat agung yang harus dipegang oleh seseorang

yang capable. Alasannya, jika manajemen politik dipegang oleh

orang yang tidak cakap (incapabel), niscaya kezaliman dan

kekacauan akan mendominasi.(1)

p:137


1- 288 Ibid.
5. Syarat dan Kriteria Pemimpin Politik

Mungkin banyak anggota sebuah masyarakat yang telah

sampai kepada peringkat mengantarkan orang lain kepada

kesempurnaan, setelah mereka sendiri berhasil menyucikan

jiwa dan menyempurnakan kemampuan teoretis dan praktis

mereka. Akan tetapi, di antara mereka terdapat seseorang

yang memiliki kelebihan dan keutamaan khusus dibandingkan

yang lain. Ia mampu mengobati negara ketika sakit dan

juga mampu menjaga kesehatan negara ketika sehat. Orang

semacam ini berhak memegang tampuk negara dalam rangka

mengantarkan orang lain kepada peringkat kesempurnaan.

Ia, pada hakikatnya, berhak memimpin sebuah masyarakat,

meskipun ia tidak memiliki kekuatan militer maupun

pendukung, dan tak seorang pun, secara lahiriah, memberikan

perhatian kepadanya. Jika pemegang tampuk kekuasaan

adalah orang selain dia, maka kelaliman dan kekacauan akan

tersebar di seluruh penjuru.(1)

Jika pemimpin hakiki sebuah masyarakat memegang

tampuk manajemen politik, maka ia akan menjalankan

“politik ideal” dengan cara berpegang teguh kepada konsep

keadilan dan bertujuan mengantarkan umat manusia kepada

kesempurnaan. Buah manis kepemimpinan ini adalah

masyarakat dan seluruh anggotanya akan sampai kepada

kebahagiaan sejati. Pemimpin sejati yang ingin memegang

tampuk kekuasaan sebuah masyarakat harus memiliki tujuh

kriteria berikut dengan usaha dan jerih payahnya yang tak

kenal lelah:

p:138


1- 289 Ibid., hlm. 254-302.

1. Garis keturunan (nasab); ayah dan nenek moyang seorang

pemimpin haruslah pribadi dan fi gur yang terhormat.

Mereka harus berasal dari keturunan orang-orang besar(1)

dan memiliki posisi sosial yang agung. Garis keturunan

adalah sebuah kriteria penting yang memiliki pengaruh

dan efek yang sangat besar. Mengapa demikian? Garis

keturunan yang agung dapat menarik hati khalayak

terhadap pemimpin dan menciptakan sebuah daya tarik

kharismatik di mata mereka. Realita ini akan mempermudah

tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

seorang pemimpin. Meskipun demikian, karena garis

keturunan (nasab) bukanlah sesuatu yang dapat dicari

dan diperoleh, maka kriteria ini bukanlah sebuah kriteria

yang sangat urgen.(2)Kriteria-kriteria lain malah memiliki

urgensi yang lebih pokok dibandingkan kriteria ini.

Atas dasar ini, garis keturunan dengan sendirinya

bukanlah sesuatu yang penting. Yang penting adalah

barangsiapa berhasil mengumpulkan kemuliaan garis

keturunan dengan kemuliaan jiwa, maka ia berhak

diutamakan atas orang lain, baik dalam tinjauan tolok ukur

kebenaran maupun dalam barometer argumentasi.(3)

2. Kemauan yang tinggi; kemauan yang tinggi adalah sebuah

keutamaan yang termasuk cabang keberanian. Keutamaan

ini akan terwujud setelah kekuatan amarah diseimbangkan

dan syahwat dikalahkan. Kemauan yang tinggi adalah

jiwa dalam rangka mencari kebaikan dan keindahan tidak

p:139


1- 290 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 228.
2- 291 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 301-302.
3- 292 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 388.

tertipu oleh kebahagiaan dan kesengsaraan duniawi, serta

tidak merasa sedih dan bahagia karena semua itu. Kondisi

ini harus berlanjut sedemikian rupa sehingga ia tidak

merasa takut sedikit pun terhadap kematian.(1)

Mengapa kriteria ini sangat diperlukan oleh seorang

pemimpin? Alasannya, jika seseorang telah memulai

melakukan sebuah pekerjaan, maka ia harus bertujuan

mencari keutamaan dan kesempurnaan dari pekerjaan

itu. Ia tidak boleh mencukupkan diri dengan peringkat

paling rendah dan rela dengan hal-hal yang remeh tak

berarti.294(2)engan tujuan untuk mengantarkan rakyatnya

kepada kesempurnaan tidak boleh hanya mencukupkan

diri dengan kesempurnaan dan kebahagiaan duniawi

belaka untuk diri dan rakyatnya. Sebaliknya, guna

mewujudkan seluruh tujuannya, tanpa basa-basi ia harus

mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan yang tertinggi

dan terbanyak bagi mereka, baik kebahagiaan badani dan

madani maupun kebahagiaan jiwa dan ukhrawi.

3. Pandangan yang tajam; maksud pandangan yang jitu adalah

kebenaran dalam menentukan keputusan dan mengambil

kebijakan disertai dengan konstansi dan kekokohan

dalam keputusan dan kebijakan itu. Semua ini tidak akan

terwujud kecuali apabila disertai dengan beberapa kriteria

berikut ini:(3)

p:140


1- 293 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 113.
2- 294 Ibid., hlm. 212.
3- 295 Ibid., hlm. 301.

a. Kecermatan dalam menilai; kejelian dalam menilai guna

memperoleh pengenalan yang cukup tentang masalah

yang sedang dihadapi dengan disertai konsentrasi

penuh terhadap seluruh sisi, fungsi, bahaya, dan

efek-efeknya sangatlah penting. Kejelian ini memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap kejituan

pandangan seseorang, khususnya pada pemimpin

politik.

b. Penelitian yang memadai; maksud penelitian di sini adalah

meneliti untuk mengenal masalah dan mengetahui

segala informasi dan fenomena yang berhubungan

dengannya. Penelitian ini dapat dilakukan melalui

banyak cara dan jalan, seperti musyawarah, dialog,

menelaah, dan lain sebagainya. Penelitian semacam

ini menyebabkan seluruh pandangan tentang sebuah

masalah terpaparkan. Selanjutnya, masalah asli dan

tidak asli, aksiden yang bersifat substansial dan non

substansial, kausa dan faktor yang berpengaruh dan

yang menerima pengaruh, serta seluruh pandangan

yang setuju dan menentang tentang masalah ini

dipaparkan dengan baik. Dengan demikian, pengambil

keputusan memiliki informasi dan pengetahuan yang

cukup, serta kejelian dan kekokohan rasional yang

lebih mumpuni.(1)

c. Pikiran yang lurus; pikiran yang benar dapat mencegah

kerancauan dalam menilai, membahas, dan meneliti.

Lebih dari itu, pikiran yang benar dapat menjadi faktor

p:141


1- 296 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 229.

bagi seorang pemimpin supaya dapat mengambil

keputusan-keputusan yang sesuai dan benar. Tak satu

pun pekerjaan di dunia ini dapat dilakukan dengan

kokoh tanpa berpikir yang sehat (ta‘aqqul).(1)

d. Pengalaman yang positif dan konstruktif; pada dasarnya,

pengalaman yang positif dan konstruktif adalah

pengalaman praktis yang telah membuahkan hasil dan

penuh pelajaran dalam bidang pekerjaan dan tanggung

jawab. Jelas, pengalaman ini dapat membantu seorang

pemimpin politik dalam menentukan dan mengambil

keputusan.

e. Pelajaran dari masa lalu; meskipun masa sangatlah

panjang, sebenarnya masa itu sangatlah pendek. Masa

lalu dapat memberikan nilai kepada masa depan, dan

orang yang sudah meninggal dunia dapat memberikan

nasihat kepada orang yang masih hidup.(2) Oleh

karena itu, keruntuhan setiap kaum dan negara dapat

berpengaruh terhadap kultur dan undang-undang

yang berlaku pada suatu masa.(3)

Menilik hal ini, seorang pemimpin politis harus

mengenal sejarah dan seluruh tindakan yang pernah

dilakukan oleh orang-orang terdahulu, khususnya

sejarah negara-negara dan para pemimpin politis.

Lantas, ia menelaah faktor-faktor keberhasilan dan

kegagalan mereka, serta metode mengambil keputusan

p:142


1- 297 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 60.
2- 298 Ibid., hlm. 421.
3- 299 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 28.

dan cara melaksanakannya. Dengan ini diharapkan ia

akan memperoleh pandang jitu yang sesuai.

4. Tekad yang membaja; kemauan yang membaja dikenal juga

dengan nama kemauan orang jantan atau kemauan raja

diraja. Maksudnya adalah kemauan yang benar, konstan,

kuat, dan kokoh. Kriteria ini dihasilkan dari kombinasi

antara perspektif yang benar dan konstansi yang sempurna.

Urgensi kemauan yang membaja ini dapat dilihat dari

realita bahwa usaha meraih keutamaan dan menghindari

setiap kehinaan tidak akan terwujud tanpa kemauan ini.

Oleh karena itu, kriteria ini sendiri adalah pintu gerbang

untuk meraih seluruh jenis kebaikan. Para pemimpin

masyarakat menginginkan kebaikan yang sangat agung

bagi diri dan rakyatnya. Oleh karena itu, mereka lebih

memerlukan kriteria ini dibandingkan orang lain.(1)

5. Ketabahan (kesabaran dalam menghadapi kesulitan); kesabaran

adalah jiwa bertahan di hadapan ajakan hawa nafsu dan

enggan mengerjakan segala jenis kenikmatan yang dinilai

buruk karena mengikuti kelezatan belaka. Ketabahan

termasuk jenis keutamaan yang berada di bawah kategori

kesucian diri (‘iffah).(2)

Ketabahan adalah kesabaran memikul segala jenis

problematika dan kesulitan, serta senantiasa berusaha

keras untuk mewujudkan seluruh tujuannya, tanpa

menyerah dan pesimis karena kebodohan, ketidaksetiaan,

celaan, dan cemoohan rakyat. Urgensi kriteria ini bagi

seorang pemimpin politis dapat dilihat dari realita

p:143


1- 300 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 301.
2- 301 Ibid., hlm. 114.

bahwa barangsiapa dapat menahan dirinya menghadapi

kebodohan rakyat melalui jalan kesabaran, maka ia

memiliki kelayakan untuk memegang tampuk kekuasaan

politik mereka.(1)

6. Kekayaan ( fasilitas material); mengapa kekayaan adalah

sangat penting dan harus dimiliki oleh seseorang yang

ingin memegang tampuk kepemimpinan? Alasannya,

seorang pemimpin memiliki biaya hidup yang harus ia

tanggung untuk diri dan keluarganya. Biaya ini harus

dipisahkan dari aggaran dan harta negara. Jika biaya

ini dipisahkan, maka rakyat tidak akan pernah berpikir

bahwa ia telah berkhianat kepada harta negara dan Baitul

Mal. Lebih dari itu, ia sendiri tidak akan pernah berpikir

untuk mencuri harta Baitul Mal dan harta rakyat. Atas

dasar ini, kesempurnaan para pemimpin adalah mereka

merasa tidak memerlukan lagi kepada rakyat.(2)

Menilik penjelasan di atas, memiliki harta kekayaan

bagi seorang pemimpin politik masyarakat adalah suatu

hal yang sangat urgen. Pencari tampuk kekuasaan harus

memiliki harta kekayaan melalui jalan-jalan yang sah. Jika

tidak, ia harus mulai bekerja untuk itu.

Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan,

income seorang pemimpin berasal dari empat sumber:

Pertama, harta warisan yang ditinggalkan oleh nenek

moyang. Kedua, seperlima harta rampasan perang. Ketiga,

hasil jerih payah sendiri. Keempat, anugerah Ilahi yang

sampai kepadanya atau melalui jalan khusus yang lain. Ia

p:144


1- 302 Ibid., hlm. 302; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 383.
2- 303 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 387.

menggunakan seluruh pendapatan ini dalam empat hal:

(a) biaya untuk diri dan keluarganya; (b) upah dan hadiah

untuk orang-orang yang berkhidmat kepadanya; (c)

membangun tata rias dan hiasan-hiasan yang gemerlap;

dan (d) membangun bangunan-bangunan yang tidak

diperlukan dan hanya didasari oleh keinginan hatinya.(1)

Meskipun demikian, kita semestinya lebih

memfokuskan perhatian kepada alasan-alasan mengapa

harta sangat urgen. Kita harus camkan bahwa memiliki dan

mengumpulkan harta bukanlah tujuan utama, karena harta

tidak dapat mengantarkan kita kepada keutamaan.(2)

7. Pengikut yang bersih; memiliki para pengikut yang

bersih dan salih sangatlah penting bagi seseorang yang

ingin memegang tampuk kekuasaan. Mengapa? Raja

yang dipilih oleh khalayak ramai adalah lebih layak

memimpin dibandingkan dengan raja yang dipilih oleh

harta melimpah. Setiap Dirham dapat menempati posisi

Dirham yang lain. Akan tetapi, setiap orang tidak dapat

menduduki posisi orang yang lain.(3) Para pengikut bersih

ini memiliki banyak kriteria. Antara lain adalah akal yang

sehat, ketakwaan, nasihat, menyimpan rahasia, mengenal

tugas dengan baik, rela berkorban, dan selalu taat.(4)

Seperti telah kami singgung, di antara seluruh kriteria

di atas, nasab keturunan adalah kriteria yang tidak urgen;

karena kemuliaan berada dalam ilmu dan tata krama,

p:145


1- 304 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 30.
2- 305 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 278.
3- 306 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 390.
4- 307 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 314-317.

bukan dalam garis keturunan (nasab). Di samping itu,

kekayaan dan para pengikut yang salih juga secara

otomatis dapat diperoleh apabila kita telah memiliki empat

kriteria; yakni kemauan yang tinggi, pandangan yang jitu,

kemauan yang membaja, dan kesabaran.(1)

p:146


1- 308 Ibid., hlm. 302.

Bab 4

Mekanisme Manajemen Politik

Point

Setelah kita mengenal asas dan dasar manajemen politik

pada bab kedua dan bab ketiga, pada bab ini kita akan

menelaah mekanisme dan tata cara aplikasi manajemen politik

dalam tiga judul utama: berpikir (tadabbur), mengatur dan

merancang strategi (tadbîr), dan manajemen (idârah). Kita juga

akan mengenal perspektif Khajeh Nashiruddin Thusi berkaitan

dengan masalah ini.

1. Berpikir (Perancangan Kebijakan Politik)

Point

Setelah negara sebagai sebuah masyarakat politis terbentuk,

negara ini termasuk sebagai maujud tersusun (murakkab) yang

memiliki hukum, keistimewaan, dan bentuk khas bagi dirinya.

Negara ini juga harus bergerak untuk meraih kebaikan dan

kebahagiaan yang relevan bagi dirinya.(1)Tujuan ini tidak

akan terealisasi kecuali bila seseorang yang telah sampai

p:147


1- 309 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 280.

kepada kesempurnaan dan keutamaan jiwa, serta memenuhi

syarat-syarat untuk memimpin spesies manusia dalam ruang

lingkup negara dipilih untuk menjadi pemimpin masyarakat.

Atau ia mau tidak mau harus memegang tanggung jawab

ini dan mengatur seluruh urusan negara sehingga berhasil

mewujudkan kesempurnaan yang diinginkan oleh manusia

dan masyarakat.

Memimpin sebuah negara dan mengadakan perbaikan

terhadap seluruh urusannya memerlukan sebuah pengaturan

yang komprehensif dan konstan. Alasannya, manajemen

sebuah negara hanya dengan cara memperhatikan kondisi

sebagian golongan tanpa memperhatikan kondisi golongan

yang lain, atau dengan cara memperbaiki urusan mereka

untuk suatu masa, bukan untuk semua masa tidak ubahnya

dengan isapan jempol.(1) Atas dasar ini, pada langkah pertama,

seorang pemimpin politik harus berpikir dan merenungkan

terlebih dahulu tujuan, prinsip utama, dan metode manajemen

politiknya. Selanjutnya, setelah berhasil memastikan semua itu

dan meletakkannya pada urutan teratas dalam seluruh tindak

tanduk dan perilaku politisnya, ia harus mengorganisasi dan

memimpin masyarakat politik yang berada dalam genggaman

tangannya.

1.1. Tujuan

Tujuan akhir “politik negara” atau “ manajemen politik”

adalah mengaktualkan kesempurnaan insani yang masih

bersifat potensial.(2) Atas dasar ini, seluruh perantara yang

p:148


1- 310 Ibid., hlm. 93.
2- 311 Ibid., hlm. 253.

bermanfaat dan diperlukan guna menggapai tujuan akhir

ini tidak lain kecuali sebuah tujuan parsial. Dengan cara

merenungkan seluruh perantara yang diperlukan ini, seorang

pemimpin politis harus menentukan seluruh tujuan parsial

yang dibutuhkan dan memastikan prioritas masing-masing

tujuan sesuai dengan urgensinya.

Lebih dari itu semua, usaha menggapai kesempurnaan

tanpa kelanggengan kepemimpinan adalah sesuatu yang

mustahil. Karena itu, pemimpin politis harus menjaga pilarpilar

utama dan sistem negara sebagai tujuan pertama dan

fundamentalnya. Di samping itu, memimpin dan memperbaiki

seluruh urusan negara memerlukan sebuah pengaturan yang

bersifat kontinyu. Dengan demikian, seorang pemimpin

politis, bak seorang pemimpin yang konstan dan kokoh

melangkah, memanajemen seluruh urusan, memperbaiki

segala kekurangan, dan menyempurnakan seluruh program

politiknya secara bijaksana.

Atas dasar ini, pada langkah pertama dan sebagai sebuah

tujuan instrumental, pemimpin politik harus memelihara

pemerintahan dalam ruang lingkup sistem negara. Dengan

cara memiliki tali kekang negara sebagai sebuah kekuatan

yang memegang tongkat estafet kemenangan dan badan

institusi kuat ini; sebuah badan institusi yang memiliki tugas

fundamental untuk mengatur segala urusan dan menyerahkan

pengambilan segala kebijakan kepada lembaga pemerintah.(1)

Dengan cara ini, ia akan tetap berada di atas piramida kekuasaan

dan manajemen negara. Jika tidak dengan cara demikian,

pemerintah akan jatuh ke tangan oknum-oknum yang tidak

p:149


1- 312 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 245.

kapabel dan politik kekuasaan akan berubah menjadi politik

dominasi atau hegemoni.(1)

Pada langkah kedua, pemimpin politik harus berusaha

sekuat tenaga guna meregulasi seluruh urusan masyarakat

sehingga negara tetap langgeng dan bergerak menuju

kesempurnaan dan kebahagiaan.

Setelah menentukan dua tujuan urgen tersebut di atas,

tibalah giliran tujuan asli dan akhir. Tujuan akhir ini adalah

membimbing masyarakat ke arah kesempurnaan yang

hakiki. Tugas ini berada di pundak seorang pemimpin politik

masyarakat.

1.2. Prinsip Utama

Jika kita memperhatikan cara kerja seorang dokter, kita

akan memahami bahwa ia menelaah kondisi keseimbangan

tubuh manusia. Apakah keseimbangan ini dimiliki oleh

seluruh anggota tubuh sehingga mendatangkan kesehatan

dan menjadi sumber seluruh aktivitas jasmani dalam bentuk

yang paling sempurna? Jika keseimbangan ini ada, maka ia

akan memeliharanya. Akan tetapi, apabila keseimbangan ini

tidak ada, maka ia akan berusaha untuk mengembalikannya.

Jika salah satu anggota tubuh mengalami sebuah penyakit,

maka untuk mengobati anggota tubuh ini, pertama kali ia

mementingkan kemaslahatan seluruh anggota tubuh yang lain

dan lalu memperhatikan kemaslahatan anggota tubuh yang

sedang sakit ini. Jika kemaslahatan seluruh anggota tubuh

yang lain menuntut supaya anggota tubuh yang sedang sakit

ini dipanaskan, maka dokter akan mengurungkan niatnya

p:150


1- 313 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 269.

mengobati anggota tubuh tersebut. Guna mencegah penularan

penyakit kepada anggota tubuh yang lain, ia akan memanaskan

anggota tubuh yang sakit atau malah harus memotongnya.(1)

Seperti dokter di atas, seorang pemimpin masyarakat sosial

harus memperhatikan kondisi seluruh rakyat yang berada

dalam kepemimpinannya dan seluruh bagian yang hidup

dalam masyarakat itu. Ia harus memperhatikan sedemikian

rupa sekiranya, pertama kali dan secara umum, sesuai dengan

kemaslahatan umum, dan pada kali kedua, secara khusus

sesuai dengan kemaslahatan setiap individu.(2) Oleh karena

itu, seorang pemimpin politik harus bertindak sesuai dengan

ketentuan berikut ini:

Prinsip umum dalam mengatur urusan masyarakat adalah,

pada urutan pertama, ia harus memperhatikan kemaslahatan

umum masyarakat dan memelihara atau membangun kembali

keseimbangan sosial yang telah mengukuhkan tatanan

masyarakat.

Pada urutan kedua, ia harus mengatur urusan setiap

individu yang menjadi anggota masyarakat.

Setiap anggota masyarakat memiliki tabiat dan kriteria

yang khusus, serta setiap gerak dan perilakunya bergerak untuk

sebuah tujuan tertentu. Oleh karena itu, seorang pemimpin

politik, pertama kali, harus memahami tabiat, kriteria, dan

perilaku setiap anggota masyarakat secara umum (golongan,

jenis kelamin, usia, dan lain sebagainya), serta keseimbangan

yang terwujud dari kombinasi antara perilaku-perilaku ini.

Dan kedua kali, ia harus memberikan keseimbangan kepada

p:151


1- 314 Ibid., hlm. 208-209.
2- 315 Ibid., hlm. 256.

setiap perilaku dan melapangkan jalan menuju kesempurnaan.

Jika muncul sebuah penyakit dan penyelewengan, maka ia

harus menghilangkannya.(1) Jika ia tahu bahwa penyelewengan

itu tidak bisa diperbaiki dan dapat membahayakan ketertiban

dan kemaslahatan masyarakat, maka ia harus memperlakukan

anggota masyarakat ini bak sebuah anggota tubuh yang

rusak dan, sesuai dengan gradasi yang ada, ia harus

menyingkirkannya dari kalangan masyarakat.

1.3. Metode

Sebagaimana pernah dipaparkan pada pembahasan

sebelumnya, dalam mengaplikasikan keahlian, kita harus

mengikuti alam natural. Mengapa? Kesempurnaan sebuah

keahlian tersembunyi di balik penyerupaan dirinya dengan

alam natural. Penyerupaan diri dengan alam natural dapat

dilakukan dengan cara berikut ini:

Untuk mendahulukan atau mengakhirkan faktor dan

kebutuhan yang diperlukan, segala sesuatu diletakkan pada

posisinya masing-masing. Sembari memperhatikan urutan dan

peringkat yang diperlukan, kita memandang kepada metode

yang berlaku di alam natural. Dengan cara ini, kesempurnaan

yang telah ditentukan oleh kekuatan Ilahi untuk alam natural

melalui jalan tatacipta (takwîn) terwujud melalui implementasi

keahlian seorang pemimpin dengan cara pikiran dan

perenungan.(2)

Atas dasar ini, dengan cara memperhatikan urutan

kekuatan dan kemampuan yang terwujud dalam diri manusia

p:152


1- 316 Ibid., hlm. 208-209.
2- 317 Ibid., hlm. 149-150.

dari sejak awal ia diciptakan, seorang pemimpin politik harus

mengimplementasikan urutan ini dalam rangka meregulasi

dan mengatur masyarakat.

Kita maklumi bersama, kekuatan pertama yang dimiliki

oleh seorang bayi adalah kekuatan untuk meminta makanan

dan usaha untuk memperolehnya. Setelah seorang bayi keluar

dari perut ibunya, ia akan mencari air susu tanpa perlu diajari

terlebih dahulu. Setelah memperoleh kekuatan khayal untuk

menghafal hal-hal yang serupa, ia akan mencari pengetahuan

yang contoh-contohnya dapat diadopsi dari indera, seperti

wajah ibu dan lain sebagainya. Setelah kekuatan amarah

terwujud, ia berusaha menghindari segala sesuatu yang

berbahaya dan berusaha bertahan melawan segala sesuatu

yang dapat menghalanginya untuk menggapai seluruh

kepentingannya. Setelah itu, seluruh kekuatan dan kemampuan

yang merupakan fondasi utama aktivitas seluruh instrumen

manusia ini terus bertambah berkembang. Pada akhirnya, efek

jiwa yang paling istimewa; yakni kekuatan akal, muncul dalam

diri manusia.(1)

Menilik penjelasan ini, pertama kali, seorang pemimpin

politik juga harus meregulasi dan menyeimbangkan kekuatan

syahwat rakyat, khususnya kebutuhan-kebutahan pokok,

seperti pangan, sandang, tempat tinggal, dan pasangan hidup.

Setelah itu, ia harus meregulasi seluruh kebutuhan yang muncul

karena kekuatan amarah rakyat, seperti keamanan, tuntutan

keadilan, sensasi, kepemimpinan, dan lainnya. Akhirnya, ia

harus mengembangkan fakultas akal melalui jalan pendidikan

teoretis dan praktis. Dengan ini, setiap anggota masyarakat

p:153


1- 318 Ibid., hlm. 150-151.

akan bisa sampai kesempurnaan hakiki yang sesuai dengan

kemampuan masing-masing.

2. Mengatur Strategi (Perencanaan Politik)

Point

Mengatur adalah sebuah tahapan setelah berpikir dan

merenungkan. Sembari memperhatikan situasi dan

kondisi waktu, ruang, dan fasilitas, proses mengatur lebih

mementingkan prioritas program dari sisi waktu. Supaya

seluruh tujuan seorang pemimpin politis terealisasi dengan

baik, prioritas program harus disusun secara berurutan seperti

berikut ini:

2.1. Memelihara Ketahanan Negara (Resistensi)
Point

Setiap negara dan pemimpin politik, baik yang berhasil maupun

yang tidak berhasil, pasti memiliki musuh yang jauh dan dekat.

Guna merebut kekuasaan, pihak musuh selalu berusaha untuk

merebut kontrol negara.(1) Atas dasar ini, supaya dapat menjaga

masyarakat berada di atas jalan kesempurnaan hakiki dan

mencegah segala bentuk penyelewengan, pemimpin politis,

pertama kali, harus memperkokoh asas-asas pemerintahannya

yang merupakan bentuk pemerintah yang sejati dan layak

untuk sebuah masyarakat. Dalam rangka menjaga keutuhan

negara ini, ia harus mengambil langkah-langkah praktis.

Secara umum, langkah-langkah praktis untuk menjaga

keutuhan sebuah negara adalah dua metode berikut ini:

p:154


1- 319 Ibid., hlm. 158.
a. Merapatkan Barisan Kawan
Point

Merapatkan barisan kawan berarti mempererat tali kesetiaan

dan rasa kesatuan di antara pihak kawan.(1) Cara ini adalah

sebuah langkah yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin

politis untuk mewujudkan persahabatan dan rasa kesatuan

antara pihak kawan dan pemerintah sehingga tali hubungan

mereka semakin erat. Di samping melakukan semangat saling

tolong menolong dan kerja sama, mereka saling menyatu dan

mencegah segala bentuk perpecahan yang merupakan faktor

utama keruntuhan sebuah negara. Dengan merapatkan barisan

kawan dan mewujudkan persatuan dan kesatuan, seluruh

kawan akan berdiri di samping negara dengan satu kalbu dan

rela mem-belanya dengan penuh hati. Dengan demikian, tak

satu pun musuh, baik musuh dalam negeri maupun musuh luar

negeri, yang akan mampu meruntuhkan pemerintahannya.

Menilik penjelasan ini, usaha merapatkan barisan kawan

memiliki urgensi penting, baik ditinjau dari aspek dalam

negeri maupun aspek luar negeri:

Aspek Dalam Negeri

Merapatkan barisan di dalam negeri meliputi seluruh rakyat

yang hidup di sebuah negara. Seluruh rakyat, sesuai dengan

posisi sosial dan politik mereka, memiliki peran penting dalam

merealisasikan usaha ini. Untuk itu, seorang pemimpin politik

harus memperlakukan rakyatnya dengan berlandaskan pada

rasa kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya. Ia harus

berusaha mengikuti jejak ayah yang belas kasih dalam mencintai,

p:155


1- 320 A.A. Dehkhudo: Lughatnomeh.

komitmen, mencurahkan anugerah, mendidik, memenuhi

kemaslahatan, menyingkirkan segala kepahitan hidup,

mewujudkan kabahagiaan, dan menumpas segala keburukan

dari hidup mereka. Dalam kondisi demikian, seluruh rakyat

dalam menaati segala titah, mengajukan pandangan, dan

menghormati pemimpin politik dan pemerintah mereka akan

bertindak bak anak-anak yang berakal. Dalam memuliakan dan

berbagai kebajikan, mereka tak ubahnya bagaikan saudarasaudara

yang seide dan sepemikiran. Jika hal ini terwujud, akan

terbentuk sebuah kesatuan dan kesetiaan yang kokoh antara

rakyat dan pemerintah. Pemerintah akan terjaga dari setiap

marabahaya dan percekcokan yang selalu mengancam.(1)

Ada beberapa kebijakan dan tindakan yang dapat

dilakukan oleh seorang pemimpin guna merealisasikan tujuan

di atas. Antara lain, dengan meringankan pajak, ia akan dapat

mengambil hati rakyat dan menjadikan mereka rela terhadap

dirinya. Dengan memberikan sedekah kepada orang-orang

fakir dan miskin, para pengangguran, anak-anak yatim, kaum

wanita yang tak bersuami, dan membebaskan kesusahan

orang-orang yang susah, ia dapat menarik hati mereka

terhadap dirinya.(2)

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, pemimpin politis

harus mewujudkan kesatuan kalbu di kalangan saudara,

keluarga, para pegawai, dan pasukan militernya. Hal ini

karena pertikaian keluarga atau pertikaian intern dalam sebuah

p:156


1- 321 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 269.
2- 322 Muhammad bin M.N. Thusi: Nasihatnomeh, appendiks buku Sarguzasyt va Andisyehe Falsafe -e Khâjah Nashîruddîn Tûsî; Muhammad Mudarrisî: Sarguzasyt va Andisyeh-e Falsafe -e Khâjah Nashîruddîn Tûsî.

pemerintah dapat melemahkan posisi pemimpin politik, dan

bahkan dapat meruntuhkan kekuasaannya. Pemimpin politik

secara khusus harus membangun hubungan yang sangat erat

dan kental dengan saudara-saudaranya.(1) Ia harus berbakti

kepada mereka dan kepada seluruh keluarganya. Ia harus

mendekatkan orang-orang mulia dan orang-orang kepercayaan

kepada dirinya. Ia harus bertindak belas kasih kepada orangorang

yang memiliki keahlian. Ia harus memberikan perhatian

penuh kepada para komandan laskarnya. Ia harus memberikan

harapan anugerah kepada para pembesar dan penguasa

daerah.(2)

Aspek Luar Negeri

Negara dan pemerintah sebagai satu kesatuan memiliki

hubungan yang beraneka ragam dengan negara-negara lain.

Sangat lumrah apabila sebagian negara memiliki hubungan

yang baik dengan negara lain dan sebagian yang lain malah

menjadi musuh negara lain. Negara-negara yang saling

bermusuhan selalu berusaha melalui berbagai jalan dan cara

untuk saling melemahkan dan kadang-kadang malah untuk

membasmi sebagian yang lain. Oleh karena itu itu, dengan

cara mewujudkan kesehatian di kalangan negara-negara yang

sehati dan melakukan perjanjian-perjanjian bilateral atau

multilateral yang bersifat lokal, regional, dan internasional,

seorang pemimpin politik harus lebih memperkokoh

persahabatan antara negara-negara sahabat dengan dirinya

dan mencegah mereka supaya tidak mendekati pihak musuh

p:157


1- 323 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 419.
2- 324 Muhammad bin M.N. Thusi: Nasihatnomeh.

atau memusuhi negaranya. Tindakan ini akan menyeret pihak

musuh ke dalam jurang kelemahan.

b. Memecah Belah Barisan Musuh
Point

Memecah belah barisan lawan adalah sebuah strategi untuk

membasmi musuh melalui perantara musuh. Dengan

menimbulkan perpecahan dan pertikaian dalam tubuh musuh,

pihak musuh akan disibukkan dengan problem mereka sendiri(1)

dan mencegah mereka untuk membentuk persatuan. Dengan

demikian, pihak musuh tidak akan memiliki kesempatan

untuk membangun kekuatan guna melawan negera seorang

pemimpin politik.

Strategi memecah belah barisan lawan juga dapat

dimanfaatkan oleh seorang pemimpin politik dari dua aspek:

aspek dalam negeri dan aspek luar negeri:

Aspek Dalam Negeri

Strategi memecah belah barisan lawan di dalam negeri

dilakukan terhadap pihak musuh yang, secara aktual, ingin

memberangus fondasi pemerintah atau, secara potensial,

dinilai sebagai bahaya besar bagi pemerintah dan membangun

hubungan dengan mereka adalah suatu hal yang tidak

mungkin terjadi.

Contoh nyata untuk strategi ini pernah disebutkan dalam

karya-karya tulis para fi losof sebagai berikut:

Setelah Alexander berhasil menaklukkan kerajaan Darius

III (380-330 BC), Alexander (356-323 BC) melihat pasukan Ajam

masih memiliki peralatan perang yang hebat, para prajurit yang

p:158


1- 325 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 246.

gagah berani, dan persenjataan yang sangat banyak melimpah.

Alexander tahu bahwa setelah ia pergi dari kerajaan itu, dalam

jenjang waktu yang tidak lama mereka akan bangkit untuk

membalas dendam atas kematian Darius dan raja Romawi pun

tidak akan dapat melakukan tindakan apa pun. Membunuh

seluruh pasukan Ajam ini adalah sebuah tindakan yang jauh

dari ajaran agama dan keadilan. Iskandar bingung tidak tahu

apa yang dilakukan. Akhirnya, ia meminta pendapat fi losof

kenamaan, Aristoteles. Aristoteles berkata, “Pecah belahlah

kesatuan tekad mereka sehingga mereka disibukkan dengan

problem mereka sendiri. Dengan ini, engkau akan merasa

aman dari ancaman mereka.” Alexander mengumpulkan

seluruh raja yang berkuasa di daerah masing-masing dan

memungut kesepakatan. Akhirnya, dari sejak masa kekuasaan

Darius hingga masa kekuasaan Ardeshir Papak (Sasanian),

bangsa Ajam tidak pernah memiliki kesatuan tekad yang

dapat digunakan sebagai sarana untuk membalas dendam atas

kematian Darius.(1)

Aspek Luar Negeri

Strategi memecah belah barisan lawan pada sisi luar negeri bisa

dilakukan dengan cara mewujudkan perpecahan di kalangan

negara-negara yang tidak ditarik untuk bersahabat dengan

negara seorang pemimpin politis. Dengan cara ini, mereka

akan sibuk dengan masalah mereka sendiri dan kemauan

mereka untuk bersatu membentuk sebuah oposisi yang kuat

guna melawan negara bisa dicegah. Dengan demikian, bahaya

mereka dapat dibasmi.

p:159


1- 326 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 304.
2.2. Regulasi Pemerintah
Point

Setelah keutuhan negara berhasil dipelihara, tujuan

instrumental pertama pemimpin politis guna mengarahkan

dan melajukan masyarakat ke arah kesempurnaan hakiki

telah terealisasi. Sekarang, tujuan instrumental kedua; yakni

“regulasi seluruh urusan negara guna menuju kesempurnaan”,

harus ditindaklanjuti.

Untuk melakukan regulasi ini, pertama, pemimpin politis

harus menguasai tabiat masyarakat, seluruh kebutuhan rakyat,

kriteria dan kemampuan masing-masing individu, undangundang

syariat, keadilan, dan konsep hikmah secara sempurna.

Alasannya, sebagaimana ketegaran tubuh tergantung kepada

alam natural, keteguhan alam natural bergantung kepada

jiwa, dan kekuatan jiwa tergantung kepada akal. Begitu

juga, ketegaran negara tergantung kepada kepemimpinan,

kekokohan kepemimpinan bergantung kepada syariat dan

politik, dan kekuatan syariat dan politik tergantung kepada

pemerintah.(1)

Kedua, seperti layaknya setiap keahlian, pemimpin politis

harus mengikuti jejak alam natural. Oleh karena itu, ia harus

memprioritaskan regulasi bidang ekonomi, lalu regulasi

bidang sosial, dan lalu regulasi bidang ilmu pengetahuan dan

kebudayaan.

Regulasi Bidang Ekonomi
Point

Ekonomi adalah fondasi utama kekuatan syahwat manusia

dalam kehidupan sosial dan merupakan salah satu faktor

p:160


1- 327 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 430; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 309.

utama dan fundamental bagi pembentukan sebuah masyarakat

sosial. Pertama kali, manusia membentuk kehidupan sosial

dan membangun pilar-pilar sebuah masyarakat politis

atau negara guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,

tempat tinggal, dan lain sebagainya.(1)Setiap individu dalam

sebuah masyarakat akan mampu memperoleh manfaat dan

mempersiapkan ketentraman bagi dirinya atau memenuhi

segala kebutuhan hidup hanya dengan regulasi bidang

ekonomi dan memiliki kondisi ekonomi yang mapan. Kadar

kemampuan ini juga bergantung pada kadar kemiskinan atau

kekayaan setiap individu.

Atas dasar ini, ekonomi adalah bidang paling utama

dan urgen yang diperlukan oleh anggota sebuah masyarakat

politis. Regulasi yang tepat dalam bidang ini dapat

menciptakan keamanan, kesejahteraan, dan ketentraman

spiritual-psikologikal bagi anggota masyarakat, dan juga dapat

mewujudkan kewibawaan bagi negara dan pemerintah. Oleh

karena itu, sebelum melakukan kebijakan yang lain, pemimpin

politis harus meregulasi urusan ekonomi masyarakat

dalam ranah individual. Dengan demikian, ia akan dapat

menghadiahkan keadilan madani, dan sekaligus kemakmuran

duniawi bagi rakyat dan negaranya.

Guna merealisasikan tujuan ini, pada langkah pertama,

seluruh aktivitas pencetakan dan sirkulasi uang harus berada

dalam monopoli, pengawasan, dan kontrol mutlak pemimpin

politis. Hal ini karena uang adalah sebuah fasilitas untuk

menegakkan keadilan madani yang adil, evaluator, dan

p:161


1- 328 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 205-206.

penengah di kalangan masyarakat. Tanpa uang, regulasi

bidang ekonomi untuk sebuah masyarakat tidak mungkin

dapat dilakukan. Atas dasar ini, seperti pernah ditegaskan

oleh Aristoteles, “Uang harus mengikuti jejak penguasa.

Uang harus mengikuti ketentuan undang-undang yang telah

ditetapkan oleh penguasa berdasarkan syariat.”(1)

Pada langkah kedua, pemimpin politis harus meregulasi

ekonomi masyarakat dalam ranah individual dan antar

anggota masyarakat.

Seperti telah dijelaskan di atas, kehidupan sosial manusia

dimulai dengan tujuan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan

pokok kehidupan sehari-hari. Anggota sebuah masyarakat

memiliki aneka ragam profesi, industri, dan pekerjaan. Melihat

realita ini, pemimpin politis dalam politiknya harus meregulasi

ekonomi masyarakat dan membebankan tugas atas orangorang

yang melanggar hak orang lain supaya melakukan

kegiatan yang berguna bagi kepentingan sosial.(2)

Untuk itu, pemimpin harus menelaah kondisi ekonomi

sebuah masyarakat dari tiga segi, dan lalu melakukan regulasi

ekonomi.

Pendapatan

Seseorang bisa memperoleh pendapatan melalui dua cara:

pertama, melalui cara manajemen dan kerja keras, seperti

industri, layanan jasa, dan bisnis. Kedua, pendapatan yang

diperoleh tanpa manajemen dan kerja keras, seperti harta

warisan, hadiah, dan lain sebagainya.

p:162


1- 329 Ibid., hlm. 134.
2- 330 Ibid., hlm. 252.

Guna melakukan regulasi dalam bidang ekonomi

masyarakat, sebelum segala sesuatu, batas, syarat-syarat, dan

tolok ukur sebuah pendapatan yang benar harus diperjelas

terlebih dahulu. Alasannya, harta yang diperoleh dengan

cara paksa, memaksa orang lain untuk mengerjakan sebuah

pekerjaan, menjual harga diri, dan cara-cara tak terpuji yang

lain harus disingkirkan jauh-jauh, meskipun harta ini sangat

melimpah-ruah.(1) Atas dasar ini, guna melakukan regulasi

dalam bidang ekonomi dalam ranah individual, pekerjaanpekerjaan

yang berguna, syarat, dan jalan-jalan yang bisa

digunakan untuk memperolehnya harus diperjelas.

Secara umum, dalam memperoleh pendapatan, kita harus

memperhatikan tiga syarat berikut ini:

1. Menghindari kezaliman; yakni pendapatan tidak boleh

diperoleh melalui cara menipu, monopoli, mengurangi

timbangan, mencuri, dan merampas.

2. Menghindari cela; harta tercela adalah harta yang

diperoleh melalui cara yang ceroboh, mengolok-olok,

atau menghinakan diri. Sebagai contoh pendapatan yang

diperoleh melalui jalan penyelundupan, menjual harga

diri, atau mengemis.

3. Menghindari kehinaan; pendapatan yang hina adalah

pendapatan yang dihasilkan melalui jalan-jalan yang hina,

padahal pekerjaan lain yang lebih baik masih ada.(2)

Apabila ketiga syarat di atas tidak diperhatikan, maka

kezaliman madani dan aneka kehinaan akan tersebar di

p:163


1- 331 Ibid., hlm. 212-213.
2- 332 Ibid., hlm. 211.

tengah-tengah masyarakat. Secara otomatis, realita ini akan

menyelewengkan masyarakat dari jalan kesempurnaan dan

mengantarkannya ke jurang kesengsaraan.

Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas, pekerjaanpekerjaan

yang bisa terwujud dalam sebuah masyarakat

terbagi dalam tiga klasifi kasi berikut ini:

1. Pekerjaan mulia; pekerjaan mulia adalah jenis pekerjaan

yang dari sisi jiwa bergantung kepada pikiran, bukan

dari sisi tubuh. Jenis pekerjaan ini juga disebut dengan

nama “profesi orang-orang bebas dan mulia”. Mayoritas

pekerjaan ini masuk dalam tiga profesi sebagai berikut:

a. Profesi para menteri; pekerjaan ini berhubungan erat

dengan substansi akal, seperti pandangan yang benar,

kejujuran dalam memberikan musyawarah, dan

manajemen yang benar.

b. Profesi para sastrawan dan orang-orang mulia;

pekerjaan ini berhubungan dengan sastra dan

keutamaan, seperti menulis buku, kefasihan berorasi,

astronomi, medis, ilmu hisab, dan ilmu ukur.

c. Profesi para jawara; pekerjaan ini berhubungan dengan

kekuatan tubuh dan keberanian, seperti menunggang

kuda, menjadi tentara militer, menjaga perbatasan,

dan mengusir musuh.

2. Pekerjaan hina; pekerjaan hina memiliki tiga jenis:

a. Profesi para perusak; pekerjaan ini bertentangan

dengan kemaslahatan umum masyarakat, seperti sihir

dan menimbun barang.

b. Profesi orang-orang tolol; pekerjaan ini bertentangan

dengan salah satu kriteria keutamaan, seperti

p:164

mengolok-olok orang lain, joget, dan berjudi.

c. Profesi orang-orang hina; pekerjaan ini mengundang

kebencian tabiat manusia, seperti cantuk, menyamak

kulit binatang, dan menjadi tukang sapu.

3. Pekerjaan menengah; ini adalah jenis lain pekerjaan dan

profesi yang terbagi ke dalam dua klasifi kasi: pertama,

profesi utama dan wajib, seperti pertanian, dan kedua,

profesi tidak utama, seperti pandai emas.

Menilik bahwa kaidah tabiat manusia tidak sesuai dengan

kaidah akal, jenis terakhir pekerjaan hina; yaitu profesi

orang-orang hina, bukanlah suatu profesi yang buruk dalam

pandangan akal. Lantaran urgensi kemaslahatan komunal,

harus ada orang-orang tertentu yang memiliki profesi ini. Akan

tetapi, dua jenis profesi yang lain adalah profesi yang buruk

dalam perspektif akal. Pemimpin politik harus mencegah

kemunculan pekerjaan-pekerjaan semacam ini sehingga

kemaslahatan dan keutamaan komunal tidak ternodai. Dari sisi

lain, ia juga harus mempersiapkan lahan-lahan pekerjaan yang

sesuai dengan posisi masing-masing individu masyarakat.

Sebagai contoh, untuk menentukan seorang menteri, ia harus

memilih seseorang yang secara tabiat adalah orang baik dan

kebaikannya bisa sampai kepada orang lain. Jika ada anggota

masyarakat yang memiliki kemampuan untuk melakukan

ragam pekerjaan, maka pemimpin harus menunjuknya untuk

mengemban pekerjaan yang lebih mulia dan lebih penting.

Apabila seseorang mengemban sebuah pekerjaan yang lebih

sesuai dengan posisi dirinya, maka semangat saling tolong

p:165

menolong akan terwujud, kebaikan akan bertambah, dan

keburukan akan berkurang.(1)

Akhirnya, setelah regulasi bidang pekerjaan dan profesi

terlaksana dengan baik, pemimpin harus merangsang rakyat

untuk menciptakan inovasi dan kreasi baru dalam bidang

pekerjaan. Ia harus merangsang para pekerja dan pegawai

pemerintah supaya maju dalam bidang pekerjaan ini.(2)

Menjaga Harta Kekayaan

Menjaga harta dan kekayaan adalah salah satu tuntutan

ekonomi rakyat yang sangat penting. Oleh karena itu, pemimpin

politik harus menyiapkan lahan dan kondisi sedimikian rupa

sehingga setiap individu dapat menjaga harta kekayaannya

dengan aman dan mencegah kelancangan orang lain untuk

merampas atau mencurinya. Ketika harta kekayaan ini

dirampas atau dicuri, pemimpin harus dapat mengembalikan

harta itu atau gantinya kepada pemiliknya. Kalau perlu, ia

harus menghukum pencuri atau perampas setimpal dengan

tindak kriminalnya.

Di antara lahan dan kondisi yang harus dipersiapkan oleh

pemimpin negara adalah eksistensi undang-undang yang adil

dan aplikasinya, mengirim penjaga ke seluruh kota khususnya

di waktu malam, memelihara keamanan di jalan-jalan umum,

dan menjalankan pendidikan yang perlu untuk memelihara

keamanan harta kekayaan. Meskipun demikian, menjaga

harta kekayaan termasuk hak personal setiap individu. Oleh

karena itu, pemimpin politik tidak memiliki kewenangan yang

p:166


1- 333 Ibid., hlm. 288.
2- 334 Ibid., hlm. 212.

luas dalam hal ini. Oleh karena itu, dalam rangka mendorong

anggota masyarakat ke arah kesempurnaan, pemimpin hanya

harus memasyarakatkan tujuan asli dan tata cara menjaga

harta kekayaan di kalangan masyarakat luas. Dengan cara

ini, setiap individu dapat memanfaatkan harta kekayaannya

sesuai dengan kemampuan, kekayaan, dan kehendak hatinya.

Lebih dari itu, ia tidak akan menjadikan harta kekayaan

sebagai tujuan utama atau tidak juga menganggap harta itu

sebagai “milik mutlak” bagi dirinya; suatu cara berpikir yang

menyebabkan ia merasa memiliki hak untuk menjaga atau

mempergunakan harta itu sesuka hati. Karena Allah menuntut

tanggung jawab dari hamba-Nya tentang seluruh harta yang

ia miliki.(1)

Pemimpin negara harus mendorong rakyat supaya

memperhatikan tiga syarat dalam menjaga harta kekayaan

mereka:

Pertama, tidak menimbulkan gangguan bagi keluarga.

Kedua, tidak menimbulkan gangguan bagi agama dan

harga diri. Jika kita tidak dapat memenuhi kebutuhan orangorang

yang membutuhkan padahal kita memiliki harta, maka

kita tidak pantas disebut orang yang beragama. Apabila kita

berpaling dari tindak lebih mementingkan orang lain dan

menindak orang-orang yang menginjak-injak harga diri,

tindakan semacam ini jauh dari harga diri.

Ketiga, tidak melakukan sebuah perilaku yang hina, seperti

kikir dan tamak.(2)

p:167


1- 335 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 382.
2- 336 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 213.

Lebih dari itu, supaya ekonomi masyarakat semakin

berkembang pesat, dengan menyusun perencanaan yang

matang, pemimpin harus mendorong rakyat supaya

menabung secara benar; sebuah aktivitas ekonomi yang dapat

mengembangkan keuntungan, bukan menyembunyikan harta

kekayaan di sudut rumah dan di bawah tanah, dan melakukan

deposito di bidang-bidang yang mendatangkan keuntungan

yang lebih baik bagi diri mereka dan masyarakat, khususnya

bidang-bidang yang dapat menyemarakkan lapangan kerja.

Maksudnya, keuntungan yang bersifat kontinyu, sekalipun

sedikit(1)

Pengeluaran

Telah kami singgung di atas bahwa Allah akan menuntut

pertanggungan jawab atas setiap harta kekayaan. Oleh karena

itu, mencari dan mempergunakan pendapatan secara benar

adalah sebuah kriteria yang dapat mewujudkan keutamaan

dan menghindarkan kehinaan jiwa yang secara otomatis

juga kehinaan sosial. Jika seseorang menggunakan harta

kekayaannya secara tidak benar dan ilegal, pada hakikatnya

ia telah menciptakan sebuah pendapatan yang ilegal dan tidak

sehat bagi anggota masyarakat yang lain. Sebenarnya, dengan

melakukan perilaku yang ilegal ini, ia sendiri telah terjauhkan

dari area keutamaan.

Oleh karena itu, pemimpin negara harus memasyarakatkan

metode pemanfaatan harta kekayaan yang benar. Untuk tujuan

ini, ia harus lebih memfokuskan perhatian terhadap fenomena

penghamburan harta yang lebih banyak menimbulkan efek

p:168


1- 337 Ibid.

ekonomi dan sosial yang negatif.

Secara umum, pemimpin negara harus mendorong

anggota masyarakat supaya menghindari empat hal dalam

mempergunakan harta kekayaan sebagai berikut:

Pertama, sangat perhitungan dan mempersempit nafkah

yang akan diberikan kepada keluarga sehingga kita enggan

untuk mengucurkan kedermawanan sedikit pun atas mereka.

Kedua, menghamburhamburkan harta. Kita menggunakan harta

untuk keperluan yang tidak dibutuhka, seperti mengumbar

syahwat dan mengenyangkan kelezatan semata, atau melebihi

kebutuhan yang wajib. Ketiga, riya dan ingin membanggakan

diri. Kita menginfakkan harta dengan tujuan membanggakan

diri, memamerkan kekayaan, riya, dan membesar-besarkan

diri sendiri. Keempat, manajemen yang buruk. Ada kalanya

kita mengeluarkan harta melebihi garis normal; adakalanya

pula di bawah garis normal.(1)

b. Regulasi Bidang Sosial
Point

Masyarakat politik terwujud berlandaskan pada asas saling

tolong menolong dan pembagian kerja atau tugas yang muncul

karena semangat saling bantu membantu ini. Akan tetapi,

kekokohan dan kontinuitas semangat ini hanya terwujud

karena prinsip keadilan.(2) Semangat saling tolong menolong

dan bantuk membantu hanya akan langgeng apabila keadilan

menjadi dominan di kalangan masyarakat. Pemimpin negara

harus memperhatikan kondisi masing-masing anggota

masyarakat dan mengaplikasikan undang-undang keadilan

p:169


1- 338 Ibid., hlm. 213.
2- 339 Ibid., hlm. 304.

dalam masyarakat secara sempurna. Lebih dari itu, ia juga

harus memelihara keutuhan undang-undang ini.

Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

Kesetaraan Klasifikasi Profesi

Kesetaraan klasifi kasi profesi berarti seluruh golongan yang

hidup di masyarakat memiliki kedudukan dan posisi yang

sama sehingga tak ada satu pun golongan yang merasa menang

terhadap golongan yang lain. Ketidaksetaraan bisa terwujud

dengan salah satu dari dua fenomena berikut ini:

 Jumlah sebuah klasifi kasi profesi dalam batas tidak normal

berjumlah lebih banyak atau lebih sedikit; jelas, apabila

jumlah anggota sebuah klasifi kasi profesi bertambah,

maka semangat klasifi kasi ini pasti bertambah pula. Dan

jika jumlah anggota klasifi kasi profesi ini berkurang,

maka secara otomatis fungsi dan potensialnya pasti akan

berkurang di tengah-tengah masyarakat.

 Hegemoni sebagian klasifi kasi profesi atas sebagian

klasifi kasi profesi yang lain; ketika keseteraan tidak

terwujud, yang pasti, klasifi kasi profesi yang memiliki

jumlah atau kekuatan yang lebih banyak pasti akan

memiliki hegemoni atas klasifi kasi profesi yang lain,

baik secara langsung maupun tidak langsung, dan

mengeluarkan urusan sosial masyarakat dari garis

keseimbangan. Dalam kondisi seperti ini, kerusakan dan

ketimpangan sosial akan muncul ke permukaan.

p:170

Melihat realita ini, seorang pemimpin negara harus

bertindak tegas untuk menyetarakan seluruh klasifi kasi profesi

yang eksis di tengah-tengah masyarakat dan membangun

sebuah masyarakat yang bergerak seimbang. Masyarakat yang

seimbang akan terwujud apabila keempat klasifi kasi profesi

(ahli pena, ahli pedang, ahli transaksi, dan ahli pertanian)

terbentuk dengan setara.

Tabiat yang seimbang akan terwujud karena keempat

unsur terwujud dengan setara, dan dominasi salah satu unsur

atas ketiga unsur yang lain akan menyebabkan penyelewengan

tabiat dari garis keseimbangan dan kepunahan sebuah susunan.

Atas dasar ini, dominasi sebuah klasifi kasi profesi atas ketiga

klasifi kasi yang lain akan menyebabkan penyelewengan

urusan sosial masyarakat dari garis keseimbangan dan

kerusakan spesies manusia.(1) Alasannya, apabila jumlah

anggota sebuah klasifi kasi profesi berkurang sangat mencolok

dibandingkan dengan klasifi kasi profesi yang lain, tugas dan

potensial khusus yang harus dilaksanakan oleh klasifi kasi

profesi ini akan terganggu. Sebagai contoh, apabila jumlah

pasukan militer berkurang dari batas yang semestinya, maka

masyarakat ini tidak akan mampu menjamin keamanan dalam

negeri dan mempertahankan diri dari ancaman musuh asing.

Apabila jumlah para petani berkurang, maka akan timbul

paceklik, pencurian menyemarak, penimbunan harta dan

kebutuhan pokok memasyarakat, pemberontakan bergolak di

mana-mana, dan ketidakteraturan akan mendominasi. Apabila

jumlah ahli transaksi berkurang, maka bahan makanan dan

p:171


1- 340 Ibid., hlm. 305.

kebutuhan utama manusia tidak akan sampai ke seluruh

bagian masyarakat secara merata, atau produksi alat-alat dan

fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat akan menurun.

Apabila jumlah ahli pena berkurang, maka ilmu pengetahuan

akan mengalami stagnansi dan urusan sosial masyarakat yang

utama tidak akan terurusi sama sekali atau terurusi dengan

tidak benar. Ini dari satu sisi.

Dari sisi lain, apabila jumlah sebuah klasifikasi profesi

melebihi batas yang semestinya, maka perilaku mereka akan

menjadi dominan di tengah-tengah masyarakat dan juga akan

mendominasi seluruh klasifikasi profesi yang lain. Apabila

jumlah anggota militer bertambah, maka semangat militerisme

akan memuncak. Jika jumlah para petani bertambah,

maka kerakusan dan keserakahan terhadap kebutuhan utama

masyarakat akan menggelora. Apabila jumlah ahli transaksi

bertambah, maka semangat ingin bermewah-mewah dan ketamakan

akan memasyarakat. Jika jumlah ahli pena bertambah,

maka semangat ingin memamerkan keutamaan diri yang

akan berakibat kerancuan ilmu pengetahuan, pengangguran

kaum terpelajar, kemiskinan harga diri, dan ketidakteraturan

urusan agama dan dunia akan merajalela.

Ketidaksetaraan yang disebabkan oleh dominasi sebagian

klasifikasi profesi akan menyebabkan kontrol kekuatan kekuatan

yang ada dalam masyarakat dikuasai oleh klasifikasi

profesi ini. Dengan ini, mereka akan bisa menekan dan mempengaruhi

pemimpin negara.

Dengan demikian, jika mereka mampu mengeluarkan

kontrol negara dari genggaman tangan pemimpin

negara,

p:172

maka fenomena kedua ketidaksetaraan ini akan terjadi.

Dalam fenomena ini, satu klasifi kasi profesi akan berkuasa

atas klasifi kasi-klasifi kasi profesi yang lain dan memegang

kontrol negara. Dengan demikian, klasifi kasi profesi ini akan

menggantikan posisi para pengatur dan pemimpin negara

yang sejati. Apabila hal ini terjadi, maka masyarakat akan

menyeleweng dari jalan kesempurnaan yang hakiki. Jika

angkatan bersenjata dan militer adalah klasifi kasi profesi yang

menempati posisi para pengatur urusan politik negara, maka

mereka akan mengeluarkan anggota masyarakat dan seluruh

badan negara, lembaga politik, dan strukturnya dari garis

keseimbangan, dan menggiring mereka ke arah kepentingankepentingan

militer dan militerisme.(1)

Sumber daya ekonomi masyarakat (ahli transaksi

dan pertanian) juga harus menempati posisi mereka dan

melaksanakan tugas mereka masing-masing. Jika mereka ikut

campur tangan dalam urusan politik dan mengatur urusan

sosial masyarakat, maka negara akan menyimpang dari garis

keseimbangannya. Akibatnya, seluruh rakyat, lembagalembaga

negara, dan struktur kekuatan politik negara akan

meninggalkan tugas mereka dan saling berlomba-lomba

untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan bahkan kebutuhankebutuhan

barang mewah yang digunakan sekadar untuk

keperluan interior. Lebih parah lagi, kerakusan dan keserakahan

akan merajalela.(2)

Para ulama dan ilmuwan dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan, sesuai dengan bidang spesialisasi masing-

p:173


1- 341 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 256.
2- 342 Ibid.

masing, harus membantu memperkokoh agama dan dunia

masyarakat. Tanpa pengetahuan dan pengalaman politik,

mereka jangan ikut campur dalam urusan politik dan

memegang urusan politis. Jika hal ini terjadi, maka urusan

sosial tidak dapat dimanajemen dengan benar. Hal ini pernah

disinggung oleh para fi losof sebagai berikut:

Keutamaan para petani tersembunyi dalam semangat

membantu yang mereka lakukan untuk kemajuan seluruh

pekerjaan. Keutamaan para pedagang terdapat dalam

kesediaan mereka membantu dengan harta mereka. Keutamaan

para raja terletak pada bantuan yang mereka berikan dalam

melapangkan jalan-jalan politik. Dan keutamaan para ulama

agama terletak pada penentuan hukum-hukum yang hakiki.

Lalu, seluruh golongan ini saling bantu membantu dan tolong

menolong dalang rangka memakmurkan negara melalui jalan

aneka kebaikan dan keutamaan.(1)

Pemimpin negara harus mencegah satu klasifi kasi profesi

mengerjakan tugas-tugas yang semesetinya diemban oleh

klasifi kasi-klasifi kasi profesi yang lain. Ia juga harus mencegah

supaya satu klasifi kasi profesi bertambah atau berkurang

jumlah melebihi batas yang semestinya. Dengan kesetaraan

dan saling tolong menolong yang ada antara seluruh klasifi kasi

profesi ini, mereka dapat melanggengkan eksistensi negara

dan menjamin seluruh kebutuhan duniawi dan ukhrawi

yang diperlukan oleh seluruh anggota masyarakat di bawah

manajemen negara dan khususnya, pemimpin negara.

p:174


1- 343 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 305-487.
Menentukan Posisi dan Kedudukan Setiap Individu

Setelah seluruh klasifi kasi profesi tersusun dengan setara,

syarat pertama keadilan atau kekokohan sebuah negara dan

pemerintah telah terwujud. Akan tetapi, setiap klasifi kasi

profesi memiliki individu-individu yang berbeda-beda dengan

tabiat yang juga berbeda-beda dan bahkan kontradiktif.

Sebagian mereka dengan tabiat jahat dan buruk mereka

mengancam keteraturan dan keamanan masyarakat. Kaidah

atau syarat kedua keadilan adalah mencermati kondisi

dan perilaku rakyat, mengenali mereka, dan menentukan

posisi masing-masing mereka sesuai dengan kepatutan dan

kompetensi yang mereka miliki. Artinya, pemimpin negara

harus mengorganisasi anggota masyarakat berlandaskan pada

konsep “pilih yang terlayak”. Untuk pengorganisasian ini, ia

harus memperhatikan dua pilar utama konsep “pilih yang

terlayak”; yakni “kepatutan” dan “kompetensi.”

Guna menjalankan hal ini, kita harus memperhatikan

klasifi kasi manusia berdasarkan tabiat mereka sebagai

berikut:(1)

“Mereka yang secara tabiat adalah orang baik dan kebaikan

mereka juga sampai kepada orang lain” harus menjadi

orang-orang terdekat bagi pemimpin negara. Dengan cara

menghormati dan mengagungkan mereka, serta menyerahkan

tanggung jawab sosial-politik kepada mereka, ia harus

memanfaatkan keberadaan mereka dalam struktur negera dan

pemerintah.

p:175


1- 344 Ibid., Pasal 1, hlm. 74.

“Mereka yang secara tabiat adalah orang baik, akan tetapi

kebaikan mereka tidak sampai kepada orang lain” harus

dihormati di tengah-tengah masyarakat dan seluruh kebutuhan

mereka harus dipenuhi.

“Mereka yang secara tabiat bukan orang baik dan bukan

pula orang jahat” harus menjalani kehidupan di tengah-tengah

masyarakat dengan penuh keamanan dan ketenteraman.

Mereka harus didorong supaya mengerjakan kebajikan

sehingga mereka, sesuai dengan kemampuan yang mereka

miliki, dapat menggapai kesempurnaan jiwa.”

Menurut sebuah pepatah, “kesirnaan negara akan

terwujud apabila orang-orang yang hina dihormati”.(1)Atas

dasar ini, pemimpin negara harus meletakkan “mereka yang

secara tabiat adalah orang jahat, tetapi kejahatan mereka tidak

sampai kepada orang lain” dan “mereka yang secara tabiat

adalah orang jahat dan kejatahan mereka sampai kepada

orang lain”(2) di hierarki sosial yang terendah. Ia tidak boleh

memberikan tanggung jawab politik atau sosial apa pun

kepada mereka. Dengan cara menjalankan politik dominasi

atas mereka, ia harus menjauhkan kejahatan mereka dari

tengah-tengah masyarakat.

Layanan Sosial (Distribusi Kemaslahatan Komunal dan Sumber Daya Umum)
Point

Setelah regulasi profesi dan urusan sosial anggota masyarakat,

sekarang tiba giliran regulasi bagian distribusi kemaslahatan

p:176


1- 345 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 426.
2- 346 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 305-306.

umum (layanan sosial). Kemaslahatan komunal adalah seluruh

fasilitas dan planing politik, ekonomi, dan kebudayaan yang

diperlukan demi mewujudkan kebahagiaan jasmani, madani,

dan spiritual setiap manusia. Seluruh anggota masyarakat,

sesuai dengan kepatutan (istihqaq) dan kompetensi (isti’dad)

mereka, memiliki saham dan bagian masing-masing. Karena

setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda

terhadap kemaslahatan umum,(1) ia memiliki saham dan

bagian khusus darinya. Jika ia memperoleh saham yang lebih

sedikit atau lebih banyak dari saham yang semestinya, maka

hal ini termasuk sebuah kezaliman terhadap dirinya dan

juga terhadap anggota masyarakat yang lain.(2) Untuk itu,

pemimpin negara harus meregulasi kemaslahatan komunal ini

secara adil dan merata.

Kemaslahatan komunal terdiri dari keselamatan dan

kesehatan, harta kekayaan, dan harga diri.

Keselamatan dan Kesehatan Umum

Pada pembahasan sebelum ini, telah kami jelaskan bahwa

tubuh adalah fasilitas dan tunggangan bagi jiwa manusia.

Tanpa tubuh, jiwa manusia tidak akan mampu melakukan

pekerjaan dan tidak pula menggapai keutamaan. Oleh karena

itu, memelihara kesehatan tubuh dan jiwa termasuk dua pokok

fundamental dalam mewujudkan kemaslahatan komunal.

Untuk itu, seorang pemimpin negara harus melakukan hal-hal

berikut ini:

p:177


1- 347 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 265.
2- 348 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 307.

Pertama, dengan cara mewujudkan kesetaraan profesi di

tengah-tengah masyarakat, ia harus memelihara jumlah dokter,

ahli pembuat obat, dan profesi-profesi yang berhubungan

dengan medis dalam kondisi stabil. Dengan cara ini, seluruh

anggota masyarakat dapat merujuk kepada dokter dan

memperoleh obat-obatan yang diperlukan.

Kedua, dengan cara membangun rumah sakit dan

universitas-universitas yang mengajarkan bidang ilmu medis,

farmasi, dan ilmu-ilmu pengetahuan serupa, pemimpin negara

harus menyiapkan lahan pengobatan bagi seluruh anggota

masyarakat.(1)

Ketiga, pemimpin harus mempersiapkan lahan dan

fasilitas yang memadai sehingga seluruh anggota masyarakat,

khususnya kalangan masyarakat yang tidak mampu, dapat

menikmati kesehatan umum yang paling minimal.

Harta Kekayaan dan Dukungan Ekonomi

Setelah kesehatan terjamin, tiada perhiasan bagi rakyat yang

lebih indah daripada rezeki yang lapang. Fasilitas terbaik

untuk memperoleh rezeki adalah pekerjaan yang didasari

oleh keadilan, kesucian, dan harga diri, serta terhindarkan

dari ketamakan, keserakahan, tindakan yang tercela, dan sikap

pengabaian terhadap pekerjaan-pekerjaan yang penting.(2)

Setelah regulasi bidang ekonomi, pemerintah, dan

pemimpin negara sebagai pemegang tali kendali utama

masyarakat, harus mengatur urusan anggota masyarakat

yang memiliki kondisi ekonomi tidak mapan, atau karena

p:178


1- 349 Ibid., hlm. 154-307.
2- 350 Ibid., hlm. 212.

sebuah alasan tertentu, seperti menciptakan penemuan baru,

menciptakan lahan kerja bagi anggota masyarakat yang lain,

membangun pusat-pusat pengobatan dan pendidikan, dan

lain sebagainya, mereka berhak menerima bantuan fi nansial

dari pemerintah. Untuk itu, pada tahap pertama, dengan cara

menciptakan lahan dan kondisi yang mendukung, pemerintah

harus mewujudkan lahan perkerjaan yang berguna dan

legal bagi setiap individu anggota masyarakat yang sedang

mencari pekerjaan. Sehingga dengan demikian, mereka dapat

memperoleh pendapatan dengan cara transaksi ekonomi

dalam koridor masyarakat sendiri, dan tidak menyeleweng

ke arah pekerjaan-pekerjaan hina yang bertentangan dengan

kemaslahatan umum atau nilai keutamaan.

Pada tahap kedua, pemerintah harus menyiapkan sebuah

kehidupan sejahtera dalam koridor interaksi dan ketentuanketentuan

sosial-ekonomi bagi beberapa golongan dengan

aneka ragam cara. Di antaranya adalah memberikan bantuan

kebutuhan pokok kehidupan atau minimal pendapatan yang

diperlukan untuk sebuah kehidupan sederhana dan terhormat

kepada anggota masyarakat yang belum berhasil memperoleh

pekerjaan (asuransi pengangguran), tidak mampu bekerja

karena suatu alasan (tunjangan hidup), atau pendapatan

mereka tidak cukup sekalipun mereka telah memiliki pekerjaan

(subsidi).

Dalam hal ini (distribusi kemaslahatan komunal), dua

faktor “kepatutan” dan “kompetensi” juga harus diperhatikan.

Seorang anggota masyarakat yang berhak dan memiliki

kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mulia

p:179

tidak boleh dialokasikan untuk pekerjaan-pekerjaan menengah

dan hina, atau malah menganggur. Tugas pemerintah dan

pemimpin negara adalah melindungi anggota masyarakat

semacam ini.

Kemuliaan dan Harga Diri (Status Sosial)

Salah satu sisi yang sangat penting bagi kepribadian manusia

adalah kemuliaan dan status sosialnya. Seorang pemimpin

negara harus menentukan kebijakan-kebijakan yang dapat

menjamin kemuliaan setiap anggota masyarakat di samping

hak-haknya sebagai seorang warga masyarakat dan manusia.

Sekalipun dalam kemuliaan insani, seluruh warga masyarakat

adalah sama, akan tetapi setiap orang sesuai dengan kepatutan

dan kompetensi masing-masing layak menerima sebuah

kemuliaan, penghormatan, dan perlakuan tertentu. Yang

jelas, lebih atau kurang dari hak dan kemampuan ini akan

menimbulkan kezaliman.(1) Mencoreng kemuliaan insani

manusia dapat menyebabkan penghinaan dan pelecehan

terhadapnya. Sementara itu, menghormatinya lebih dari batas

yang wajar akan menimbulkan kesan menjilat. Semua ini

dalam ranah individual adalah sebuah kehinaan dan dalam

ranah sosial adalah sebuah kerusakan.

Dalam kemaslahatan komunal di atas, setiap warga

memiliki saham tertentu. Kurang atau lebih dari saham

ini adalah sebuah jenis kezaliman. Dalam kondisi kurang,

kezaliman terarah kepada warga itu sendiri. Sedangkan, dalam

kondisi lebih, kezaliman tertuju kepada seluruh warga sebuah

p:180


1- 351 Ibid., hlm. 307.

negara.(1) Bahkan, memberi lebih sedikit daripada saham yang

berhak dimiliki oleh seorang warga adalah sebuah kezaliman

terhadap seluruh warga negara. Alasannya adalah jelas.

Tindakan semacam ini akan menyebabkan kemampuan salah

seorang warga senegaranya tidak memperoleh perhatian;

sebuah kemampuan yang apabila muncul ke permukaan

akan dapat menjadi sumber seluruh pemikiran dan kebijakankebijakan

yang penting bagi negara. Lebih dari itu, apabila

tindakan itu menyebabkan hak seorang warga yang berhak

terkesampingkan dan diberikan kepada seorang warga atau

warga-warga lain yang tidak berhak, maka hal ini adalah

sebuah kezaliman terhadap seluruh warga yang hidup di

negara itu.

2.3. Regulasi Negara
Point

Negara adalah sebuah institusi yang dengan cara menjamin

seluruh kebijakannya bisa ditaati bertanggung jawab atas

pengaplikasian norma-norma yang benar bagi sebuah perilaku

di tengah-tengah masyarakat. Tujuan semua ini adalah supaya

semangat bantu membantu dan tolong menolong di kalangan

sesama manusia tetap berjalan secara kontinyu dalam koridor

negara, serta seluruh urusan negara tetap berjalan dengan baik.

Institusi yang dikepalai oleh seorang pemimpin negara ini dapat

menjadi sebuah institusi yang kompeten dan berhasil, apabila

ia bergerak di atas jalan keseimbangan dan menghindari tindak

berlebih-lebihan maupun keteledoran (ifrath dan tafrith).

Yakni, ia harus melaksanakan tugas-tugasnya hanya dalam

rangka merealisasikan tujuan asli sebuah masyarakat politik;

p:181


1- 352 Ibid., hlm. 307-308.

yaitu mengarahkan dan mempersiapkan segala lahan supaya

seluruh warga masyarakat bisa sampai kepada kesempurnaan.

Jika negara teledor dalam melaksanakan tugas-tugasnya

atau tidak mampu lagi melaksanakan seluruh tugas dan

kewajibannya, maka kendali urusan masyarakat akan terlepas

dari genggaman tangannya. Akibatnya, ketidakteraturan dan

keonaran akan mendominasi seluruh masyarakat. Begitu juga,

jika negara terlalu bertindak berlebih-lebihan dan melampaui

batas tanggung jawabnya sehingga mencampuri urusan

individual dan madani warga masyarakat, maka ia mau tidak

mau telah keluar dari tujuan aslinya dan berubah menjadi

sebuah negara yang haus hegemoni. Tentunya, hal ini tidak

sesuai dengan tujuan asli masyarakat politis.

Atas dasar ini, negara-negara yang inkompeten

menyebabkan inkompetensi masyarakat politis yang berada

dalam kekuasaannya. Mengapa?

Penyakit yang merajalela di dunia ini adalah dua

macam: pertama, negara-negara yang haus hegemoni, dan

kedua, kekacauan sosial yang disebabkan oleh negara yang

inkompeten. Negara-negara yang haus hegemoni adalah

sesuatu yang buruk secara substansial dan menganggap

jiwa-jiwa yang buruk sebagai sesuatu yang baik. Kekacauan

sosial adalah sesuatu yang menyakitkan secara substansial

dan membuat jiwa-jiwa yang jahat dapat menikmati segala

kenikmatan. Meskipun hegemoni menyerupai sebuah negara,

tetapi pada hakikatnya bertentangan dengan negara.(1)

Guna menghindari kedua penyakit tersebut di atas dan

menciptakan sebuah negara yang kompeten dan berperan

p:182


1- 353 Ibid., hlm. 303.

sebagai penunjuk jalan hidayah, pemimpin negara harus

mengorganisir negaranya dengan tepat dan benar.

Setiap negara memiliki beberapa lembaga. Setiap lembaga

memiliki tanggung jawab melaksanakan sebuah tugas guna

merealisasikan tujuan universal negara. Seluruh lembaga ini

membentuk sebuah instansi negara. Secara global, lembagalembaga

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Lembaga-lembaga ekonomi; lembaga-lembaga ini

mengatur ekonomi masyarakat. Sebagian lembaga ini

meregulasi bidang ekonomi masyarakat dan membawanya

menuju kemajuan ekonomi yang lebih mapan. Sebagian

lembaga yang lain mengurusi urusan fi nansial pemerintah,

berikut lembaga-lembaga yang berhubungan dengannya.

2. Lembaga-lembaga keamanan; lembaga-lembaga ini

memiliki tanggung jawab menjalankan keteraturan dan

memelihara keamanan dalam negeri dan luar negeri

dengan berlandaskan pada konsep keadilan. Lembagalembaga

ini meliputi lembaga inteligen, lembaga

pengadilan, kepolisian, kemiliteran, dan lembaga-lembaga

yang berada di bawah kekuasaan masing-masing lembaga

ini.

3. Lembaga-lembaga kebudayaan; lembaga-lembaga ini

melakukan aktivitas dalam bidang penanaman normanorma

sosial, pendidikan dan pengajaran, pendidikanpendidikan

teoretis dan praktis, menyampaikan informasi

kepada seluruh masyarakat, dan pemsyarakatan ilmu

pengetahuan di tengah-tengah masyarakat luas.

p:183

4. Lembaga-lembaga politik; lembaga-lembaga ini

memanajemen, mengatur, dan mengaplikasikan seluruh

kebijakan politik, keamanan, dan kebudayaan di tengahtengah

masyarakat atau negara. Melalui perantara

lembaga-lembaga yang lain dan dalam bentuk pemerintah,

lembaga-lembaga ini menuntun dan memanajemen

masyarakat politis ke arah kesempurnaan. “Institusi

kepemimpinan” atau “pemimpin politik” berada di

puncak piramida lembaga-lembaga politik. Secara umum,

ia adalah kepala pemerintah dan negara. Ia bertanggung

jawab dalam mengorganisir seluruh anggota masyarakat

secara universal melalui perantara setiap lembaga tersebut

di atas.

Dalam menetapkan para penanggung jawab untuk setiap

lembaga di atas, pemimpin politik harus memilih individuindividu

yang berakal, bertakwa, komitmen memberikan

nasihat, pemegang rahasia, setia pada tugas, siap berkorban,

taat, dan memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman

berkenaan dengan tugas mereka. Dalam lembaga-lembaga

tersebut, setiap orang harus berada dalam hierarki kelembagaan

sesuai dengan kompetensi dan kepatutan masing-masing

dalam pengawasan seorang manajer. Hal ini berlanjut hingga

sampai kepada pegawai atau buruh biasa.(1)

Secara global, untuk menunjuk orang-orang yang

bekerja di setiap lembaga politik, ekonomi, keamanan, dan

kebudayaan, beberapa poin berikut ini harus diperhatikan

dengan seksama:

p:184


1- 354 Ibid., hlm. 284.

a. Mementingkan orang yang lebih layak; memilih dan

menunjuk individu-individu untuk duduk di sebuah posisi

dan lembaga harus dilakukan dengan berlandaskan pada

dua pilar fundamental; yaitu kepatutan dan kompetensi.

Penunjukan dengan memperhatikan kedua pilar ini juga

mengandung unsur keadilan. Dengan memperhatikan

unsur kepatutan dan kompetensi, kemampuankemampuan

teoretis dan praktis, pengalaman yang

bermanfaat, dan kriteria-kriteria lain yang diperlukan

dalam merekrut pegawai pasti diindahkan.

b. Memilah tanggung jawab; artinya, setiap orang yang

berada pada sebuah kedudukan dan jabatan bertanggung

jawab atas tugas dan kewajiban yang telah dipasrahkan

kepadanya.

c. Memilah profesi dan pekerjaan; pekerjaan dan tanggung

jawab yang berbeda-beda jangan diserahkan kepada

satu orang. Alasannya, pertama, setiap individu

memiliki keistimewaan dan kriteria khusus. Ia memiliki

kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan

khusus dalam bidang-bidang yang khusus pula. Kedua,

orang yang memiliki satu pekerjaan, karena kejelian yang

ia tumpahkan untuk pekerjaan ini, perlahan-lahan ia akan

mempelajari seluk-beluknya dengan cermat. Akibatnya,

ia akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga.

Akan tetapi, jika kejelian dan semangatnya terbagi-bagi

untuk aneka ragam pekerjaan, seluruh pekerjaannya akan

terbengkalai dan ia tidak akan mengalami kemajuan.

Akibatnya, ia tidak akan memperoleh kemahiran dan

p:185

pengalaman yang cukup. Ketiga, sering terjadi dua

pekerjaan atau lebih yang diserahkan kepada satu orang

harus dilaksanakan dalam satu waktu. Jika ia memilih

salah satunya, maka pekerjaan yang lain akan terbengkalai.

Dalam proses regulasi dan organisir, orang-orang yang

memiliki kemampuan mengerjakan aneka ragam pekerjaan

harus diberi sebuah pekerjaan terbaik dan terpenting yang

dapat ia lakukan.

Sembari memperhatikan tiga poin di atas, dalam rangka

mewujudkan sebuah negara yang berperan menenetukan

jalan petunjuk, pemimpin politis harus meregulasi dan

mengorganisir beberapa hal berikut ini secara benar dalam

koridor pemerintah:

a. Regulasi Bidang Ekonomi
Point

Tak ubahnya seperti seorang manusia, supaya bisa langgeng

dan hidup makmur, negara dan pemerintah memerlukan

sebuah ekonomi yang telah teregulasi. Ekonomi yang telah

teregulasi secara benar dapat menambah kekuatan negara

dan pemerintah, serta menjaga masyarakat tetap berada di

atas jalan kesempurnaan, berikut membantunya menggapai

kebaikan dan kebahagiaan.

Supaya regulasi ekonomi dapat terwujud dengan benar

dalam ruang lingkup nasional, sebelum segala sesuatu

pemimpin politis harus memisahkan harta pribadinya dari

harta negara. Harta pribadi termasuk hak milik pribadi

pemimpin politis, tak ubahnya seperti anggota masyarakat

p:186

yang lain. Akan tetapi, harta negara adalah harta masyarakat

yang dimiliki oleh seluruh rakyat. Pada kesempatan ini,

kita akan menelaah harta dari tiga sisi; yaitu pendapatan,

pemeliharaan, dan pengeluaran.

Pendapatan (Sumber Income Pemerintah)

Sumber income pemerintah dihasilkan melalui empat jalan.

Tidak berbeda dengan pekerjaan dan pendapatan pribadi

setiap warga, dalam memperoleh pendapatan, pemerintah dan

pemimpin politis harus mengindahkan tiga syarat berikut ini:

1. Menghindari tindak kezaliman; income pemerintah tidak

boleh diperoleh melalui cara-cara seperti hegemoni atas

rakyat, menjajah dan mengeksploitasi negara lain, atau

cara-cara lain yang keluar dari konsep keadilan dan

termasuk cara-cara yang lalim. Dengan ini, pemimpin

politis tidak boleh mempergunakan empat harta berikut

ini:

Pertama, sumber kehidupan yang dimiliki oleh orangorang

baik.

Kedua, harta anak yatim.

Ketiga, harta orang-orang yang bepergian jauh dan

masih ada harapan akan kembali. Begitu juga harta yang

diamanatkan oleh rakyat.

Keempat, harta wakaf.(1)

2. Menghindari cela dan aib; income pemerintah tidak boleh

diperoleh melalui jalan yang ceroboh, menghinakan diri,

atau mencoreng wajah negara dan rakyat dalam opini

p:187


1- 355 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 34.

internasional, seperti penyelundupan, menjual harga diri,

atau membentuk sindikat-sindikat ilegal internasional.

3. Menghindari kehinaan; income pemerintah harus diperoleh

dengan cara menciptakan proyek dan strategi yang pantas

dengan posisi dan kemampuan rakyat. Sebagai contoh,

jika lahan pekerjaan dan industri bisa diciptakan di dalam

negeri, maka kita tidak boleh mengirim rakyat ke negeri

sebagai tenaga kerja. Jika kaum terpelajar dan para medis

bisa dikirim sebagai duta negara, maka kita tidak boleh

mengirimkan pekerja biasa.(1)

Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas, pemimpin

politis harus mengklasifi kasikan income pemerintah ke dalam

empat bagian berikut ini:

Warisan Orang-Orang Terdahulu

Warisan orang-orang terdahulu ini adalah seluruh harta yang

tersisa dari kerajaan para raja terdahulu.(2) Harta warisan ini

meliputi seluruh tanah air dan segala sesuatu yang terdapat di

dalamnya dan bisa menghasilkan income, seperti harta negara,

jalan-jalan raya, jalan-jalan perkampungan, peninggalanpeninggalan

arkeologis, dan lain-lain.

Harta Rakyat
Point

Sumber income kedua pemerintah berasal dari harta yang

dimiliki oleh para warga. Sumber income yang disebut dengan

nama “pajak” ini dipungut dari empat golongan masyarakat:

p:188


1- 356 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 211.
2- 357 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 29.
a. Kaum Petani

Kaum petani adalah warga negara yang menjalani kehidupan

mereka sehari-hari dengan jalan bekerja di atas sepetak

tanah. Mereka adakalanya adalah orang-orang mampu dan

adakalanya pula orang-orang miskin. Tanah yang mereka

gunakan sebagai lahan pertanian adakalanya adalah tanah

yang kerontang dan adakalanya pula tanah yang subur nan

bagus. Jika mereka adalah orang-orang yang mampu dan tanah

lahan pertanian mereka adalah tanah yang subur, maka hasil

panen mereka dipungut satu per sepuluh sebagai pajak. Akan

tetapi, jika tanah lahan pertanian mereka adalah tanah yang

kering kerontang, maka hasil panen mereka dipungut satu per

dua puluh sebagai pajak. Apabila mereka adalah para petani

yang miskin, maka biaya cocok tanam mereka harus disisihkan

dan pajak sebanyak satu per sepuluh atau satu per dua puluh

dibebankan kepada penghasilan murni mereka. Apabila biaya

cocok tanam itu sama atau lebih banyak dari penghasilan

mereka, maka mereka tidak dikenai beban pajak.(1)

Pada masa kini di mana jumlah penduduk dan wilayah

kian bertambah banyak, pemungutan pajak masih merupakan

sebuah kewajiban yang lumrah.

Menurut para penguasa yang adil, seluruh tanah dan

kebun harus dikalkulasi berapakah harus dipungut dalam

setahun yang makmur, setahun yang sedang, dan setahun

yang buruk; apakah dipungut satu per sepuluh atau satu per

dua puluh, sekiranya tidak terlalu mahal dan juga tidak terlalu

murah. Hasil pungutan ini disebut “pajak”. Jika tanah tidak

p:189


1- 358 Ibid.

ditanami pada setiap tahun atau kebun tidak berbuah setiap

tahun, maka pajaknya dipungut setengah. Tanah dan kebunkebun

ini harus diperiksa kembali dalam setiap beberapa tahun

sekali. Jika tanah dan kebun yang makmur menjai rusak, maka

pajaknya menjadi gugur. Jika tanah dan kebun yang sudah

rusak ini dimakmurkan kembali, masalah ini tidak keluar dari

dua kondisi:

Pertama, kerusakan tanah dan kebun itu berjalan sangat

panjang. Dalam kondisi ini, dalam rentang masa tiga puluh

tahun, mereka dibebaskan dari kewajiban pajak selama tiga

tahun. Setelah tiga tahun berlalu, mereka hanya dikenai

kewajiban pajak sebanyak setengah hingga sepuluh tahun. Yang

demikian ini supaya mereka tetap hidup dalam kemakmuran

dan tentunya penduduk pasti menyukai hal ini.

Kedua, kerusakan tanah dan kebun itu hanya berjalan

singkat. Dalam kondisi ini, biaya pemakmuran tanah dan

kebun itu disisihkan. Lalu, dipungut pajak.(1)

Jika kebun dirubah menjadi tanah pertanian atau tanah

pertanian dirubah menjadi kebun, negara harus memungut

pajak secara adil. Pajak yang dipungut dari seluruh wilayah

kekuasaan negara harus dipungut sejalan dengan ketentuan

undang-undang, sesuai dengan kondisi kehidupan dan

okonomi masing-masing masyarakat, dan demi kemaslahatan

dan keuntungan seluruh penduduk.

b. Kaum Saudagar dan Pedagang

Para raja kuno yang adil sering kali tidak memungut apa pun

dari para saudagar dan pedagang, kecuali sebuah pemberian

p:190


1- 359 Ibid., hlm. 30-31.

yang diberikan kepada negara dari modal utama mereka.

Jumlah pemberian ini adalah satu per dua ratus empat puluh

dari modal dan satu per seratus dua puluh dari keuntungan.(1)

Atas dasar ini, pemimpin politis harus memungut pajak dari

golongan ini secara adil.

c. Para Peternak

Pemimpin politik, tak ubahnya seperti tindakan para

penguasa kuno yang adil, dalam memungut pajak dari para

peternak harus memperhatikan dua hal: pertama, binatang

ternak berjumlah cukup banyak, dan kedua, binatang ternak

itu digembala di padang rumput.(2) Ia juga harus mewajibkan

pajak atas mereka sesuai dengan tempat mereka hidup dan

kemaslahatan negara.

d. Harta Tak-berpemilik

Harta ini memiliki empat jenis:

Pertama, harta warisan yang tidak memiliki pewaris. Kedua,

seseorang yang pernah memakan uang negara atau menerima

uang suap, dan karena masalah ini, ia harus membayar ganti

rugi. Ketiga, harta utang yang tidak memiliki penagih dan

harta hilang (yang tidak mempunyai pemilik). Keempat, harta

seseorang yang tidak jelas apakah ia sudah meninggal dunia

atau masih mendekam dalam jeruji penjara, sedangkan ia tidak

memiliki pewaris. Jika pemilik kedua harta terakhir ini tiba-tiba

datang, maka ganti harta itu harus diserahkan kepadanya.

p:191


1- 361 Ibid.
2- 361 Ibid.

Semua harta itu berada dalam hak prerogatif negara.(1)

Adapun harta yang berhasil dirampas dari tangan para

pemberontak dan pihak musuh dapat diklasifi kasikan dalam

dua golongan:

 Harta, persenjataan, binatang tunggangan, dan lain

sebagainya yang berhasil dirampas oleh pasukan negara

dari tangan para tawanan. Seluruh harta yang berhasil

mereka rampas ini diberikan kepada mereka sendiri.

Untuk harta selebihnya, penguasa mengambil seperlima

untuk keperluan hidupnya dan sisanya dibagikan di

antara prajurit; prajurit penunggang kuda diberi jatah dua

dan pasukan pejalan kaki diberi jatah satu.

 Harta yang berhasil ditemukan oleh pasukan negara,

seperti sumber mata air, tanah, binatang ternak, dan

seluruh harta kekayaan yang ada di wilayah itu. Seluruh

harta ini adalah milik penguasa.(2)

Kompetensi Negara

Sumber income ini diperoleh karena kompetensi negara,

pemimpin politik, dan seluruh aparat pemerintah dalam

mengelola. Sumber pendapatan ini adalah empat jenis:

1. Pembangunan; pembangunan ini meliputi usaha

menghidupkan tanah yang mati dan tidak pernah

makmur, atau tanah yang pernah makmur dan menjadi

mati setelah beberapa masa berlalu. Usaha ini meliputi

tanah pertanian, lahan arsitektural dan bangunan, dan lain

sebagainya. Syaratnya, apabila tanah ini adalah sebuah

p:192


1- 362 Ibid., hlm. 31-32.
2- 363 Ibid., hlm. 32.

tanah yang berpemilik, maka seluruh hak harus diberikan

kepada pemiliknya.

2. Sumber-sumber tambang; sumber-sumber tambang ini

berupa emas, perak, besi, mutiara, dan barang-barang

tambang yang lain.

3. Jasa pelayanan; seluruh pendapatan yang diperoleh

karena aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh rumahrumah

penduduk, para pedagang, dan pusat-pusat jualbeli

emas.

4. Perburuan dan industri penangkapan ikan; saham negara

yang diperoleh dari penangkapan ikan di laut dan

perburuan binatang di padang terbuka.(1)

Keempat jenis pendapatan ini dapat dilaksanakan di pasar

dalam negeri dan luar negeri.

Dalam memperoleh pendapatan yang didasari oleh

kecakapan mengelola ini, pemimpin politis tidak boleh

menerima pekerjaan dan proyek-proyek yang bertentangan

dengan kemaslahatan umum atau kemuliaan dan kedudukan

diri dan rakyatnya.

Para raja besar enggan menerima empat harta:

Pertama, uang hasil pemerasan guna menjamin keamanan

jalan dan jalur kapal laut.

Kedua, harta yang dihasilkan dari uang kotor.

Ketiga, keuntungan yang diperoleh dengan cara membeli

barang keperluan rakyat dengan harga murah dan menjualnya

dengan harga mahal.

p:193


1- 364 Ibid.

Keempat, harta yang diterima dari para pelaku kriminal

dan dosa, seperti membunuh atau memukul orang lain, dengan

syarat mereka dibebaskan dari hukuman yang berlaku.(1)

Atas dasar ini, pemimpin politik harus mengambil

kebijakan dan langkah-langkah jitu sehingga:

 Negara tidak menjadi negara yang memeras uang rakyat.

Menjamin keamanan jalur perjalanan darat, laut, dan

udara adalah salah satu tugas dan kewajiban negara,

bukan sumber pendapatan.

 Pemimpin politik harus menghindari setiap kebijakan

dan transaksi yang dapat menghancurkan nilai mata

uang negara di hadapan mata uang asing, sekalipun

kebijakan dan transaksi ini secara lahiriah mendatangkan

keuntungan besar bagi negara.

 Pemimpin politik jangan memperlakukan rakyat dengan

tolok ukur bisnis, dan lalu menimbun kebutuhan umum

guna menjualnya dengan harga yang mahal.

 Pemimpin politik jangan menjadikan kompensasi dosa

yang pernah dilakukan penduduk sebagai sumber

pendapatan negara dan meliburkan hukum Ilahi karena

sepeser uang. Jika hal ini terjadi, sebagai ganti dari

kewajiban yang harus dilakukan dan memimpin negara,

ia malah menjadi sebab utama dominasi penyembahan

harta.

p:194


1- 365 Ibid., hlm. 32-33.
Nasib dan Rezeki
Point

Sumber pendapatan terakhir negara adalah nasib dan rezeki

yang dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih kepada

pemimpin politik dan negara. Kita bisa menyebutkan dua jenis

pendapatan yang diperoleh melalui jalan ini:

Pertama, harta yang diberikan oleh penduduk kepada

pemerintah, seperti lahan dan bangunan sekolah.

Kedua, harta karun yang ditemukan secara tibatiba.

(1)

Pemeliharaan

Pengeluaraan dan pembiayaan adalah suatu realita yang

tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, tanpa pemanfaatan

dan investasi harta negara dengan benar, pemeliharaan

modal dan sumber keuangan negara tidak mungkin dapat

terlaksana dengan baik. Supaya dapat memelihara harta

negara dalam ranah nasional dengan baik, pemimpin politik

harus memperhatikan tiga syarat berikut ini:

Pertama, kehidupan sehari-hari rakyat jangan sampai

terganggu. Kedua, agama dan harga diri tidak boleh tercoreng.

Alasannya, jika kita tidak membantu orang-orang yang

sedang membutuhkan padahal kita memiliki harta kekayaan,

jelas tindakan kita ini sangat jauh dari ajaran dan tuntunan

agama. Jika kita enggan menghibahkan sebagian harta kita

kepada orang-orang yang memerlukan sebagian harta itu atau

orang-orang yang bersimbah diharibaan kita dan memohon

demi harga diri kita, jelas tindakan kita ini jauh dari peri

kemanusiaan. Ketiga, tidak melakukan sebuah kehinaan seperti

p:195


1- 366 Ibid., hlm. 33.

kekikiran dan kerakusan.(1)

Jika ketiga syarat di atas tidak terpenuhi, maka tujuan asli

setiap individu dan masyarakat; yakni menggapai keutamaan,

tidak akan pernah tercapai. Apabila ketiga syarat tersebut

terpenuhi dengan baik, maka harta kekayaan masyarakat

umum dapat dipelihara dengan tiga cara berikut ini:(2)

1. Tabungan; maksudnya, pengeluaran jangan sampai imbas

atau lebih banyak dari pemasukan. Idealnya, pengeluaran

harus berjumlah lebih sedikit daripada pemasukan.

2. Investasi yang logis; maksudnya, kita jangan melakukan

investasi untuk sebuah produksi atau di sebuah tempat

yang keuntungannya sulit diperoleh atau terlalu sedikit.

3. Kelarisan dan kesuksesan yang kontinyu; maksudnya,

kita harus selalu memelihara supaya profesi masyarakat

senantiasa aktif, dan lebih mementingkan keuntungan

yang datang secara terus menerus, sekalipun sedikit, atas

keuntungan-keuntungan yang hanya muncul secara tibatiba.

Seorang yang berakal jangan sampai lupa menyimpan

bahan makanan dan harta kekayaan sehingga ia dapat

memanfaatkannya pada saat-saat diperlukan dan pekerjaan

tidak ada, seperti masa kemarau dan pada saat ia sakit.

Menurut pandangan para ahli, ia harus memiliki tiga jenis

harta kekayaan:

Pertama, mata uang.

Kedua, barang-barang keperluan dan makanan.

p:196


1- 367 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 213.
2- 368 Ibid.

Ketiga, tanah, kebun, dan binatang ternak.

Dengan demikian, jika salah satu harta kekayaan di atas

mengalami gangguan, maka ia dapat menutupi kekurangan

dengan dua harta kekayaan yang lain dengan mudah.(1)

Menilik prinsip utama dan poin-poin penting di atas,

pemimpin politik harus memiliki program dan kebijakan

yang jitu untuk masa sekarang dan masa depan. Berikut

memprediksi kemungkinan bencana-bencana alam dan krisiskrisis

politik-ekonomi dalam ranah nasional dan internasional

terjadi. Dengan ini, ia akan memiliki sumber kekayaan untuk

dikelola, lebih-lebih untuk disimpan, guna menutupi kerugian

yang timbul dan melalui krisis-krisis yang muncul. Untuk itu,

ia harus memanfaatkan cadangan-cadangan yang beraneka

ragam, khususnya cadangan valuta asing (foreign exchange

reserves). Dengan harapan, apabila nilai sebuah cadangan

runtuh, kerugian akibat keruntuhan nilai ini dapat ditutupi

dengan nilai cadangan-cadangan yang lain.

Pengeluaran

Pengeluaran dan pembelanjaan harta negara harus dilakukan

secara benar dan dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan

negara. Untuk itu, dalam menggunakan harta negara, kita

harus menghindari empat hal berikut ini:

 Kekikiran dan pikiran yang pendek; pemimpin politis

tidak boleh terlalu kikir dalam menentukan hak para

pekerja, pegawai, dan penduduk. Ia harus menentukan

gaji yang cukup, pendapatan yang sesuai, dan kebutuhankebutuhan

utama kehidupan mereka.

p:197


1- 369 Ibid.

 Berfoya-foya dan menghambur-hamburkan harta;

pemimpin politik tidak boleh membelanjakan harta negara

untuk keperluan-keperluan yang tidak dibutuhkan,

seperti untuk kelezatan dan mengumbar syahwat. Untuk

memenuhi kebutuhan utama kehidupan pun, ia tidak boleh

membelanjakannya melebihi batas yang diperlukan.

 Riya dan berbangga diri; pemimpin politik tidak layak

memberikan bantuan-bantuan yang tidak diperlukan

kepada orang lain hanya dengan tujuan untuk membanggabanggakan

diri.

 Manajemen yang buruk; maksudnya adalah pengeluaran

yang lebih sedikit atau lebih banyak dari keperluan yang

dibutuhkan.(1)

Dengan melihat empat hal di atas, pemimpin politis harus

membelanjakan uang dan pendapatan negara untuk hal-hal

berikut ini:(2)

a. Para pegawai, staf luar negeri, dan prajurit; mereka

memiliki hubungan dengan negara dan bekerja untuk

negara. Karena itu, pendapatan mereka juga harus dijamin

oleh negara. Jika tidak demikian, mereka tidak akan

bersemangat dalam melaksanakan tugas dan mungkin saja

akan menggelapkan harta negara, korupsi, atau menerima

uang pelicin. Sebaliknya, jika pendapatan mereka dijamin

oleh negara, mereka akan memandang harta negara

dengan penuh penghormatan, dapat mengalahkan hawa

p:198


1- 370 Ibid.
2- 371 Dalam Rasm-e Podesyohon-e Qadim, Khajeh Nashiruddin Thusi memisahkan posisi duta besar dari posisi staf kementerian luar negeri dan laskar. Ia menilai bahwa jaminan sosial adalah sama dengan kemaslahatan kota dan wilayah. Klasifikasi berikut ini diuraikan berdasarkan situasi dan kondisi masa kini.

nafsu, tidak memeras uang rakyat, dan tidak berani

mengutik uang mereka.

b. Kemaslahatan kota dan wilayah; yakni anggaran dan dana

yang dialokasikan demi kemaslahatan dan kepentingan

kota dan wilayah tertentu.

c. Layanan sosial; layanan sosial harus diberikan kepada

orang-orang yang tidak mampu, orang-orang miskin,

anak-anak yatim, dan kaum wanita yang tak bersuami.

d. Media hubungan antarmasyarakat; media hubungan

antarmasyarakat, baik berupa layanan pos maupun

transportasi, harus memperoleh perhatian oleh seorang

pemimpin politik. Melalui pos, surat-surat negara akan

sampai ke seluruh pojok negara dan seluruh informasi

penting dapat disampaikan kepada pusat negara dengan

mudah. Lebih dari itu, ketika banyak tempat dan jalur yang

digunakan oleh penduduk, negara harus menyiapkan

fasilitas yang mereka perlukan, seperti membangun

jalan umum, menjamin keamanan, fasilitas transportasi,

dan pusat-pusat penginapan. Para raja masa lalu juga

bertindak demikian. Banyak penduduk yang melakukan

perjalanan dari satu tempat ke tempat lain atau pergi

melakukan rekreasi. Semua mereka memanfaatkan

binatang tunggangan yang telah dipersiapkan dari harta

negara dan dikirim ke kota dan wilayah sehingga mereka

tidak perlu bersusah-payah menyiapkan keledai.(1)

p:199


1- 372 Muhammad bin M.N. Thusi: Resoleh-e Rasm va Oyin-e Podesyohon-e Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va Masoref-e On, hlm. 24.

Jika pemimpin politik memperhatikan seluruh prinsip dan

poin-poin di atas dalam regulasi ekonomi, bisa diharapkan

urusan ekonomi akan semarak dan kebahagiaan serta

ketentraman madani penduduk akan terealisasi dan keadilan

madani pun akan terwujud. Para raja yang adil masa lalu juga

telah bertindak sesuai dengan prinsip ini. Seluruh wilayah

kekuasaan mereka makmur, seluruh penduduk dan laskar

mereka tentram, pengeluaran kerajaan lebih kecil dibandingkan

dengan pemasukan, kas kerajaan senantiasa penuh dengan

harta yang meruah, dan harta karun melimpah. Dengan ini,

nama mereka senantiasa dikenang dengan harum.(1)

b. Regulasi Bidang Keamanan Politik dan Sosial

Dalam pembahasan regulasi bidang sosial, telah dipaparkan

faktor dan pribadi-pribadi yang mungkin dari dalam dapat

menghancurkan negara atau menyelewengkannya dari jalan

kebahagiaan dan kesempurnaan, serta mengganggu keamanan

penduduk. Di samping itu, metode yang harus dilakukan oleh

pemimpin politik terhadap mereka juga telah dikupas. Pada

kesempatan ini, sesuai dengan metode yang berlaku di alam

natural, setelah regulasi bidang ekonomi rampung, kini tiba

giliran regulasi bidang keamanan pemerintah.

Setelah bidang ekonomi diregulasi, pemerintah hidup

sebagai sebuah entitas politis dan memiliki kemampuan untuk

melanjutkan eksistensinya. Oleh karena itu, dengan melakukan

regulasi kekuatan yang tangguh, ia harus membasmi seluruh

bahaya yang datang dari pemerintah dan negara asing, atau

ancaman yang berasal dari para pemberontak dalam negeri

p:200


1- 373 Ibid.

dan pengancam kestabilan sosial yang dapat menggoyahkan

keamanan dan kelanggengan eksistensi pemerintah. Kekuatan

ini adalah bagian dari klasifi kasi kedua profesi; yakni “ahli

pedang”. Golongan ini adalah kelompok masyarakat yang

terorganisasi secara sistemik. Dengan menciptakan keamanan

dan kestabilan di dalam dan luar negeri, mereka memelihara

dan menjaga fondasi pemerintah. Kepolisian bertugas

menciptakan keteraturan dan keamanan di seluruh penjuru

negara, memelihara norma, nilai, dan undang-undang yang

berlaku di masyarakat, serta menopang struktur negara dan

seluruh aparaturnya. Tugas angkatan bersenjata tersimpulkan

dalam empat hal berikut ini:

Pertama, memelihara kekuatan dan wibawa pemerintah

dan pemimpin politik.

Kedua, membasmi para pemberontak dalam negeri dan

musuh luar negeri.

Ketiga, menjamin keamanan warga negara dari ancaman

asing dan bisa pula ancaman dalam negeri.

Keempat, menjamin keamanan jalan dari ancaman para

pencuri dan sampai-sampai ancaman binatang buas.(1)

Atas dasar ini, pemimpin politik menegakkan keteraturan

serta keamanan dalam dan luar negeri melalui perantara

kepolisian dan angkatan bersenjata. Untuk memilih anggota

kepolisian dan angkatan bersenjata, ia harus menentukan tolok

ukur-tolok ukur khusus, di samping ketentuan-ketentuan

umum pemilihan aparatur negara. Salah satu contoh tolok

ukur-tolok ukur khusus adalah keberanian, ketaatan, kesiapan

p:201


1- 374 Ibid., hlm. 29.

jasmani dan militer. Supaya regulasi angkatan bersenjata

dapat dengan baik menjalankan tugas membela negara dan

penduduk dari ancaman musuh asing, maka pemimpin politik

harus memilih orang-orang yang memiliki kriteria berikut

ini:(1)

Mampu dan siap menjadi anggota militer, serta bisa

berjalan bersama dengan anggota militer yang lain.

Setia kepada pemimpin politik dan satu hati dengannya.

Taat mutlak kepada pemimpin politik. Dengan ini, mereka

tidak akan berani melakukan apa pun tanpa perintah

darinya.

Terpelajar dan aktif; artinya, mereka telah menguasai ilmu

kemiliteran dan siap hadir di medan perjuangan.

Syarat-syarat pemilihan aparat negara tersebut di atas,

khususnya untuk anggota militer, sangat penting sekali.

Mereka yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat ini tidak

memiliki kelayakan untuk menjadi anggota lembaga militer.

Jika mereka masih saja diterima sebagai anggota lembaga

militer, niscaya mereka akan menyeret angkatan bersenjata

negara kepada kemusnahan.

Akhirnya, setelah regulasi bidang militer terlaksana

dengan baik, pemimpin politis harus memenuhi empat hal

berikut ini:(2)

1. Menjamin logistik; sebagaimana para adil masa lampau

menyiapkan pangan, sandang, senjata, binatang

tunggangan, makanan binatang, dan lain sebagainya untuk

p:202


1- 375 Ibid., hlm. 28.
2- 376 Ibid., hlm. 28-29.

laskar mereka. Pemimpin politis juga harus menyiapkan

seluruh fasilitas yang diperlukan pasukannya untuk

berperang.

2. Mengatur hierarki dan pangkat militer; pemimpin politik

harus menentukan posisi para komandan dan prajurit.

Dengan memperhatikan posisi dan pangkat masingmasing,

ia harus memperlakukan mereka sesuai dengan

posisi dan pangkat tersebut.

3. Memberi penghargaan; pemimpin politik harus

menghargai dan mengagungkan usaha anggota militer

yang berkhidmat dengan lebih baik. Di samping kenaikan

pangkat, ia juga harus menganugerahkan hadiah materi

dan memberikan kehidupan yang layak kepada mereka.

Setelah mereka meninggal dunia sekalipun, demi

menghargai nama dan jasa mereka, keluarga mereka yang

masih hidup harus diberi dukungan finansial.

4. Memberi gaji yang layak; gaji yang layak sangat urgen

sekali supaya mereka tidak serakah terhadap harta

orang lain, tidak berbuat lalim terhadap penduduk, dan

demi mencegah supaya mereka tidak memberontak dan

berkhianat kepada negara dan pemimpin politis. Ia juga

harus memberikan saham rampasan perang kepada

mereka secara adil.

c. Regulasi Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan

Regulasi bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah

sebuah kebijakan tertinggi yang dilakukan oleh sebuah

negara dalam rangka manajemen politik sebuah masyarakat.

p:203

Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan

adalah fasilitas-fasilitas negara dan pemimpin politik untuk

melakukan kebijakan-kebijakan yang perlu guna menggapai

tujuan puncak sebuah manajemen politik; yakni mengantarkan

seluruh anggota masyarakat kepada kesempurnaan dan

kebahagiaan puncak. Melalui fasilitas-fasilitas ini, pemimpin

politik memberikan pendidikan dan hidayah kepada anggota

masyarakat supaya mereka bisa sampai kepada kesempurnaan

dan kebahagiaan akhir. Lembaga-lembaga ini bertanggung

jawab mengembangkan keilmuan dan budaya masyarakat.

Dengan cara menyusun program dalam berbagai bidang

ilmu pengetahuan dan kebudayaan, ia memperkenalkan

kesempurnaan-kesempurnaan yang mampu diraih oleh seluruh

anggota, sekalipun mereka belum memilikinya untuk sementara

ini. Lebih dari itu, lembaga-lembaga ini juga mengarahkan

mereka untuk meraih kesempurnaan-kesempurnaan yang

memang mampu mereka gapai. Proses penanaman kultur

masyarakat, pendidikan anak-anak dan remaja, pendidikan

untuk para penuntut ilmu pengetahuan secara spesialis dalam

usia yang berbeda-beda, dan meningkatkan pengetahuan dan

kebudayaan anggota masyarakat adalah tugas-tugas penting

yang diemban oleh lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan

kebudayaan ini.

Atas dasar ini, melihat urgensi tugas-tugas khusus yang

harus diemban oleh lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan

kebudayaan, dalam upaya meregulasinya, pemimpin politik

harus memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki oleh para

ulama dan ilmuwan sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.

p:204

Ia harus menempatkan mereka yang memiliki posisi ilmiah

dan spesialisasi yang lebih unggul dibandingkan dengan yang

lain, serta kemampuan manajemen sebagai kepala lembagalembaga

tersebut. Jelas, untuk urusan ini, ia harus memilih

mereka dari kalangan klasifi kasi tabiat pertama; yaitu orangorang

yang secara tabiat adalah orang baik dan kebaikan

mereka sampai kepada orang lain.

3. Manajemen

3.1. Toleransi terhadap Rakyat

Dalam konsep manajemen politik, setelah prinsip keadilan,

tidak ada keutamaan lain yang lebih agung dan lebih penting

daripada sikap toleransi terhadap rakyat dan berbuat

kebaikan kepada anggota masyarakat. Setelah melakukan

regulasi terhadap urusan masyarakat dengan berlandaskan

pada asas keadilan, untuk mengelola seluruh urusan ini,

pemimpin politis harus mengambil cara berbuat kebajikan

kepada anggota masyarakat. Mengapa demikian? Karena kita

dapat menarik hati mayoritas rakyat dengan cara kita berbuat

kebajikan kepada mereka. Hasilnya, akan terwujud sebuah

hubungan yang kokoh dan didasari oleh perasaan cinta. Jelas,

hubungan semacam ini adalah lebih kokoh dibandingkan

hubungan masyarakat dengan negara yang didasari oleh

keadilan semata.(1)

Kebajikan (ihsân) adalah memberikan seluruh fasilitas

dan kemudahan yang memang harus dibagikan di kalangan

masyarakat secara adil dengan cara melebihi hak yang mereka

miliki, sembari memperhatikan posisi dan kedudukan yang

p:205


1- 377 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 267.

dimiliki oleh masing-masing mereka.(1) Dengan ungkapan lain,

kebajikan adalah seluruh kebaikan dan pelayanan diterima

oleh anggota masyarakat melebihi kadar yang diwajibkan oleh

prinsip keadilan.(2)

Poin yang sangat menarik dalam masalah ini adalah

kebajikan ini harus disertai oleh kewibawaan serta keagungan

negara dan pemimpin politik. Alasannya, seluruh keagungan

dan nilai yang dimiliki oleh pemimpin politik dan negara

berasal dari kewibawaan ini. Memperhatikan urusan

masyarakat harus dilakukan dengan kebajikan yang disertai

oleh kewibawaan. Jika tidak demikian, kebajikan tanpa

kewibawaan akan menyebabkan rakyat tidak berterima kasih,

bertindak kurang ajar, dan serakah. Jika mereka sudah menjadi

rakus dan serakah, niscaya mereka tidak akan pernah puas.(3)

3.2. Menaati Undang-Undang

Penggembala menggembala kambing sebaik mungkin,

membawanya ke padang rumput dan tempat minum yang

rindang, menjaganya dari ancaman binatang buas dan

malapetaka langit dan bumi, menyiapkan tempat tinggal yang

layak untuk musim panas dan musim dingin, begitu pula

untuk siang dan malam hari. Dengan demikian, kehidupannya

sehari-hari dan kondisi binatang ternak itu akan teratur dengan

rapi.(4)

Pemimpin politik, dengan cara mewujudkan lahan dan

faktor-faktor sosial yang sesuai, harus menjamin seluruh

p:206


1- 378 Ibid.
2- 379 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 308.
3- 380 Ibid., hlm. 308-309.
4- 381 Ibid., hlm. 207.

kebutuhan yang merupakan tuntutan kekuatan syahwat

dan amarah yang dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat.

Setelah seluruh kebutuhan ini terpenuhi, setiap orang dapat

menggapai kesempurnaan yang memang dalam sebuah sistem

sosial yang sehat; sebuah kesempurnaan yang memang mereka

memiliki kemampuan untuk menggapainya.

Atas dasar ini, dengan cara meregulasi dan mengorganisir

masyarakat, pemimpin politik juga mempersiapkan lahan

dan faktor-faktor yang dapat membantu anggota masyarakat

menggapai kesempurnaan. Untuk itu, ia harus mewajibkan

mereka untuk mengindahkan undang-undang keadilan dan

keutamaan yang telah dijadikan sebagai fondasi utama regulasi

dan organisasi masyarakat.(1) Dengan cara mengindahkan

undang-undang ini, mereka dapat mencapai kebahagiaan

dan kesempurnaan sesuai dengan kemampuan dan kehendak

masing-masing.

Kewajiban “mengindahkan undang-undang” yang telah

ditetapkan oleh pemimpin politik untuk anggota masyarakat

adalah sebuah tindakan yang bijaksana. Mengindahkan

undang-undang dapat menyebarkan hikmah di tengah-tengah

masyarakat dan mencegah mereka dari penyelewengan. Begitu

pula dapat mencegah kerusakan, kemungkaran, dan dekadensi

muncul di tengah-tengah masyarakat. Jika kekokohan tubuh

kita terwujud karena alam natural, kekokohan alam natural

disebabkan oleh jiwa, dan kekokohan jiwa terjadi karena akal,

maka kekokohan sebuah negara terwujud karena seorang

pemimpin, kekokohan pemimpin terjadi karena syariat dan

politik, dan kekokohan syariat dan politik terbentuk karena

p:207


1- 382 Ibid., hlm. 309.

hikmah.(1)

Hikmah adalah mengetahui segala sesuatu sebagaimana

adanya dan melakukan tugas sebagaimana mestinya

sesuai dengan kemampuan, sehingga jiwa insani mencapai

kesempurnaan yang memang sedang ia tuju.(2) Jika hikmah

ini menguasai masyarakat dan undang-undang yang hak

diterima dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat, maka

keteraturan akan terwujud dan kesempurnaan wujud akan

memperoleh perhatian yang semestinya. Akan tetapi, apabila

hikmah telah hengkang dari manajemen politik dan secara

otomatis dari tengah-tengah masyarakat, maka kehinaan akan

menguasai undang-undang, hiasan negara akan sirna, dan

fi tnah dan kerusuhan akan bergolak. Kenikmatan akan berubah

menjadi malapetaka. Para pengenyam kenikmatan akan selalu

diganggu oleh malapetaka yang diciptakan oleh orang-orang

yang dengki. Seluruh anggota masyara-kat akan melanggar

hak-hak sesama mereka. Seluruh tolok ukur dan konsep etika,

seperti mencintai sesama, saling bantu membantu, harga diri,

dan bahkan keberagamaan dan menaati politik negara, akan

sirnas; seluruh aturan, keamanan, dan sistem sosial akan

musnah.(3)

Dengan demikian, pemimpin politik harus bertindak

dengan berlandaskan pada dasar hikmah. Di samping itu,

dengan mewajibkan seluruh anggota masyarakat untuk

menaati undang-undang, ia harus menyemarakkan hikmah

di tengah-tengah masyarakat. Dengan tindakan ini, negara

p:208


1- 383 Ibid., hlm. 309; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 430.
2- 384 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 37.
3- 385 Ibid., hlm. 309; Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Muhtasyami, hlm. 430.

dan rakyat akan melangkah menuju kebahagiaan dan

kesempurnaan dalam sebuah keteraturan dan keamanan yang

sempurna.

3.3. Strategi Manajemen
Point

Setelah seluruh urusan negara terorganisir dengan baik,

tanggung jawab pemimpin politis belum berakhir. Ia jangan

membayangkan, karena seluruh urusan negara berada dalam

genggaman tangannya, ia akan memiliki waktu luang dan

ketenteraman yang lebih, dapat menikmati kenikmatankenikmatan

pribadi yang hanya berlangsung sekejap, atau

mencari hegemoni dan kemuliaan-kemuliaan yang bukan

haknya. Jika ia sibuk berfoya-foya dan lalai terhadap urusanurusan

penting negara, niscaya seluruh urusan negara akan

melemah dan kondisi yang kondusif menjadi kacau balau. Hal

ini disebabkan seluruh aparatur negara dan rakyat, karena

mengikuti jejaknya, juga akan mementingkan urusan syahwat

dan masalah duniawi. Seluruh faktor ini menyebabkan

kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan, persahabatan

berubah menjadi permusuhan dan kebencian, keteraturan

berubah menjadi kekacau-balauan, dan undang-undang Ilahi

mengalami ketimpangan.(1)

Dalam kondisi seperti ini, pemimpin politik kehilangan

kapabilitasnya untuk menjalankan manajemen politik sebuah

negara. Masyarakat terpaksa harus mencari seorang pemimpin

lain yang layak, legal, dan adil.

Pemimpin politik harus mengurangi waktu yang

dipergunakan untuk berfoya-foya, dan bahkan waktu untuk

p:209


1- 386 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 309.

mengerjakan kebutuhan-kebutuhan pokok yang diperlukan

dalam kehidupan sehari-hari, seperti makan, minum, tidur,

dan berbincang-bincang dengan ke-luarganya. Ia harus

menambah waktu untuk kerja, usaha, amal, berpikir, dan

mengatur urusan negara. Sekalipun untuk sekejap, ia tidak

selayaknya mengosongkan pikirannya dari urusan negara.

Hal ini karena kemampuan pikirannya untuk memelihara

dan menjaga negara adalah lebih kuat dan lebih berpengaruh

dibandingkan kemampuan laskar yang lain.(1)

Atas dasar ini, supaya dapat mengelola urusan negara

dengan benar, pemimpin politik harus memperhatikan

beberapa poin di bawah ini:

a. Pengawasan dan Kontrol Sosial
Point

Setelah harta kekayaan negara didistribusikan di tengah

masyarakat, karena tabiat mementingkan diri sendiri dan

selalu ingin memiliki harta terbanyak, ada kemungkinan harta

kekayaan negara ini tidak akan sampai kepada para penerima

yang berhak. Harta kekayaan tidak sampai kepada penerima

yang berhak bisa terjadi karena tindak kezaliman, seperti

perampasan dan pelecehan kehormatan, atau karena tindak

penipuan dalam transaksi dan kontrak.

Untuk itu, setelah usai mendistribusikan harta kekayaan

negara ke seluruh kalangan masyarakat, maka dengan cara

mengawasi dan mengambil kebijakan politik protektif,

pemimpin politik harus memelihara seluruh hak warga

negara; yakni harta kekayaan umum (musytarak). Ia tidak boleh

membiarkan satu hak pun dirampas dari tangan seseorang;

p:210


1- 387 Ibid., hlm. 309-310.

suatu tindakan yang berakibat merugikan pihak yang

bersangkutan, negara, atau masyarakat. Guna merealisasikan

hal ini, ia harus menjalankan dua jenis kebijakan berikut ini:

Kebijakan Kompensasi

Arti kebijakan kompensasi adalah apabila salah seorang

anggota masyarakat kehilangan haknya, maka pemimpin

politis harus memberikan ganti hak tersebut kepada anggota

masyarakat yang telah terzalimi atau tertipu ini. Pengganti ini

bisa berupa barang yang serupa dengan hak yang telah hilang

itu atau barang lain.

Dalam kebijakan kompensasi, memberikan barang

pengganti harus dilakukan sedemikian rupa sehingga

menguntungkan kemaslahatan negara atau paling tidak

mendatangkan kerugian bagi negara.

Jika seseorang mengambil kembali haknya atau hak orang

lain dengan cara yang dapat merugikan negara, sebenarnya ia

adalah orang yang zalim.(1)

Kebijakan Sanksi

Kebijakan sanksi dijalankan dalam rangka mencegah

kezaliman dan pelanggaran yang dilakukan oleh satu anggota

masyarakat terhadap anggota masyarakat yang lain. Pertama

kali, pemimpin politik harus meletakkan sebuah undangundang

yang adil guna menghukum para pelanggar hak orang

dan orang-orang yang zalim dengan jaminan aplikasi dari

negara. Dengan undang-undang ini, ia dapat mencegah orangorang

yang secara tabiat memang memiliki kecondongan

p:211


1- 388 Ibid., hlm. 308.

untuk berbuat zalim dan melanggar hak orang lain. Jika tindak

kezaliman dan pelanggaran ini memang terjadi, maka dengan

tujuan untuk mengingatkan atau paling tidak mencegah supaya

mereka tidak meneruskan tindakan itu, ia harus menghukum

mereka sesuai udang-undang yang berlaku dengan berbagai

jenis hukuman, seperti ganti rugi, hukum cambuk, penjara,

qisas, dan lain sebagainya. Dengan tindakan tegas ini, ia akan

bisa mencegah mereka supaya tidak melakukan pelanggaran

berikutnya, atau mencegah orang lain supaya tidak melanggar

hak-hak sesama anggota masyarakat.

Dalam menetapkan dan menjalankan hukum pidana,

seluruh hukuman harus sesuai dengan kadar kriminalitas,(1)

sehingga pemimpin politik tidak keluar dari garis keadilan,

hak orang-orang yang berbuat zalim tidak terinjak-injak, dan

keadilan dalam menjalankan hukuman bisa terpelihara.

Jika hukuman melebihi kadar kriminalitas, maka

orang yang telah berbuat kezaliman dan pelanggaran telah

terzalimi. Apabila hukuman kurang dari kadar kriminalitas

atau sekalipun hukuman melebihi kadar kriminalitas, maka

masyarakat telah terzalimi.(2)

b. Pengawasan dan Pemeriksaan Politik ( Administratif)
Point

Di samping pengawasan dan kontrol sosial yang dilakukan

setelah regulasi dan pengarahan anggota masyarakat, setelah

mengorganisir para pegawai dan aparatur negara, pemimpin

politis harus berpikir bagaimana mengawasi dan mengontrol

mereka. Dengan pengawasan ini, mereka akan melakukan

p:212


1- 389 Ibid.
2- 390 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 266.

tugas mereka dengan baik dan hak-hak rakyat tidak akan

diteledorkan atau dilanggar. Sebagaimana pernah ditegaskan

oleh Ghazali berikut ini:

Jika petugas penarik pajak bisa bergerak bebas, tidak

memiliki ketakwaan, dan tidak merasa takut terhadap

hukuman raja, maka ia akan mengantongi seluruh harta rakyat

dan menjerumuskan seluruh anggota masyarakat ke dalam

jurang kemiskinan dan kesengsaraan.(1)

Begitu pula, jika para pegawai dan aparatur negara

tidak merasa ada pengawasan atas setiap tindak-tanduk

mereka, maka sangat mungkin mereka akan teledor dalam

melaksanakan tugas, atau akan berbuat zalim terhadap

seluruh rakyat hanya demi mendulang kepentingan lahiriah

dan material.

Atas dasar ini, setelah mengorganisir seluruh instansi

pemerintah dan seluruh aparatur negara, pemimpin politik

harus mengawasi pekerjaan mereka dengan menggunakan

aneka ragam cara; entah ia sendiri secara langsung atau

wakilnya memeriksa pekerjaan mereka. Guna melakukan

pengawasan dan pemeriksaan secara lebih baik, ia harus

memperhatikan beberapa poin di bawah ini:

Menunjuk Para Informan Lokal dan Mengirim Pengawas

Pemimpin politik harus mengirim orang-orang khusus

secara rahasia guna meneliti peristiwa politik dan sosial yang

tersembunyi. Setelah itu, mereka akan memberikan informasi

penting kepadanya tentang kondisi wilayah dan kinerja para

penguasa daerah yang telah ia tunjuk. Dengan cara ini, ia dapat

p:213


1- 391 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 193.

mengawasi kinerja mereka.(1)

Menerima Kedatangan Rakyat yang Memerlukan

Regulasi dan organisasi urusan sosial bertujuan supaya seluruh

anggota masyarakat bisa memanfaatkan harta kekayaan negara

sesuai dengan hak dan kemampuan masing-masing. Dengan

demikian, jika seseorang memerlukan sebuah bantuan material

atau spiritual, atau mengadukan perkara guna mendepak

kezaliman, maka pemimpin politik harus memperhatikan

kebutuhan mereka dan menyelesaikan masalah mereka.

Dengan cara mencari informasi tentang kinerja para aparatur

negara, ia harus mengawasi cara kerja dan kinerja mereka.(2)

Percaya pada Pejabat dan Aparatur

Pemimpin politik menunjuk para pejabat dan aparatur negara

dalam aneka ragam bidang dan instansi berdasarkan pada

sebuah pengenalan yang fundamental dan kaidah yang paten.

Oleh karena itu, ia harus percaya penuh kepada mereka,

memberikan hak-hak menentukan penuh kepada mereka,

dan jangan serta merta mempercayai para penyebar fi tnah

dan penentang mereka. Sangat mungkin sekali para penyebar

fi tnah dan penentang ini merasa iri hati terhadap posisi mereka

itu. Akan tetapi, apabila seseorang datang mengadukan

keteledoran, kezaliman, atau kebejatan seorang aparat dengan

berlandaskan pada bukti akurat, pemimpin politik harus

menanggapi pengaduan ini dan mengambil sebuah keputusan

yang bijaksana.(3)

p:214


1- 392 Ibid., hlm. 310.
2- 393 Ibid., hlm. 309.
3- 394 Ibid.
Penghargaan dan Hukuman

Pemberian penghargaan dan hukuman termasuk bagian

penting dalam upaya pengawasan dan pemeriksaan. Apabila

kebijakan ini dijalankan, karena takut kepada hukuman, para

aparatur negara tidak akan berbuat kerusakan. Sebaliknya,

mereka akan terdorong untuk mengerjakan tugas mereka

dengan benar.(1)

c. Informasi; Menerima dan Memberi Informasi
Point

Manajemen sebuah urusan memerlukan informasi,

pengetahuan, dan spesialisasi tentang urusan ini. Manajemen

yang kontinyu memerlukan informasi dan berita yang kontinyu

pula tentang situasi dan kondisi yang sedang eksis di negara

dan pemerintah. Oleh karena itu, pemimpin politik harus

menjadikan informasi yang komprehensif dan benar sebagai

tolok ukur seluruh kebijakan dan manajemennya. Di samping

itu, ia juga harus mengetahui situasi negara, rakyat, aparatur

negara, dan para musuh dalam negeri. Begitu pula, ia harus

menguasi kondisi dan tujuan yang dimiliki oleh negara-negara

lain, khususnya pihak musuh asing. Pada saat diperlukan, ia

dapat memanfaatkan seluruh informasi dan pengetahuan ini.

Dan pada saat ia harus bertindak hati-hati, ia dapat menjauhi

mereka dan mengambil keputusan yang benar.

Guna merealisasikan hal ini, pemimpin politik harus

memperhatikan tiga poin hayati berikut ini:

p:215


1- 395 Ibid.
Mencari Informasi tentang Situasi Negara dan Pemerintah

Guna memperoleh informasi yang komprehensif tentang

urusan dan masalah yang sedang terjadi di tengah-tengah

masyarakat, pemimpin politik harus memanfaatkan sumbersumber

resmi dan nonresmi. Ia dapat memperoleh informasi

secara resmi dari para aparatur dan pegawai daerah. Salah

satu tugas mereka adalah mentransfer informasi berkenaan

seluruh aktivitas yang terjadi di daerah kekuasaan mereka.

Cara yang lain, ia juga dapat mengorek informasi dengan jalan

melakukan kunjungan resmi dan nonresmi, mengirimkan

pemeriksa dan informan daerah. Malah ia bisa pula mengorek

informasi dari anak-anak para penguasa daerah dan mereka

yang banyak tahu tentang urusan negara.(1)

Jalan terbaik untuk mengorek informasi adalah melakuan

penelitian dan berbincang-bincang dengan setiap sumber

informasi dan setiap orang. Alasannya adalah setiap orang

memiliki seorang sahabat karib yang sangat akrab. Ia pasti

mengutarakan seluruh rahasia dan informasi kepadanya secara

detail dan sempurna. Jika perbincangan sering berlangsung,

maka akan muncul sebuah tanda yang mengungkapkan

batinnya.(2)

Setelah memperoleh sebagian informasi, selama bukti dan

tanda-tanda belum sejalan dan serasi, pemimpin politik tidak

boleh mengambil sebuah kebijakan dan keputusan secara

tergesa-gesa.

p:216


1- 397 Ibid., hlm. 311.
2- 397 Ibid., hlm. 311.
Mencari Informasi tentang Urusan Keamanan Negara

Dalam rangka berperang melawan musuh, senjata terbesar dan

ter-ampuh adalah mengetahui rencana musuh. Oleh karena

itu, pemimpin politik dan negara harus senantiasa memiliki

informasi tentang keamanan masyarakat, baik keamanan

yang berhubungan dengan kemanan dalam negeri dan musuh

dalam negeri maupun keamanan luar negeri dan musuh

luar negeri. Di samping para aparatur dan pegawai negara,

ia juga dapat mengutus para informan daerah dan matamata

guna meneliti urusan rahasia dan penting, khususnya

tentang kondisi para musuh asing. Dengan cara ini, ia dapat

menjelaskan bagi negaranya seluruh tujuan dan politik musuh

yang terselubung. Dalam hal ini, ia harus memperhatikan

seluruh informasi dan berita yang sampai kepada negara, baik

informasi resmi maupun informasi nonresmi. Lebih dari itu,

ia juga harus mengetahui secara sempurna seluruh kelemahan

yang dimiliki oleh pihak musuh. Ia harus menyembunyikan

kelemahan-kelemahan ini sampai pada masa diperlukan

sehingga musuh tidak berusaha untuk memperbaikinya. Pada

kesempatan yang cocok, ia dapat memukul musuh melalui

jalan ini.

Dalam usaha memahami pemikiran musuh, pemimpin

politis harus bermusyawarah dengan para ahli sehingga

segala kesimpulan yang diperlukan dapat disimpulkan

dari pandangan-pandangan mereka. Dengan ini, ia harus

mengetahui jumlah para sekutu musuh, seluk-beluk sistem

militer dan pertahanan mereka, dan tindakan-tindakan mereka

yang mencurigakan, seperti mengumpulkan orang-orang asing

p:217

dan membubarkan orang-orang yang sudah ada, menebar

orang-orang ke berbagai penjuru, dan kriteria para sekutu

mereka. Di samping itu, ia juga harus memperhatikan besar

usaha mereka untuk meneliti berita yang sedang berkembang

di dalam negara, propaganda-propaganda bohong, kadar

pengetahuan mereka tentang urusan dalam negeri dan luar

negeri masyarakat. Ia harus memanfaatkan sekutu-sekutu

dekat mereka yang mengetahui seluruh rahasia mereka.(1)

Menyimpan Informasi

Titik kekuatan dan kelemahan sebuah negara serta seluruh

informasi berkenaan dengan masalah ini termasuk salah satu

hal penting yang harus tersimpan secara rahasia. Kerahasiaan

ini akan menjadikan negara mampu untuk merenungkan,

mengelola, dan mengambil kebijakan yang benar, serta

terpelihara dari bahaya seluruh penentangan yang dilancarkan

dari dalam maupun luar negeri.(2) Untuk keperluan ini, harus

dibentuk sebuah lembaga atau instansi yang menyimpan dan

memelihara seluruh rahasia negara.

Dari satu sisi, melihat urgensi musyawarah, cara untuk

memelihara rahasia adalah pemimpin politis harus mengambil

orang-orang yang memiliki komitmen, berjiwa mulia, dan

berakal sebagai teman musyawarah. Orang-orang semacam

ini tidak akan membocorkan keputusan dan kebijakan negara

kepada orang lain. Lebih dari itu, usaha sebagian orang yang

berakal lemah dan sangat mungkin membocorkan informasi

penting negara kepada orang lain atau diperalat oleh pihak

p:218


1- 398 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 276.
2- 399 Muhammad bin M.N. Thusi: Akhloq-e Nosheri, hlm. 310.

musuh guna membongkar informasi rahasia negara dapat

dicegah.

Begitu pula, setelah keputusan diambil, dengan cara

mencampur-aduk antara tindakan yang menjadi fondasi

utama keputusan dan tindakan yang menjadi titik kontradiksi

keputusan ini, usaha orang lain untuk mengetahui keputusan

ini dapat dicegah. Artinya, dengan cara menghindari kehendak

untuk condong kepada salah satu sisi; sisi keputusan dan sisi

kontradiksi keputusan, keputusan yang telah diambil akan

tetap terpelihara. Oleh karena itu, sekalipun dengan cara

menelaah tindakan-tindakan negara, pihak musuh tidak akan

dapat menyimpulkan keputusan yang telah diambil olehnya

dan juga tidak dapat mengetahui urusan rahasianya.(1) Jika

musuh mengetahui informasi rahasia negara melalui jalan apa

pun, maka negara, dengan penuh kesabaran dan ketenangan,

harus menentukan kebijakan yang layak sesuai dengan kondisi

baru ini.

d. Musyawarah

Mengorek informasi adalah sebuah tahapan yang sangat

fundamental untuk menentukan keputusan dan memanajemen

urusan sosial. Setelah informasi berhasil diperoleh, pemimpin

politis tidak boleh mengambil keputusan atau menentukan

sebuah tindakan secara tergesa-gesa. Alasannya, kemungkinan

mengambil keputusan yang salah sangat besar. Sebagai

gantinya, ia harus bermusyawarah dengan para ahli. Mereka

memiliki kekuatan berpikir, berpendapat, merenung, dan

melihat masalah dengan jeli. Dengan bantuan pandangan

p:219


1- 400 Ibid.

mereka, ia dapat memperoleh pandangan dan keputusan yang

kokoh.(1)

Untuk keperluan ini, pemimpin politik harus mendekatkan

diri-nya kepada orang-orang yang memiliki keutamaan

dan bermusyawarah dengan orang-orang yang berakal.

Dengan cara ini, pendapatnya akan menjadi kokoh dan dapat

menentukan keputusan dengan berlandaskan padanya.

Dengan demikian, selurut rakyat juga akan berpikiran bahwa

pandangan pemimpin memiliki kekuatan yang sama dengan

pandangan orang lain.(2)

p:220


1- 401 M.Y. Rad: Andisyeh-e Siyosi-e Khâjah Nashîruddîn Tûsî, hlm. 274.
2- 402 Muhammad bin M.N. Thusi: Nasihatnomeh.

Bab 5

Kesimpulan

Khajeh Nashiruddin Thusi memandang manusia melalui

jendela tauhid. Dengan berlandaskan pada titik awal dan

titik akhir kehidupan manusia, Khajeh mengutarakan defi nisi,

menjelaskan substansi, dan seluruh kebutuhan manusia.

Berdasarkan perspektif ini, Khajeh menilai bahwa manajemen

politik memiliki akar dalam tabiat manusia. Ia meyakini

bahwa manusia adalah makhluk Allah yang di permulaan

wujud berada jauh dari titik kesempurnaan. Akan tetapi, ia

diciptakan untuk menggapai kesempurnaan ini.

Manusia adalah makhluk yang termulia. Guna mencapai

kesempurnaan, ia memiliki jalan, tujuan, fasilitas, dan kondisi

yang sangat khusus. Seluruh faktor dan sebab ini, melihat

kriteria yang dimiliki oleh tabiat manusia, hanya dapat

termanifestasi dalam sebuah masyarakat politik dan kehidupan

politik. Atas dasar ini, membangun diri, menyucikan etika,

pengajaran, dan pendidikan yang benar adalah syarat asli

p:221

untuk menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan akhir jiwa

manusia.

Dari sisi yang lain, menggapai kesempurnaan tanpa

kelanggengan tubuh manusia adalah suatu hal yang mustahil.

Oleh karena itu, menjamin seluruh kebutuhan material

manusia untuk menggapai kesempurnaan adalah satu hal

yang sangat urgen. Untuk itu, Khajeh Nashiruddin Thusi,

sembari mengutamakan kebahagiaan hakiki, menilai bahwa

kebutuhan material adalah sangat urgen dan merupakan syarat

yang harus dipenuhi untuk menggapai sebuah kebahagiaan

yang hakiki.

Berdasarkan hal ini, Khajeh Nashiruddin Thusi

memandang manajemen politik dengan dua orientasi.

Artinya, manajemen politik harus mempersiapkan seluruh

kebutuhan material masyarakat, serta memanajemen seluruh

faktor dan lahan yang dapat mengantarkan manusia kepada

kesempurnaan dan kebahagiaan. Dengan demikian, seluruh

kebutuhan yang diperlukan untuk menggapai keutamaan dan

kebahagiaan dapat terjamin. Dan lebih penting dari semua ini,

demi menggapai keutamaan material dan spiritual yang lebih

banyak serta mencapai pengetahuan dan kebahagiaan, seluruh

kebutuhan ini menjadi sebuah fasilitas yang transendental.

Sembari menolak sistem manajemen politik defi sien,

Khajeh Nashiruddin Thusi memperkenalkan sistem manajemen

politik ideal sebagai sebuah sistem manajemen politik yang

komprehensif dan sempurna. Dengan mementingkan keserasian

antara kehendak anggota masyarakat dan kehendak pemimpin

politis, ia memperkenalkan sebuah sistem manajemen politik

p:222

yang salih dan sesuai dengan seluruh jenis masyarakat politis.

Sebagai contoh, ia menentukan tujuh syarat untuk seorang

pemimpin politik ideal yang mengharapkan kemajuan dan

transendensi material dan spiritual secara bersamaan.

Khajeh Nashiruddin Thusi juga menilai bahwa

kepemimpinan dan manajemen politik adalah sebuah tanggung

jawab yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.

Oleh karena itu, kepemimpian ini harus diberikan kepada

seseorang yang paling sempurna dari sisi akal, pengetahuan,

dan keutamaan-keutamaan insani yang lain. Dalam perspektif

Khajeh, pemimpin politik yang hakiki adalah orang yang

memiliki seluruh kriteria dan keutamaan ini, sekalipun secara

lahiriah ia tidak memegang tampuk kekuasaan.

Akhirnya, kami memaparkan perspektif Khajeh

Nashiruddin Thusi tentang tata cara aplikasi manajemen

politik yang transendental di sebuah masyarakat. Dalam hal

ini, regulasi, organisasi, dan manajemen seluruh urusan sosial

sekiranya dapat menciptakan kemakmuran dan ketenteraman

material, serta kesempurnaan teoretis dan praktis anggota

masyarakat memperoleh penekanan khusus darinya.

Kesimpulan akhir, dengan berlandaskan prinsip-prinsip

Khajeh Nashiruddin Thusi yang sangat detail itu, kita dapat

mengklaim bahwa dengan pengetahuan yang sempurna

terhadap substansi manusia dan masyarakat, ia meyakini

sistem manajemen politik ideal yang memperhatikan seluruh

kebutuhan material dan spiritual dengan tetap menekankan

prioritas sebagai satu-satunya manajemen politik yang efektif

dan kompeten bagi “peradaban umat manusia”.

p:223

p:224

Bibliografi

Amin, Muhsin, A‘yân Al-Syî‘ah, teliti ulang oleh Hasan Amin,

Beirut, Dâr Al-Ta‘âruf li Al-Mathbû‘ât, 1403 H.

Bayoni, Syirin, Mughûlon va Hukûmat-e Ilkhoni dar Iron, Tehran,

Samt, 1379 HS.

Corbin, Henry, Torikh-e Falsafeh-e Eslomi, terj. Jawad

Thabathabai, Tehran, Kavir, 1373 HS.

Dehkhudo, Ali Akbar, Lughatnomeh.

Farabi, Abu Nashr Muhammad, Andisyehho-ye Ahl-e Madineh-e

Foze-leh, terj. Sayyid Ja‘far Sajjâdî, Tehran, Sozmon-e Chob

va Ente-syorot-e Vezorat-e Farhang va Ersyod-e Eslomi,

1379 HS.

__________, Siyosat-e Madaniyeh, terj. Sayyid Ja‘far Sajjâdi,

Tehran, Sozmon-e Chob va Entesyorot-e Vezorat-e

Farhang va Ersyod-e Eslomi, 1379 HS.

Haqiqat, Abdurrafi‘, Torikh-e Nehzatho-ye Fekri-e Ironiyon,

Tehran, Syerkat-e Mu’alefon va Mutarjemon-e Iron, 1356

HS.

Halabi, Ali Ashghar, Torikh-e Falosefeh-e Ironi az Oghoz-e Eslom

to Em-rûz, Tehran, Ketobfurûsyi-e Zuvvor, 1351 HS.

Hilli, Jamaluddin Hasan bin Yusuf, Al-Bâb Al-Hâdî ‘Asyar,

Qam, Maktabah Al-‘Allâmah, 1413 H.

__________, Kasyf Al-Murâd fî Syarh Tajrîd Al-I‘tiqâd, Tehran,

Ente-syorot-e Ketobfurûsyi-e Eslomiyeh, 1398 H.

Bibliografi

p:225

Mudarrisi Zanjani, Muhammad, Sarguzasyt va Aqo’ed-e Falsafi -e

Khojeh Nashîruddin Tûsî, Tehran, Entesyorot-e Danesygoh

Tehran, 1335 HS.

Nashiruddin Thusi, Muhammad bin Muhammad, Oghoz va

Anjom, terj. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Tehran, Sozmone

Chob va Entesyorot-e Vezorat-e Farhang va Ersyod-e

Eslomi, 1379 HS.

__________, Akhloq-e Muhtasyami, revisi Muhammad Taqi

Donesy-pazhûh, Tehran, Entesyorot-e Donesygah-e

Tehran, 1377 HS.

__________, Akhloq-e Nosheri, revisi Mujtaba Minavi dan Ali

Reza Haidari, Tehran, Entesyorot-e Khorazmi, 1360 HS.

__________, Asâs Al-Iqtibâs, revisi Muhammad Taqi Mudarris

Ridh-awi, Tehran, Entesyorot-e Donesygohe-e Tehran,

1355 HS.

__________, Awshâf Al-Asyrâf, revisi Sayyid Mahdi Syamsuddin,

Tehran, Anjuman-e Eslomi-e Al-Ghadir, 1361 HS.

__________, Awshâf Al-Asyrâf, Tehran, Sozmon-e Zhob va

Entesyo-rot-e Vezorat-e Farhang va Andisyeh-e Eslomi,

1377 HS.

__________, Tajrîd Al-Manthiq, Beirut, Mansyûrât Mu’assasah

Al-A‘-lamî li Al-Mathbû‘ât, 1408 H.

__________, Talkhîsh Al-Muhashshal, revisi Abdullah Nuroi,

Tehran, Mu’asseseh-e Muthole‘ot-e Eslomi Donesygoh-e

Mc Gill Kanada cabang Tehran, 1359 HS.

__________, Resoleh-e Emomat, revisi Muhammad Taqi

Donesypa-zhuh, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh-e

Tehran, 1359 HS.

__________, Resoleh-e Jabr va Ekhtiyor, Tehran, Nasyr-e Ulûm-e

Es-lomi, 1363 HS.

p:226

__________, Resoleh-e Jabr va Qadr, Tehran, Enstesyorot-e

Donesy-goh-e Tehran, 1341 HS.

__________, Resoleh-e Jabr va Qadr, Tehran, Entesyorot-e Nasyre

Ulûm-e Eslomi, 1363 HS.

__________, Risâlah fî Al-‘Ilm wa Al-‘Âlim wa Al-Ma‘lûm,

appendiks buku Sarguzasyt va Aqo’ed-e Falsafi -e Khajeh

Nashiruddin Thusi, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh-e

Tehran, 1335 HS.

__________, Resoleh-e Gusyoyesynomeh, revisi Muhammad Taqi

Do-nesypazhuh, Entesyorot-e Donesygoh-e Tehran, 1341

HS.

__________, Resoleh-e Tavalli va Tabarri, appendiks buku

Akkhloq-e Muhtasyami, Tehran, Entesyorot-e Denesygohe

Tehran, 1377 HS.

__________, Majmû’eh-e Raso’el; Resoleh-e Rasm va Oyin-e

Podesyohon Qadim roje’ beh Akhz-e Moliyot va Kharoj va

Masoref-e On, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh-e Tehran,

1335 HS.

__________, Raudhat Al-Taslîm (Al-Tashawwurât), revisi dan

riset W. Ivanof, Tehran, Nasyr-e Jomi.

__________, Majmû’eh-e Raso’el; Seyr va Sulûk, Tehran,

Entesyorot-e Donesygoh-e Tehran, 1335 HS.

__________, Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, revisi Sulaiman

Duniya, Mesir, Dâ’irat Al-Ma‘ârif, 1960 M.

_________ , Fushûl Al-‘Aqâ’id, karya Muhammad Taqi

Donesypa-zhuh, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh-e

Tehran, 1335 HS.

__________, Majmû’eh-e Raso’el; Qesmat-e Movjûdot, Tehran,

Entesyo-rot-e Donesygoh-e Tehran, 1335 HS.

__________, Majmû‘eh-e Raso’el.

Bibliografi

p:227

__________, Mashâri‘ Al-Mushâri‘, revisi Hasan Mu‘azzâ, Qom,

Mak-tabah Ayatullah Mar‘asyî, 1405 H.

__________, Nasihatnomeh, appendiks buku Sarguzasyt va

Aqo’ed-e Falsafi -e Khajeh Nashiruddin Thusi, Tehran,

Entesyorot-e Donesygoh-e Tehran, 1335 HS.

Nu‘man Farhan, Hani, Al-Khajeh Nashîruddîn Al-Tûsî, Beirut,

Dâr Ihyâ’ Al-Turâts Al-‘Arabî, 1406 H.

Qomi, Abbas, Favo’ed-e Rezaviyeh dar Ahvol-e Ulamo-e Mashab-e

Ja-‘fariyeh.

Surusy, Muhammad, Din va Dovlat dar Andisyeh-e Eslomi, Qom,

Mar-kaz-e Entesyorot-e Daftar-e Tablighot-e Eslomi, 1378

HS.

Yusufi Rad, Murtadha, Andisyeh-e Siyosi-e Al-Khojeh Nashîruddîn

Al-Tûsî, Qom, Buston-e Ketob-e Qom, 1380 HS.

p:228

A

Abaqa Khan 14, 15, 21

Abu Ja‘far Nashiruddin

Muhammad bin

Muhammad bin Hasan

Thusi 3

Adab 38, 39, 41

Administratif 212

Ahli hadis 3

Ahli Sunah 24, 27

Akhloq-e Nosheri 9, 21, 22,

31

Al-Qur’an 4, 39

Alexander 158, 159

Allamah Hilli 17, 18, 25, 26

Antropologi Politis 74

Aparatur 201, 209, 212, 213,

214, 215, 216, 217

Argumentasi 20, 139

Aristoteles 26, 52, 65, 89, 114,

116, 117, 122, 159, 162

Astronom 10, 26, 96

Astronomi 5, 7, 10, 30

B

Badanî 45

Baghdad 7, 11, 13, 14, 15, 24

Bahîmî 38, 39, 49, 63

Baitul Mal 144

Bani Abbasiyah 7, 10, 11, 12,

27

Barometer 139

Basîth 35, 47

Bathî’ al-zawâl 58

Benteng Alamut 9

Benteng Maimum 8

C

Chandsûyeh 36

Cinta 81, 82, 83, 126, 205

Contingen 32

D

Denmark 29

Dwiorientasi 1

Indeks

p:229

E

Ekonomi imperium 23

Eksistensi masyarakat 226

Evaluasi 1

Exchange reserves 197

F

Fâdhilah 48, 90, 123

Fadhil Jabali 28

Faqih 3, 96

Farabi 20, 21, 46, 88, 89, 90, 94,

231

Fasilitas material 35, 144

Filsafat 7, 9, 18, 20, 22, 28,

29, 30, 34, 69, 95

Filsafat praktis 7

Fiqih 4, 5, 18

Fondasi 19, 20, 24, 31, 83, 106,

113, 153, 158, 160, 201,

207, 219

Forma-forma 56, 62, 75

Fundamental 20, 24, 89, 109, 149,

161, 177, 185, 214, 219

G

Ghazali 21, 213

H

Hadis 3, 4, 29

Hakim Tsani 21

Hâl 58

Hegemoni 127, 128, 170

Henry Corbin 18, 20, 30

horoscope 9, 14

Hulagu 9, 10, 11, 12, 13, 14,

21, 28

I

Ibn Sina 4, 30

Ilkhan 11, 13, 14, 17

Ilmu Astronomi 7, 10

Ilmu Falak 30

Ilmu pengetahuan rasional 5,

27

Ilmu rasional 25

Income 144, 187, 188, 192

Insinyur 16, 96

Intelligibilia 62

Invensional 105

J

Jamaluddin Abu Manshur

Husain bin Muthahhar

Hilli 17

Jauhar 34

Jenghis Khan 5

Jisim-jisim 39

Jism 34, 36

Jiwa bahîmî 38, 39, 63

Jiwa sabu‘î 63

Juz’iyyah 38

p:230

K

Kaidah-kaidah rasional 20

Kaligrafi 16

Kanselir 17

Kasyf Al-Zdunûn 28

Kebijakan sanksi 227

Kekuatan 14, 23, 35, 36, 37, 38,

40, 42, 43, 44, 45, 48, 49,

50, 51, 53, 55, 56, 57, 59,

60, 117, 60, 61, 64, 67, 68,

74, 83, 84, 91, 92, 98, 99,

100, 107, 109, 112, 113,

117, 118, 121, 125, 129,

135, 138, 139, 149, 152,

153, 158, 160, 164, 170,

172, 173, 186, 200, 201,

207, 218, 219, 220

Keturunan 17, 23, 28, 37,

86, 94, 120, 139, 145, 146

Khajeh Nashiruddin Thusi 1,

2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,

27, 28, 29, 30, 31, 87, 89,

103, 147, 198, 221, 222,

223, 233, 234

Khalifah 7, 8, 10, 11, 16, 52

Khalifah Dinasti Bani

Abbasiyah 7

Khojeh-e Ko’enot 8

L

Lembaga Wakaf Kerajaan 13

M

Ma‘qûl 62

Madrasah Nezamiah 24

Makrifat 41, 44, 55, 62, 63, 71,

134

Malakî 38, 44, 64

Manajemen politik 1, 2, 31,

32, 88, 101, 103, 104,

106, 107, 109, 110, 111,

112, 115, 117, 119, 128,

137, 138, 147, 148, 203,

204, 205, 208, 209, 221,

222, 223

Manusia madani 116

Maragheh 12, 14, 15, 16, 24,

25, 29

Masyarakat fasik 92, 93

Masyarakat politis 1, 88, 89,

92, 95, 103, 107, 108, 110,

113, 114, 115, 116, 118,

119, 122, 135, 147, 161,

182, 184, 223

Matematika 4, 5, 26, 30

Maujud 32, 33, 35, 40, 41, 42,

43, 44, 46, 62, 66, 74, 77,

100, 147

Melankolia 8

Indeks

p:231

Metode 2, 91, 142, 148, 152,

154, 168, 200

Mongolia 9, 10, 13, 18, 22, 23,

27

Morfologi 4

Multi orientasi 36

Musyawarah 11, 141, 164, 218

Muthma’innah 39

N

Nabi Adam as 33

nafs nâthiqah 49

Nahwu 4

Nashiruddin bin Abdurrahim

6, 7

Nicomachean Ethics 117

Nisyabur 4

O

Observatorium 25

Oljeitu 17, 18

Ontologis 32

Ordubad 17

P

Perkembangan badan 37

Persia 7, 26

Pilar-pilar utama 1, 2, 149

Plato 26, 114, 116

Politik defisien 123, 124, 125,

127, 222

Politik dominasi 122, 126, 130,

131, 132, 137, 150, 176

Politik Ideal viii, 129

Politik jamaah 122, 135, 136,

137

Politik kota 7, 106

Positivisme 228

Postulat 228

Praktis 2, 7, 49, 50, 62, 63, 101,

104, 105, 107, 108, 109,

110, 129, 138, 142, 154,

183, 185, 223

Prinsip-prinsip 2, 223

Propaganda-propaganda 218

Q

Qadhi Nurullah Syusytari 26

Quhestan 6, 7, 8

Quthbuddin Esykavari 27

Quthbuddin Mishri 4

R

Rabbani 33, 101

Radzilah 54

Reproduksi 36, 37, 79

T

Taghallub 127

Taklif 33, 73, 74

Pendahuluan 233

Tauhid 44, 221

Tawakal 54

Teologi 14, 20

Teoretis 1, 49, 50, 62, 63, 98,

101, 104, 105, 129, 138,

154, 183, 185, 223

Terminologi 19, 89, 101, 114,

116

Toleransi 2, 131, 205

Transendental 1, 110, 222,

223

Transkrip-transkrip 21

Tyco Brahe 29

U

Ulama 3, 4, 13, 18, 27, 28, 29,

48, 72, 95, 114, 116, 173,

174, 204

Undang-undang 2, 12, 51, 60,

68, 69, 70, 74, 106, 108,

112, 113, 114, 115, 116,

117, 121, 122, 130, 131,

133, 134, 135, 136, 142,

162, 166, 169, 170, 190,

201, 207, 208, 209, 211

Universal 37, 44, 55, 57, 61,

106, 113, 135, 183, 184,

229

Ustâdz Al-Basyar 5

W

Waham 37

Wâhib al-shuwar 56

Wasat 50

wusthâ 41

Z

Zaman azali 33

Zij-e Ilkhoni 14

Indeks

p:232

p:233

p:234

Iklan Buku

p:235

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109